Selasa, 29 November 2011

PENGARUH IBU KEPADA ANAK PEREMPUAN NYA

Mendidik dan mengasuk anak-anak merupakan kewajiban orang tua. Berbeda dengan anak lelaki, mendidik anak-anak perempuan merupakan suatu keutamaan.

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits-hadits ini terdapat keutamaan berbuat baik kepada anak-anak perempuan, memberikan nafkah kepada mereka, bersabar dalam mengasuhnya, dan mengurus seluruh urusannya.”

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, dia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam bersabda,

Artinya: “Barangsiapa memiliki tiga orang anak perempuan, lalu dia bersabar dalam menghadapinya serta memberikan pakaian kepadanya dari hasil usahanya, maka anak-anak itu akan menjadi dinding pemisah baginya dari siksa Neraka.” [HR. Al-Bukhari dalam kitab al-Adaabul Mufrad dan hadits ini shahih]

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

Artinya: “Barangsiapa mengasuk dua anak perempua sehingga berumur baligh, maka dia akan datang pada hari Kiamat kelak, sedang aku dan dirinya seperti ini.” Dan beliau menghimpun kedua jarinya. [HR. Muslim]

Seorang ibu lebih besar pengaruhnya terhadap anak-anak perempuannya dibanding dengan pengaruh seorang ayah. Peniruan seorang anak perempuan terhadap ibunya lebih besar dibanding kepada ayahnya. Pengaruh seorang ibu ini sangat penting kedudukannya karena pengaruhnya sangat besar bagi perkembangan si anak. Hal ini karena seorang anak perempuan pada suatu saat akan menjadi seorang ibu pula dan menempuh jalan yang sama dengan ibunya. Seorang ibu haruslah dapat menjadi contoh nyata bagi anak-anak perempuannya. Seorang ibu harus mampu menjadi teladan yang baik bagi anak-anak perempuannya.

Seorang ibu yang (tanpa sadar maupun dengan sadar) melakukan tindakan tertentu di rumahnya akan dapat berpengaruh pada perkembangan jiwa si anak. Tindakan ceroboh seorang ibu dapat membuat si anak tidak ingin menikah untuk selamanya dan tak ingin berpikir untuk membina sebuah keluarga pada suatu saat nantinya.

Secara lahiriah, seorang gadis kecil lebih banyak memikirkan masalah membina keluarga, melahirkan, dan kehidupan masa depan daripada memikirkan hal lainnya. Si gadis kecil sesuai dengan pertumbuhannya secara setahap demi setahap akan mempersiapkan dirinya untuk menerima tanggung jawab keibuannya. Secara alamiah, perilaku ibunya akan berpengaruh kepada terhadap kehidupannya. Anak perempuan akan belajar dari ibunya bagaimana cara mengurus rumah lewat perbuatan dan tindakan si ibu sehari-hari. Di sinilah peranan ibu sebagai panutan bagi si anak. Ajaklah anak turut serta dalam menjalankan kewajiban-kewajiban seorang ibu dalam pengurusan rumah.

Peranan ibu dalam mengajarkan kewajiban-kewajiban rumah tangga ini harus dilaksanakan dengan cara yang baik. Sesuatu yang dilakukan dengan baik dan penuh kesabaran maka hasilnya juga tentunya akan baik pula. Kita tak dapat mengharapkan anak perempuan dapat menjadi lebih baik dari pada ibunya jika ia menjalani kehidupan keluarga dengan tipuan, ketidakpedulian, dan akhlak yang tercela. Masing-masing sifat tercela itu akan diwarisi kepada anak-anak perempuannya.

Wahai para ibu, mulailah perhatikan tindakanmu di dalam keluarga!

ARTI DAN MAKSUD DARI KATA BID'AH

Bid’ah adalah sebuah metode baru dalam agama yang bersifat menyaingi syari’at, dan dilakukan dengan tujuan beribadah secara lebih giat kepada Allah Ta’ala.

Kaidah dalam mendefinisikan bid’ah

1. Berkaitan dengan agama, bukan dengan urusan duniawi.
2. Bersifat baru dan belum pernah terjadi di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3. Bersifat menyaingi syari’at Allah dan Rasul-Nya.
4. Tidak selaras dengan dalil-dalil syar’i.
5. Dilakukan dalam rangka ibadah kepada Allah.

Bertolak dari kaidah ini, jelaslah bahwa cara berpakaian, cara makan, sarana transportasi, komunikasi dan hasil kemajuan teknologi lainnya tidak bisa disebut bid’ah secara syar’i, karena kesemuanya tidak memenuhi kriteria di atas.~

Senin, 28 November 2011

AMALAN SUNNAH DAN BID'AH DI DALAM BULAN MUHAROM



oleh Sukpandiar Idris Advokat As-salafy pada 28 November 2011 jam 0:33

Perkara Yang menyelisihi as-Sunnah
Adapun amalan-amalan yang menyelisihi as-Sunnah dan banyak dilakukan oleh kaum Muslimin dalam rangka menghormati dan memuliayakan bulan Muharram sangatlah banyak dan beragam. Dan berikut akan kami sebutkan dengan maksud kita dapat berhati-hati sehingga tidak terjerumus kepada amalan ibadah yang sia-sia dikarenakan tidak didasarkan kepada dalil yang kuat dan contoh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabat beliau.

A. ‘Asyura Menurut Syi’ah
Tanggal 10 Muharram 61 H, adalah hari terbunuhnya Abu Abdillah al-Husain bin Ali di padang Karbala.
Syi’ah menjadikan hari ‘Asyura sebagai hari berkabung, duka cita, dan menyiksa diri sebagai ungkapan kesedihan dan penyesalan. Pada hari itu mereka memperingati kematian al-Husen dan melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela seperti berkumpul, menangis, meratapi al-Husen secara histeris, membentuk kelompok-kelompok untuk pawai berkeliling di jalan-jalan dan di pasar-pasar sambil memukuli badan mereka dengan rantai besi, melukai kepala dengan pedang, mengikat tangan dan lain sebagainya. (at-Tasyayyu’ wasy Syi’ah, Ahmad al-Kisrawiy asy-Syi’iy, hal. 141. Tahqiq Dr. Nasyir al-Qifariy)

B. ‘Asyura Menurut Mayorlitas Kaum Muslimin.

Sebagai tandingan dari apa yang dilakukan oleh orang Syi’ah di atas, kebanyakan kaum Muslimin menjadikan hari ‘Asyura sebagai hari raya, pesta dan serba ria.
Dan di antara amalan-amalan yang menyelisihi sunnah yang dilakukan oleh mereka adalah:
  • Shalat dan dzikir-dzikir khusus, yang disebut dengan shalat ‘Asyura.Mereka beralasan dengan hadits palsu, seperti yang disebutkan oleh as-Suyuthi di dalam al-La’ali al-Mashnu’ah. (as-Sunan wal Mubtada’at, hal. 134)
  • Mandi Janabah, bercelak, memakai minyak rambut dan mewarnai kuku dan menyemir rambut. Dan yang demikian jika si pelaku meyakini adanya keutamaan atau keistimewaan dilakukan pada hari tersebut.Mereka beralasan dengan hadits palsu, “Barangsiapa yang memakai celak pada hari ‘Asyura, maka ia tidak akan mengalami sakit mata pada tahun itu. Dan barangsiapa mandi pada hari ‘Asyura, ia tidak akan sakit selama tahun itu.” (Hadits ini palsu menurut as-Sakhawi, Mula Ali Qari dan al-Hakim, lihat al-Ibda’, hal. 150-151)
  • Membuat makanan khusus/istimewa, seperti membuat bubur syura yang terdapat di Sumatera Barat.
  • Do’a awal dan akhir tahun yang di baca pada malam akhir tahun. Mereka beranggapan dan berkeyakinan bahwa siapa yang membaca do’a ‘Asyura tidak akan meninggal pada tahun tersebut. (as-Sunan wal Mubtada’at, Muhammad asy-Syukairi, hal. 134)
  • Menentukan berinfaq dan memberi makan orang-orang miskin. Dan yang demikian jika si pelaku meyakini adanya keutamaan atau keistimewaan dilakukan pada hari tersebut.
  • Memberikan uang belanja yang lebih kepada keluarga. Dan yang demikian jika si pelaku meyakini adanya keutamaan atau keistimewaan dilakukan pada hari tersebut.Mereka beralasan dengan hadits lemah, “Barangsiapa yang meluaskan (nafkah) kepada keluarganya pada hari ‘Asyura, maka Allah akan melapangkan (rizkinya) selama setahun itu.” (HR. ath-Thabrani, al-Baihaqi dan Ibnu Abdil Bar)
  • Setelah mandi janabat berziarah ke makam orang alim, menengok orang sakit, memotong kuku, membaca al-Fatihah seribu kali. Karena perbuatan tersebut di atas diperintahkan oleh syari’at setiap saat, dan adapun mengususkannya pada hari 10 Muharram tidak berdasar sama sekali.

C. ‘Asyura Menurut Tradisi dan Kultur Kejawen

Bulan Suro menurut istilah mereka, banyak diwarnai orang Jawa dengan berbagai mitos dan khurafat, antara lain: Keyakinan bahwa bulan Suro adalah bulan keramat yang tidak boleh di buat main-main dan bersenang-senang seperti hajatan pernikahan, dan jenis hajatan yang lainnya.

Ternyata kalau kita renungkan dengan cermat apa yang dilakukan oleh mereka di dalam bulan Suro adalah merupakan akulturasi Syi’ah animesme, dinamisme dan Arab Jahiliyah. Dulu, orang Quraisy Jahiliyah pada setiap ‘Asyura selalu mengganti Kiswah Ka’bah (kain pembungkus Ka’bah)(Lihat, Fath al-Baari, 4/246). Kini orang Jawa mengganti kelambu makam Sunan Kudus pada bulan Suro juga.

Walhasil, pada dasarnya di dalam Islam, ‘Asyura tidak di isi dengan kesedihan dan penyiksaan diri, tidak di isi dengan pesta dan berhias diri dan juga tidak di isi dengan ritual di tempat-tempat keramat atau yang dianggap suci untuk tolak bala’ bahkan tidak di isi dengan berkumpul-kumpul.

[ Penulis: Husnul Yaqin Arba'in --- dikutip dari alsofwah.or.id ]]


Amalan sunnah di bulan Muharram
  1. Memperbanyak puasa selama bulan Muharram
  2. Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
  3. Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim)
  4. Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:
    “Saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih satu hari untuk puasa yang lebih beliau unggulkan dari pada yang lainnya kecuali puasa hari Asyura’, dan puasa bulan Ramadlan.” (HR. Al Bukhari & Muslim)
  5. Puasa Asyura’ (puasa tanggal 10 Muharram)
  6. Dari Abu Musa Al Asy’ari radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
    Dulu hari Asyura’ dijadikan orang yahudi sebagai hari raya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Puasalah kalian.” (HR. Al Bukhari)
    Dari Abu Qatadah Al Anshari radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa Asyura’, kemudian beliau menjawab: “Puasa Asyura’ menjadi penebus dosa setahun yang telah lewat.” (HR. Muslim & Ahmad)
    Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:
    Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Madinah, sementara orang-orang yahudi berpuasa Asyura’. Mereka mengatakan: Ini adalah hari di mana Musa menang melawan Fir’aun. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat: “Kalian lebih berhak terhadap Musa dari pada mereka (orang yahudi), karena itu berpuasalah.” (HR. Al Bukhari)
    Keterangan:
    Puasa Asyura’ merupakan kewajiban puasa pertama dalam islam, sebelum Ramadlan. Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz radliallahu ‘anha, beliau mengatakan:
    Suatu ketika, di pagi hari Asyura’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang mendatangi salah satu kampung penduduk Madinah untuk menyampaikan pesan: “Siapa yang di pagi hari sudah makan maka hendaknya dia puasa sampai maghrib. Dan siapa yang sudah puasa, hendaknya dia lanjutkan puasanya.” Rubayyi’ mengatakan: Kemudian setelah itu kami puasa, dan kami mengajak anak-anak untuk berpuasa. Kami buatkan mereka mainan dari kain. Jika ada yang menangis meminta makanan, kami memberikan mainan itu. Begitu seterusnya sampai datang waktu berbuka. (HR. Al Bukhari & Muslim)
    Setelah Allah wajibkan puasa Ramadlan, puasa Asyura’ menjadi puasa sunnah. A’isyahradliallahu ‘anha mengatakan:
    Dulu hari Asyura’ dijadikan sebagai hari berpuasa orang Quraisy di masa jahiliyah. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melaksanakn puasa Asyura’ dan memerintahkan sahabat untuk berpuasa. Setelah Allah wajibkan puasa Ramadlan, beliau tinggalkan hari Asyura’. Siapa yang ingin puasa Asyura’ boleh puasa, siapa yang tidak ingin puasa Asyura’ boleh tidak puasa. (HR. Al Bukhari & Muslim)
  7. Puasa Tasu’a (puasa tanggal 9 Muharram)
  8. Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau menceritakan:
    Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa Asyura’ dan memerintahkan para sahabat untuk puasa. Kemudian ada sahabat yang berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya hari Asyura adalah hari yang diagungkan orang yahudi dan nasrani. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahun depan, kita akan berpuasa di tanggal sembilan.” Namun, belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamsudah diwafatkan. (HR. Al Bukhari)

Minggu, 27 November 2011

KEUTAMAAN BULAN MUHARROM


Pertanyaan:

Assalamu’alaikum
Banyak orang berkeyakinan, bulan Muharram adalah bulan yang istimewa. Sebenarnya ada tidak keutamaan bulan Muharram itu? Mohon dijelaskan dalilnya.
Matur nuwun
Abu Ahmad (texxxxxxxxx@yahoo.com)

Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Bulan Muharram termasuk bulan yang istimewa. Banyak dalil yang menunjukkan bahwa Allah dan rasul-Nya memuliakan bulan Muharram, di antaranya adalah:
1. Termasuk Empat Bulan Haram (suci)
Allah berfirman,
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empatbulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus..” (QS. At-Taubah: 36)
Keterangan:
a. Yang dimaksud empat bulan haram adalah bulan Dzul Qa’dah, Dzulhijjah,Muharram (tiga bulan ini berurutan), dan Rajab.
b. Disebut bulan haram, karena bulan ini dimuliakan masyarakat Arab, sejak zaman jahiliyah sampai zaman Islam. Pada bulan-bulan haram tidak boleh ada peperangan.
c. Az-Zuhri mengatakan,
كان المسلمون يعظمون الأشهر الحرم
“Dulu para sahabat menghormati syahrul hurum” (HR. Abdurrazaq dalam Al-Mushannaf, no.17301).
2.  Dari Abu Bakrah radhiallahu‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
Sesungguhnya zaman berputar sebagai mana ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan. Diantaranya ada empat bulan haram (suci), tiga bulan berurutan: Dzul Qo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, kemudianbulan Rajab suku Mudhar, antara Jumadi Tsani dan Sya’ban.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
3.  Dinamakan Syahrullah (Bulan Allah)
Dari Abu Hurairah radhiallahu‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أفضل الصيام بعد رمضان شهر الله المحرم
“Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulanMuharram.” (HR. Muslim)
Keterangan:
a. Imam An Nawawi mengatakan, “Hadis ini menunjukkan bahwa Muharramadalah bulan yang paling mulia untuk melaksanakan puasa sunnah.” (Syarah Shahih Muslim, 8:55)
b. As-Suyuthi mengatakan, Dinamakan syahrullah –sementara bulan yang lain tidak mendapat gelar ini– karena nama bulan ini “Al-Muharram” nama nama islami. Berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Nama-nama bulan lainnya sudah ada di zaman jahiliyah. Sementara dulu, orang jahiliyah menyebut bulan Muharram ini dengan nama Shafar Awwal. Kemudian ketika Islam datanng, Allah ganti nama bulan ini dengan Al-Muharram, sehingga nama bulan ini Allah sandarkan kepada dirinya (Syahrullah). (Syarh Suyuthi ‘Ala shahih Muslim, 3:252)
c. Bulan ini juga sering dinamakan: Syahrullah Al Asham [arab: شهر الله الأصم ] (Bulan Allah yang Sunyi). Dinamakan demikian, karena sangat terhormatnya bulan ini (Lathaif al-Ma’arif, Hal. 34). karena itu, tidak boleh ada sedikitpun friksi dan konflik dibulan ini.
4.  Ada satu hari yang sangat dimuliakan oleh para umat beragama. Hari itu adalah hari Asyura’. Orang Yahudi memuliakan hari ini, karena hari Asyura’ adalah hari kemenangan Musa bersama Bani Israil dari penjajahan Fir’aun dan bala tentaranya. Dari Ibnu Abbas radhiallahu‘anhuma, beliau menceritakan,
لَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ وَجَدَهُمْ يَصُومُونَ يَوْمًا ، يَعْنِى عَاشُورَاءَ ، فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ ، وَهْوَ يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى ، وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْنَ ، فَصَامَ مُوسَى شُكْرًا لِلَّهِ . فَقَالَ « أَنَا أَوْلَى بِمُوسَى مِنْهُمْ » . فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa di hari Asyura’. Beliau bertanya, “Hari apa ini?” Mereka menjawab, “Hari yang baik, hari di mana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, sehingga Musa-pun berpuasa pada hari ini sebagai bentuk syukur kepada Allah. Akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kami (kaum muslimin) lebih layak menghormati Musa dari pada kalian.” kemudian Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk puasa. (HR. Al Bukhari)
5.  Para ulama menyatakan bahwa bulan Muharram adalah adalah bulan yang paling mulia setelah Ramadhan
Hasan Al-Bashri mengatakan,
إن الله افتتح السنة بشهر حرام وختمها بشهر حرام فليس شهر في السنة بعد شهر رمضان أعظم عند الله من المحرم وكان يسمى شهر الله الأصم من شدة تحريمه
Allah membuka awal tahun dengan bulan haram (Muharram) dan menjadikan akhir tahun dengan bulan haram (Dzulhijjah). Tidak ada bulan dalam setahun, setelah bulan Ramadhan, yang lebih mulia di sisi Allah dari pada bulan Muharram. Dulu bulan ini dinamakan Syahrullah Al-Asham (bulan Allah yang sunyi), karena sangat mulianya bulan ini. (Lathaiful Ma’arif, Hal. 34)
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

BEBERAPA AMALAN SUNNAH DI BULAN MUHARRAM


Berikut adalah beberapa amalan sunnah di bulan Muharram:

Memperbanyak puasa selama bulan Muharram
Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أفضل الصيام بعد رمضان ، شهر الله المحرم
“Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim)

Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:
ما رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يتحرى صيام يوم فضَّلة على غيره إلا هذا اليوم يوم عاشوراء ، وهذا الشهر – يعني شهر رمضان
“Saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih satu hari untuk puasa yang lebih beliau unggulkan dari pada yang lainnya kecuali puasa hari Asyura’, dan puasa bulan Ramadhan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Puasa Asyura’ (puasa tanggal 10 Muharram)
Dari Abu Musa Al Asy’ari radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
كان يوم عاشوراء تعده اليهود عيداً ، قال النبي صلى الله عليه وسلم : « فصوموه أنتم ».
Dulu hari Asyura’ dijadikan orang yahudi sebagai hari raya. Kemudian Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Puasalah kalian.” (HR. Al Bukhari)
Dari Abu Qatadah Al Anshari radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
سئل عن صوم يوم عاشوراء فقال كفارة سنة
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa Asyura’, kemudian beliau menjawab: “Puasa Asyura’ menjadi penebus dosa setahun yang telah lewat.” (HR. Muslim dan Ahmad).
Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:
قَدِمَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – الْمَدِينَةَ وَالْيَهُودُ تَصُومُ عَاشُورَاءَ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ ظَهَرَ فِيهِ مُوسَى عَلَى فِرْعَوْنَ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – لأَصْحَابِهِ «أَنْتُمْ أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْهُمْ ، فَصُومُوا».
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Madinah, sementara orang-orang yahudi berpuasa Asyura’. Mereka mengatakan: Ini adalah hari di mana Musa menang melawan Fir’aun. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat: “Kalian lebih berhak terhadap Musa dari pada mereka (orang yahudi), karena itu berpuasalah.” (HR. Al Bukhari)
Keterangan:
Puasa Asyura’ merupakan kewajiban puasa pertama dalam islam, sebelum Ramadlan. Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz radliallahu ‘anha, beliau mengatakan:
أرسل النبي صلى الله عليه وسلم غداة عاشوراء إلى قرى الأنصار : ((من أصبح مفطراً فليتم بقية يومه ، ومن أصبح صائماً فليصم)) قالت: فكنا نصومه بعد ونصوّم صبياننا ونجعل لهم اللعبة من العهن، فإذا بكى أحدهم على الطعام أعطيناه ذاك حتى يكون عند الإفطار
Suatu ketika, di pagi hari Asyura’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang mendatangi salah satu kampung penduduk Madinah untuk menyampaikan pesan: “Siapa yang di pagi hari sudah makan maka hendaknya dia puasa sampai maghrib. Dan siapa yang sudah puasa, hendaknya dia lanjutkan puasanya.” Rubayyi’ mengatakan: Kemudian setelah itu kami puasa, dan kami mengajak anak-anak untuk berpuasa. Kami buatkan mereka mainan dari kain. Jika ada yang menangis meminta makanan, kami memberikan mainan itu. Begitu seterusnya sampai datang waktu berbuka. (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Setelah Allah wajibkan puasa Ramadlan, puasa Asyura’ menjadi puasa sunnah. A’isyah radliallahu ‘anha mengatakan:
كان يوم عاشوراء تصومه قريش في الجاهلية ،فلما قد المدينة صامه وأمر بصيامه ، فلما فرض رمضان ترك يوم عاشوراء ، فمن شاء صامه ، ومن شاء تركه
Dulu hari Asyura’ dijadikan sebagai hari berpuasa orang Quraisy di masa jahiliyah. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melaksanakn puasa Asyura’ dan memerintahkan sahabat untuk berpuasa. Setelah Allah wajibkan puasa Ramadlan, beliau tinggalkan hari Asyura’. Siapa yang ingin puasa Asyura’ boleh puasa, siapa yang tidak ingin puasa Asyura’ boleh tidak puasa. (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Puasa Tasu’a (puasa tanggal 9 Muharram)
Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau menceritakan:
حين صام رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عاشوراء وأمر بصيامه ، قالوا : يا رسول الله ! إنه يوم تعظمه اليهود والنصارى ، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((فإذا كان العام المقبل ، إن شاء الله ، صمنا اليوم التاسع )) . قال : فلم يأت العام المقبل حتى تُوفي رسول الله صلى الله عليه وسلم
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa Asyura’ dan memerintahkan para sahabat untuk puasa. Kemudian ada sahabat yang berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya hari Asyura adalah hari yang diagungkan orang yahudi dan nasrani. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahun depan, kita akan berpuasa di tanggal sembilan.” Namun, belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamsudah diwafatkan. (HR. Al Bukhari)

Adakah anjuran puasa tanggal 11 Bulan Muharram?

Sebagian ulama berpendapat, dianjurkan melaksanakan puasa tanggal 11 Muharram, setelah puasa Asyura’. Pendapat ini berdasarkan hadis:
صوموا يوم عاشوراء وخالفوا فيه اليهود وصوموا قبله يوما أو بعده يوما
“Puasalah hari Asyura’ dan jangan sama dengan model orang yahudi. Puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.” (HR. Ahmad, Al Bazzar).
Hadis ini dihasankan oleh Syaikh Ahmad Syakir. Hadis ini juga dikuatkan hadis lain, yang diriwayatkan Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra dengan lafadz:
صوموا قبله يوماً وبعده يوماً
“Puasalah sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya.”
Dengan menggunakan kata hubung وَ (yang berarti “dan”) sementara hadis sebelumnya menggunakan kata hubung أَوْ (yang artinya “atau”).
Al-Hafidz Ibn Hajar menjelaskan status hadis di atas:
Hadis ini diriwayatkan Ahmad dan al-Baihaqi dengan sanad dhaif, karena keadaan perawi Muhammad bin Abi Laila yang lemah. Akan tetapi dia tidak sendirian. Hadis ini memiliki jalur penguat dari Shaleh bin Abi Shaleh bin Hay. (Ittihaf al-Mahrah, hadis no. 2225)
Demikian keterangan Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Munajed.
Sementara itu, ulama lain berpendapat bahwa puasa tanggal 11 tidak disyariatkan, karena hadis ini sanadnya dhaif. Sebagaimana keterangan Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam ta’liq musnad Ahmad. Hanya saja dianjurkan untuk melakukan puasa tiga hari, jika dia tidak bisa memastikan tanggal 1 Muharam, sebagai bentuk kehati-hatian.
Imam Ahmad mengatakan:
Jika awal bulan Muharram tidak jelas maka sebaiknya puasa tiga hari: (tanggal 9, 10, dan 11 Muharram), Ibnu Sirrin menjelaskan demikian. Beliau mempraktekkan hal itu agar lebih yakin untuk mendapatkan puasa tanggal 9 dan 10. (Al Mughni, 3/174. Diambil dari Al Bida’ Al Hauliyah, hal. 52).
Disamping itu, melakukan puasa 3 hari, di tanggal 9, 10, dan 11 Muharram, masuk dalam cakupan hadis yang menganjurkan untuk memperbanyak puasa selama di bulan Muharram. Sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis dari Abu Hurairahradliallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim)
Ibnul Qayim menjelaskan bahwa puasa terkait hari Asyura ada tiga tingkatan:
  1. Tingkatan paling sempurna, puasa tiga hari. Sehari sebelum Asyura, hari Asyura, dan sehari setelahnya.
  2. Tingkatan kedua, puasa tanggal 9 dan tanggal 10 Muharram. Ini berdasarkan banyak hadis.
  3. Tingkatan ketiga, puasa tanggal 10 saja.
(Zadul Ma’ad, 2/72)

Bolehkah puasa tanggal 10 saja?

Sebagian ulama berpendapat, puasa tanggal 10 saja hukumnya makruh. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berencana untuk puasa tanggal 9, di tahun berikutnya, dengan tujuan menyelisihi model puasa orang yahudi. Ini merupakan pendapat Syaikh Ibn Baz rahimahullah.
Sementara itu, ulama yang lain berpendapat bahwa melakukan puasa tanggal 10 saja tidak makruh. Akan tetapi yang lebih baik, diiringi dengan puasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya, dalam rangka melaksanakan sunnah Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam majmu’ fatawa, Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya:
Bolehkah puasa tanggal 10 Muharam saja, tanpa puasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya. Mengingat ada sebagian orang yang mengatakan bahwa hukum makruh untuk puasa tanggal 10 muharram telah hilang, disebabkan pada saat ini, orang yahudi dan nasrani tidak lagi melakukan puasa tanggal 10.
Beliau menjawab:
Makruhnya puasa pada tanggal 10 saja, bukanlah pendapat yang disepakati para ulama. Diantara mereka ada yang berpendapat tidak makruh melakukan puasa tanggal 10 saja, namun sebaiknya dia berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. Dan puasa tanggal 9 lebih baik dari pada puasa tanggal 11. Maksudnya, yang lebih baik, dia berpuasa sehari sebelumnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Jika saya masih hidup tahun depan, saya akan puasa tanggal sembilan (muharram).” maksud beliau adalah puasa tanggal 9 dan 10 muharram….. Pendapat yang lebih kuat, melaksanakan puasa tanggal 10 saja hukumnya tidak makruh. Akan tetapi yang lebih baik adalah diiringi puasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. (Majmu’ Fatawa Ibn Utsaimin, 20/42)
Artikel KonsultasiSyariah.com