Minggu, 30 Oktober 2011

ETIKA SYAR'I BAGI PEREMPUAN


Penulis: Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi

Tidaklah diragukan bahwa perempuan sederajat dengan lelaki dalam hal kewajiban menjalankan perintah agama. Dimana kewajiban menjalankan perintah itu mencakup seluruh perintah agama seperti memurnikan tauhid, sholat, zakat, haji, puasa…dan lain sebagainya.
Dan telah dimaklumi oleh setiap muslim dan muslimah bahwa perintah-perintah agama itu memiliki syarat-syarat, rukun-rukun dan ketentuan-ketentuan yang harus terpenuhi sebagai keabsahan sebuah ibadah atau memenuhi kesempurnaannya. Dan tiada jalan untuk memahami dan menjalankan ibadah tersebut sesuai dengan tuntunannya yang benar kecuali dengan cara menuntut ilmu agama.
Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda, 
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ 
“Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap muslim.”[1]
Berkata Ibnul Jauzy rahimahullâh, “Perempuan adalah seorang yang mukallaf seperti laki-laki. Maka wajib terhadapnya untuk menuntut ilmu tentang perkara-perkara yang diwajibkan terhadapnya, agar ia menunaikan ibadah tersebut di atas keyakinan.”[2]
Dan tercatat indah dalam sejarah, bagaimana semangat para shahabiyâat radhiyallâhu ‘anhunnâ dalam menuntut ilmu dan bertanya akan berbagai problematika yang tengah mereka hadapi tanpa terhalangi oleh rasa malu mereka. Hal tersebut menunjukkan kewajiban menuntut ilmu yang tertanam dalam jiwa-jiwa mereka yang terpuji. ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ berkata,
نِعْمَ النِّسَاءِ نِسَاءُ الْأَنْصَارِ لَمْ يَكُنْ يَمْنَعُهُنَّ الْحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِي الدِّينِ
“Sebaik-baik perempuan adalah para perempuan Anshor. Tidaklah rasa malu menghalangi mereka untuk tafaqquh (memperdalam pemahaman) dalam agama.”[3]
an masih banyak dalil yang menunjukkan kewajiban seorang perempuan untuk menuntut ilmu. Bahkan seluruh dalil dari Al-Qur`ân dan As-Sunnah yang menjelaskan tentang kewajiban dan keutamaan menuntut ilmu juga termasuk dalil akan wajibnya perempuan menuntut ilmu, karena perintah pada dalil-dalil itu adalah umum mencakup seluruh umat; laki-laki maupun perempuan.

** Ketentuan Bolehnya Perempuan Keluar Untuk Menuntut Ilmu

Menetapnya perempuan di rumah adalah suatu hal yang wajib berdasarkan dalil dari Al-Qur`ân dan As-Sunnah. Allah Ta’âlâ berfirman,
“Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” [Al-Ahzâab :33]
Dan Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,
لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Janganlah kalian menahan kaum perempuan kalian dari mesjid-mesjid. Dan rumah-rumah mereka adalah lebih baik bagi mereka.”[4]
Dan Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,
إِنَّهُ قَدْ أُذِنَ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَاجَتِكُنَّ
“Sesungguhnya kalian telah diizinkan keluar untuk keperluan kalian.”[5]
Dalil-dalil di atas merupakan penjelasan bahwa hukum asal bagi perempuan adalah untuk menetap di rumahnya dan tidak boleh keluar darinya kecuali untuk hal yang darurat atau keperluan yang dibenarkan oleh syari’at.
Dan tentunya keluar untuk menuntut ilmu adalah salah satu keperluan yang diizinkan oleh syariat, apalagi jika yang dituntutnya adalah ilmu yang berkaitan dengan pelaksanaan kewajibannya.
Banyak dalil yang menunjukkkan akan hal tersebut. Di antaranya :
- Hadits Ummu Salamah radhiyallâhu ‘anhâ, beliau berkata,
“Ummi sulaim mendatangi Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam lalu berkata, Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidaklah malu dari kebenaran, apakah ada kewajiban mandi bagi perempuan bila ia mimpi basah? Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam menjawab, Iya, bila melihat air.” [6]
- Hadits ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ, dimana beliau berkata,
“Fatimah bintu Abi Hubaisy mendatangi Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam lalu berkata, Wahai Rasulullah, saya adalah perempuan yang istihâdhah, tidaklah saya suci, apakah saya (harus) meninggalkan sholat? Maka beliau menjawab, Tidak. Sesungguhnya itu hanyalah sekedar urat dan bukan haidh. Apabila haidhmu telah tiba maka tinggalkanlah sholat dan apabila (haidhmu) telah berlalu maka cucilah darah darimu kemudian sholatlah.”[7]
- Hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata,
“Para perempuan berkata kepada Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam, kaum lelaki telah mengalahkan kami terhadapmu. Jadikanlah dari dirimu suatu hari (khusus) untuk kami. Maka (beliau) menjanjikan kepada mereka suatu hari yang beliau menemui mereka padanya. Lalu (beliau) menasehati mereka dan memberikan perintah kepada mereka.” [8]
Demikian beberapa dalil yang menunjukkan bolehnya seorang perempuan untuk keluar dalam rangka menuntut ilmu agama.
** Namun harus diketahui bahwa bolehnya perempuan keluar untuk menuntut ilmu adalah dengan beberapa ketentuan dan etika. Di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Tidak terpenuhi dari pihak mahramnya siapa yang mengajarkan ilmu kepadanya.
Jika telah terpenuhi dari mahramnya –baik itu ayah, saudara, suami, anak dan yang semisalnya- siapa yang mencukupi kebutuhan ilmu yang dia tuntut, maka menetap di rumah adalah hal yang paling layak baginya berdasarkan dalil-dalil yang telah lalu.
Berkata Ibnul Jauzy rahimahullâh, “Perempuan adalah seorang yang mukallaf seperti laki-laki. Maka wajib terhadapnya untuk menuntut ilmu tentang perkara-perkara yang diwajibkan terhadapnya, agar ia menunaikan ibadah tersebut di atas keyakinan. Apabila ia mempunyai ayah, saudara, suami, atau mahram yang bisa mengajarkan hal-hal yang diwajibkan dan menuntunkan bagaimana cara menunaikan keawajiban-kewajiban tersebut, maka hal itu telah mencukupinya. Bila tidak, maka dia bertanya dan belajar.”[9]
Dan termasuk catatan penting yang harus diingat bahwa hajat perempuan untuk keluar menuntut ilmu tergantung jenis ilmu yang dia akan pelajari. Karena ilmu itu, ada yang sifatnya wajib ‘ain untuk dipelajari, dimana seorang muslimah kapan tidak mengetahuinya maka dia dianggap berdosa dan menelantarkan kewajibannya. Dan ada juga ilmu yang sifatnya fardhu kifayah, dimana kewajiban mempelajarinya menjadi gugur bila telah terdapat sekelompok manusia yang telah mencukupi kaum muslimin lainnya dalam mempelajarinya.
Adalah fardhu ‘ain terhadap seorang muslimah untuk mempelajari bagaimana cara memurnikan ibadah kepada Allah dan mentauhidkan-Nya. Maka sangat wajar bila memperlajari dan meyakini tauhid Rubûbiyah Allah, Ulûhiyah dan Al-Asmâ’ wash Sifât-Nya bersih dari segala noda kesyirikan dan penyimpangan adalah tugas pokoknya.
Seorang muslimah juga wajib untuk memahami hukum-hukum seputar thahârah -tata cara berwudhu, mandi haidh dan janâbah, tayyammum, ahkâm haidh, istihâdhah dan nifâs-. Sebagaimana dia juga wajib mendalami tuntunan sholat, zakat, haji dan puasa yang benar.
Juga wajib terhadapnya untuk mempelajari hukum Ihdâd, batasan-batasan aurat, syarat-syarat keluar dari rumah dan lain-lainnya.
Yang jelas, setiap perkara yang mesti dilakukan oleh seorang muslimah dalam menegakkan peribadatan kepada Rabb-nya maka merupakan suatu kewajiban untuk mempelajari dan memdalaminya. Tentunya tingkat kewajibannya berjenjang sesuai dengan jenis ibadah wajib yang mesti dia laksanakan.

2. Ada keperluan yang mendesak untuk keluar.
Seperti bila seorang muslimah telah mengalami sebuah problemetika yang harus dijawab dan dijelaskan secara syar’i, sedangkan tidak ada dari mahramnya yang bisa menjelaskannya atau mempertanyakannya kepada seorang alim yang terpercaya.
Dan di masa ini, kita sepatutnya senantiasa bersyukur kepada Allah akan berbagai kemudahan dan fasilitas yang diberikan kepada kita sehingga dengan sangat mudah untuk mempertanyakan masalah-masalah yang kita hadapi kepada ahlul ilmi dalam jangka waktu yang singkat. Baik itu melalui media komunikasi, surat dan lain-lainnya.
Tentunya keterangan di atas dibangun di atas dalil-dalil yang telah lalu.

3. Bertanya kepada orang yang tepat.
Bila terdapat dari kalangan perempuan orang yang berilmu dan bisa memberikan penjelasan kepadanya, maka tiada pilihan untuk bertanya kepada kaum lelaki. Dan demikian pula dari orang-orang yang berilmu dia memilih orang yang paling alim di antara mereka.

4. Terbatas pada keperluan.
Dalam posisi seorang muslimah bertanya langsung kapada seorang alim. Bila sang alim telah menjawab atau telah menjelaskan apa yang dia butuhkan, maka tidak boleh dia memperbanyak pembicaraan dengannya yang dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah karenanya. Allah Ta’âlâ berfirman,
“Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” [Al-Ahzâb :32]

5. Tidak boleh bercampur baur (ikhtilâth) dengan guru atau murid-murid lelaki yang ada di majelis.
Hal tersebut berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ, dimana beliau mendengar Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,
“Jangan sekali-kali seorang lelaki sersendirian dengan perempuan kecuali ada mahram bersamanya.”[10]
Dan dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ
“Hati-hati kalian dari menjumpai perempuan.”
Maka seorang lelaki dari Al-Anshôr berkata, “Bagaimana pendapatmu dengan Al-Hamuw[11]?” Beliau menjawab,
الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Al-Hamuw adalah maut.” [12]

6. Tidak melihat kepada laki-laki yang bukan mahramnya dan bertanya dari belakang hijab.
Hal tersebut berdasarkan firman Allah Ta’âlâ,
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir.” [Al-Ahzâb :53]
Dan dalam firman-Nya,
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya.” [An-Nûr :31]
Demikianlah beberapa etika dan adab dalam menuntut ilmu. Dan tentunya seorang perempuan muslimah ketika keluar dari rumahnya –dalam menuntut ilmu maupun selainnya- ada beberapa etika dan adab yang telah dimaklumi. Seperti berhijab dengan hijab yang syar’i, sebagaimana dalam firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ,
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya.” [An-Nûr :31)
Dan tidak boleh dia menampakkan keindahannya, sebagaimana dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla,
“Dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” [Al-Ahzâab :33]

Dan Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,
“Dua golongan dari penduduk Neraka yang saya belum pernah melihatnya sebelumnya : Kaum yang mempunyai cambuk-cambuk seperti ekor-ekor sapi untuk memukul manusia dengannya dan para perempuan yang berpakaian tapi telanjang berjalan berlenggak lenggok, kepala mereka seperti punuk onta, mereka tidaklah masuk sorga dan tidak (pula) menhirup baunya, padahal baunya dihirup dari jarak begini dan begini.” [13]
Dan tidak boleh keluar dari rumah dengan memakai wangi-wangian, sebagaimana dalam hadits Abu Musâ Al-Asy’ary radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,
“Siapa saja dari kalangan perempuan yang memakai wangi-wangian lalu ia melewati suatu kaum sehingga mereka mencium baunya maka ia adalah seorang pezina.” [14]

** Beberapa Akhlak Terpuji bagi Seorang Penuntu Ilmu

Seorang penuntut ilmu hendaknya berhias dengan mahligai ketakwaan dalam zhohir dan bathinnya dan mengikhlaskan niatnya karena Allah. Makna ikhlas yaitu engkau meniatkan upaya dan usahamu dalam menuntut ilmu untuk mengangkat kejahilan dari dirimu dan untuk memurnikan ibadah kepada Allah dengan cara yang benar. Allah Ta’âlâ berfirman,
“Dan bertakwalah kepada Allah; Allah akan memberikan ilmu kepadamu. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [Al-Baqarah :282]

Dan Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Setiap amalan sesuai dengan niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan.”

Berkata Ibrahim An-Nakha’iy rahimahullâh, “Siapa yang menuntut suatu ilmu dengan mengharap wajah Allah, maka Allah akan memberikan kepada apa yang mencukupinya.”[15]

Dan berkata Al-Hasan Al-Bashry rahimahullâh, ”Siapa yang menuntut suatu ilmu ini, lalu ia menghendaki apa yang ada disisi Allah ia akan mendapatkannya -insyaAllah-. Dan siapa yang menghendaki dunia karenanya, maka -demi Allah- itulah bagiannya dari ilmu itu.”[16]

Dan hendaknya engkau memakmurkan zhohir dan bathinmu dengan rasa takut kepada Allah dan terus menerus merenungi kekuasaan dan kebesaran Allah. Ketahuilah bahwa ilmu itu bukan sekedar pengetahuan tanpa ada khasy-yah (rasa takut) kepada Allah.

Berkata Ibnu Mas’ûd radhiyallâhu ‘anhu, “Ilmu itu bukanlah dengan banyak periwayatan, tapi ilmu itu adalah Al-Khasy-yah.”[17]

Bahkan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” [Fâthir : 28]

Dan bersemangatlah kalian para penuntut ilmu untuk beramal dengan ilmu yang telah engkau pelajari, sebab ilmu itu dipelajari untuk diamalkan. Dan dengan mengamalkan ilmu itu engkau akan mendapat tambahan anugrah ilmu dan berbagai keutamaan serta kebaikan. Allah ‘Azza wa Jalla telah menjanjikan dalam firman-Nya,
“Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (mereka), dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami, dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” [An-Nisâ` :66-68]
Dan komitmenlah dalam menegakkan ibadah kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan ibadah-ibadah yang disunnahkan sebab itu adalah salah satu sifat seorang yang faqih (paham agama). Berkata Al-Hasan Al-Bashry rahimahullâh, “Seorang yang faqih adalah orang yang zuhud pada dunia, mendalam ilmu agamanya dan terus menerus di atas ibadah kepada Rabb-nya.”[18]
Dan peliharahlah segala perintah dan ketentuan Allah pada dirimu dan jangan engkau menelantarannya. Ingatlah selalu wejangan Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam kepada Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ
احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ
“Jagalah (batasan-batasan) Allah niscaya Allah akan senantiasa menjagamu. Jagalah (batasan-batasan) Allah niscaya engkau akan mendapati Allah di hadapanmu.” [19]
Dan berhati-hatilah –wahai saudari penuntut ilmu- dari sifat hasad, sebab itu adalah penyakit yang telah banyak menghambat jalan para penuntut ilmu. Allah telah mengingatkan dalam firman-Nya,
“Ataukah mereka dengki kepada manusia lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya?” [An-Nisâ` :54]
Dan obatilah penyakit itu dengan selalu mengingat firman-Nya,
“Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat.” [Az-Zukhruf :32]
Dan berwaspadalah dari sikap bangga terhadap ilmu yang engkau dapatkan dan hindarkan dirimu dari sikap congkak.
Allah telah mengingatkan, “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [Luqmân :18]
Dan Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam telah bersabda,
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk sorga siapa yang terdapat sebesar dzarrah dari sikap sombong dalam hatinya.” [20]
Semoga Allah memudahkan untuk kita semua segala jalan dalam menuntut ilmu dan membukakan untuk kita semua pintu-pintu kebaikan dan rahmat. Wallâhu Ta’âlâ A’lam.@

‎[1] Hadits hasan diriwayatkan oleh sejumlah shahabat. Dishohihkan oleh Al-Albâny dalam Takhrîj Musykilatul Faqr hal 80 dan dihasankan oleh Syaikh Muqbil –sebagaimana yang kami dengar dari beliau-. Dan As-Suyuthi mempunyai risalah tersendiri dalam mengumpulkan jalan-jalan periwayatan hadits ini.
[2] Ahkâm An-Nisâ` karya Ibnul Jauzy hal. 7
[3] Dikeluarkan oleh Muslim no. 500, Abu Dâud no. 270 dan Ibnu Mâjah no. 634.
[4] Dikeluarkan oleh Ahmad 2/76, 76-77, Abu Dâud no. 567, Ibnu Khuzaimah no. 1684, Al-Hâkim 1/259 dan Al-Baihaqy 3/131 dari Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhumâ. Dan dishohihkan oleh Al-Albâny dari seluruh jalannya dalam Irwâ`ul Gholîl 2/294 dan dalam Ats-Tsamar Al-Mustathôb 2/730.
[5] Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim no. 2170.
[6] Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry, Muslim no. 313, At-Tirmidzy no. 122, An-Nasâ`i 1/114-115 dan Ibnu Mâjah no. 600.
[7] Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry, Muslim, At-Tirmidzy, An-Nasâ`i dan Ibnu Mâjah.
[8] Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry, Muslim dan An-Nasâ`i dalam As-Sunan Al-Kubrô.
[9] Ahkâm An-Nisâ` karya Ibnul Jauzy hal. 7
[10] Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry, Muslim dan An-Nasâ`i dalam ‘Usyratun Nisâ` no. 334.
[11] Yang dimaksud dengan Al-Hamuw di sini adalah kerabat suami seperti saudara, anak saudara, paman, anak paman dan yang semisalnya. Demikian keterangan An-Nawawy dalam Al-Minhâj 7/161-162 (cet. Dâr Alam Al-Kutub)
[12] Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry, Muslim, At-Tirmidzy dan An-Nasâ`iy dalam ‘Usyratun Nisâ` no. 334.
[13] Dikeluarkan oleh Muslim dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu.
[14] Dikeluarkan oleh Ahmad 4/414, Abu Dâud no. 4173, At-Tirmidzy no. 2786 dan An-Nasâ`i dengan sanad yang shohih.
[15] Dikeluarkan oleh Ad-Dârimi no. 265 dengan sanad yang shohih.
[16] Dikeluarkan oleh Ad Dârimy no 254 dengan sanad yang shohih.
[17] Dikeluarkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jâmi’ Bayân Al-Ilmi wa Fadhlih 2/25 dengan sanad yang shohih.
[18] Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 2/147 dengan sanad yang hasan.
[19] Dikeluarkan oleh Ahmad 1/293 dan At-Tirmidzy no. 2016 dengan sanad yang hasan.
[20] Dikeluarkan oleh Muslim, Abu Dâud, At-Tirmidzy dan Ibnu Mâjah

Kamis, 27 Oktober 2011

10 HARI AWAL BULAN DZULHIJJAH


Bulan Dzulhijjah merupakan salah satu Arba’atun Hurum. Maksud Arba’atun Hurum adalah 4 bulan yang memiliki kehormatan.
Keberadaan 4 bulan tersebut disebutkan Allah Ta’ala dalam firman-Nya (artinya) :
Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah itu ada 12 bulan. Kesemuanya dalam ketetapan Allah di hari Dia menciptakan langit dan bumi. Di antara (12 bulan) tersebut terdapat 4 bulan yang memiliki kehormatan …”[At taubah:36].
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam menegaskan dalam salah satu sabdanya (artinya):
… 1 tahun ada 12 bulan. Di antara 12 bulan tersebut terdapat 4 bulan yang memiliki kehormatan. 3 di antaranya tiba berturut-turut yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Sedangkan yang satu adalah Rajab yang merupakan bulan pilihan orang dari Mudhar dan terletak antara bulan Jumaada (Jumaadats Tsaniyah/ Jumaadal Akhirah) dan Sya’ban …” [H.R Al Bukhari dan Muslim].
Apabila sesuatu itu mendapatkan kehormatan dari Allah Yang Maha Mulia, maka kita -sebagai hamba-Nya- juga turut memberikan penghormatan kepadanya. Barangsiapa mengagungkan atau menghormati sesuatu yang diagungkan Allah, maka dia akan memperoleh pahala dari sisi Allah Ta’ala. 
Allah berfirman (artinya): “Demikianlah (perintah Allah). Barangsiapa mengagungkan sesuatu yang diagungkan Allah, maka itu lebih baik baginya di sisi Rabbnya.” [Al Hajj: 30].
Atas dasar itu, kita memuliakan bulan Dzulhijjah karena Allah telah memuliakannya dan itu adalah tanda kecintaan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bulan Dzulijjah tetap memiliki kemuliaan, sekalipun tidak sedikit diantara kaum muslimin yang belum mengerti atau peduli dengan hal itu.

10 Hari Awal Bulan Dzulhijjah

Diantara hari-hari dalam bulan Dzulhijjah, 10 hari awal padanya memiliki keutamaan tersendiri.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda (artinya):
Tidaklah ada hari-hari lain yang amal shalih padanya itu lebih dicintai Allah daripada (amal shalih) di 10 hari (awal Dzulhijjah) ini.” Lalu mereka (para shahabat) bertanya: “Wahai Rasulullah, sekalipun amal shalih (di hari-hari lain) tadi adalah perang di jalan Allah?” Maka beliau menjawab,” Sekalipun amal shalih tersebut adalah perang di jalan Allah, kecuali seseorang yang keluar berperang dengan jiwa dan hartanya lalu tidak kembali sedikitpun dari jiwa dan harta tersebut.” [Al Irwa’ 953. Lihat Al Bukhari].
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Dan yang tampak bahwa sebab keistimewaan 10 hari (awal) Dzulhijjah karena berkumpulnya induk ibadah padanya seperti shalat, puasa, shadaqah dan haji. Sedangkan keistimewaan tersebut tidak terdapat pada hari-hari lain.” [Fathul Bari]
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah –ketika menerangkan hadits tersebut yang terdapat dalam Al-Bukhari- berkata: “Hadits ini sifatnya umum, bahwa seluruh amal shalih di 10 hari tadi dicintai Allah ‘Azza Wa Jalla dan lebih utama daripada amal shalih di hari-hari lain. Hadits ini mencakup segenap amal shalih seperti shalat, shadaqah, membaca Al Qur’an, zikir, puasa dan sebagainya …” [Syarhul Bukhari].
Bahkan, beliau –dalam sebuah pernyataan- membandingkan bahwa amal shalih di 10 hari (awal) Dzulhijjah itu lebih dicintai Allah daripada amalan shalih di 10 hari akhir Ramadhan. Bersamaan dengan itu, manusia telah lalai tentang hal tersebut. [Lihat asy-Syarhul Mumti’].
Adapun Syaikhul Islam rahimahullah merinci perbandingan tersebut. Rinciannya: bahwa 10 hari awal Dzulhijjah lebih utama daripada 10 hari akhir Ramadhan. Sedangkan 10 malam akhir Ramadhan itu lebih utama daripada 10 malam awal Dzulhijjah. [Lihat catatan kaki Al I’laam]. Wallahu a’lam
Hanya saja terkait puasa di hari ke-10 Dzulhijjah yang memang bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha dan puasa di hari Tasyriq (11,12 dan 13 Dzulhijjah), maka kedua puasa tersebut merupakan perkara yang dilarang  bila dikerjakan pada saat itu.

Puasa Arafah

Disebutkan dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallalahu ‘alaihi Wasallam  pernah ditanya tentang puasa Arafah (9 Dzulhijjah –pen), maka beliau menjawab (artinya): “(Puasa tersebut) menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” [H.R Muslim].
Para pembaca –semoga Allah merahmati kita semua- hadits Abu Qatadah ini menerangkan keutamaan puasa di hari Arafah (9 Dzulhijjah) yaitu menghapus dosa yang lalu maupun dosa yang akan datang. Yang dimaksud menghapus dosa yang akan datang adalah seseorang yang akan berpuasa Arafah diberi hidayah untuk meninggalkan dosa atau diberi taufik untuk bertaubat bila telah melakukan dosa.
Adapun yang dimaksud dosa dalam hadits Abu Qatadah tersebut adalah dosa kecil, bukan dosa besar. Hal itu karena dosa besar tidaklah bisa dihapus kecuali dengan taubat. Allah Ta’ala berfirman (artinya): “Bila kalian meninggalkan dosa-dosa besar yang kalian dilarang untuk mengerjakannya maka Kami (Allah) akan menghapus dosa-dosa kalian” [An Nisaa’:31].

Faedah

1. Diharamkan bagi orang yang akan berkurban untuk memotong rambut/bulu, kuku atau kulit (khitan) pada tubuhnya sejak tanggal 1 sampai dengan 10 Dzulhijjah atau usai menyembelih. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam (artinya): “Bila telah masuk 10 hari awal Dzulhijjah, sedangkan salah seorang diantara kalian ingin berkurban maka janganlah ia memotong rambut/ bulu atau kulit pada tubuhnya sedikitpun.” Dalam riwayat lain: “…dan memotong kuku pada tubuhnya.” [H.R Muslim].
Akan tetapi bila ternyata kuku orang yang akan berkurban tadi patah atau ada rambut/bulu yang tumbuh menganggu maka boleh dipotong [Lihat asy-Syarhul Mumti’].
2. Bila orang yang akan berkurban tersebut ternyata melanggar larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam tadi, maka penyembelihannya tetap sah namun ia berdosa sehingga wajib bertaubat dan tidak ada fidyah (tebusan) baginya. [Lihat asy-Syarhul Mumti’ dan Al Mulakhash Al Fiqhi].
3. Jika seseorang itu baru berniat berkurban di tengah 10 hari awal Dzulhijjah dan ternyata saat itu ia sudah memotong rambut/bulu, kulit atau kukunya maka larangan dalam hadits tadi berlaku sejak dia mulai berniat. [Lihat asy-Syarhul Mumti’].
4. Larangan memotong rambut/bulu, kulit atau kuku tidak berlaku bagi anggota keluarga orang yang berkurban tadi atau tidak berlaku pula hal itu bagi rang yang semata-mata ditunjuk mengurusi hewan kurban.[Lihat Syarhul Bukhari].

Larangan Menzhalimi Diri Sendiri di Bulan Dzulhijjah

Dalam salah satu ayat Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman (artinya): “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah itu ada 12 bulan. Kesemuanya dalam ketetapan Allah di hari Dia menciptakan langit dan bumi. Diantara (12 bulan) tersebut terdapat 4 bulan yang memiliki kehormatan. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menzhalimi diri kalian sendiri pada bulan-bulan tersebut.” [At Taubah:36].
Ketika menyampaikan ayat ini dalam salah satu khutbah, asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaiminrahimahullah berkata: “Rabb kita Ta’ala telah melarang kita untuk menzhalimi diri kita sendiri pada bulan-bulan tersebut. Sedangkan larangan dari menzhalimi diri sendiri itu berlaku untuk seluruh keadaan dan tempat (kita berada). Namun 4 bulan ini memiliki kekhususan yang perbuatan zhalim terhadap diri sendiri pada  4 bulan tersebut keadaannya lebih berat. Atas dasar itu Allah melarang dari kezhaliman pada bulan-bulan tersebut secara tersendiri. Maka hendaknya kalian menghormati dan mengagungkan bulan-bulan tersebut. Jauhilah perbuatan zhalim pada diri sendiri di bulan-bulan ini agar kalian beruntung. Lalu bila kalian bertanya: “Apa maksud perbuatan zhalim terhadap diri sendiri?” (Jawabnya) perbuatan zhalim terhadap diri sendiri bentuknya ada 2 macam:
-          meninggalkan perintah Allah
-          melakukan larangan Allah
Itu semua adalah perbuatan zhalim terhadap diri sendiri. Jiwa itu merupakan amanah untukmu, sehingga engkau wajib menjaga amanah tersebut dengan sebaik-baiknya. Arahkanlah jiwamu untuk mengerjakan sesuatu yang merupakan kebahagiaan dan kebaikan bagi jiwa tersebut serta jauhkan ia dari sesuatu yang merupakan kesengsaraan dan kejelekan baginya.” [Adh-Dhiyaa’ul Laami’ Minal Khuthabil Jawaami’].
Para ulama menyebutkan sebuah kaidah yang menerangkan bahwa amal shalih yang dikerjakan di waktu atau tempat yamg memiliki keutamaan akan dilipatgandakan pahalanya di sisi Allah. Sedangkan amal jelek yang dilakukan di waktu dan tempat yang memiliki keutamaan akan dilipatgandakan dosanya di sisi Allah.
Dengan demikian, sudah selayaknya untuk kita menumbuhkan perhatian terhadap tuntunan agama tentang perbuatan baik maupun buruk dimana dan kapanpun kita berada, terlebih di tempat atau waktu yang memiliki kehormatan. Semoga dengan itu kita mendapatkan keberuntungan dan kebahagiaan. Allahlah Dzat yang senantiasa kita mintai pertolongan.
Wallahu a’lam bish-Shawaab
Redaksi As Sunnah Madiun.wordpress.com

Selasa, 25 Oktober 2011

Orang Cerdas Tidak Melewatkan Kesempatan Emas Di Bulan Dzulhijjah…!!!


بسم الله الرحمن, الحمد لله رب العالمين و صلى الله و سلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, أما بعد:
 
 
Para pembaca…semoga Anda selalu dalam keadaan sehat, penuh iman.
 
Termasuk tingkat kejeniusan yang sangat tinggi adalah mengenal kesempatan-kesempatan emas, waktu-waktu berharga, keadaan-keadaan penting yang disebutkan di dalam syariat Islam berdasarkan Al Quran dan hadits shahih, dan tidak membiarkan kesempatan, waktu dan keadaan tersebut terbuang percuma tanpa diisi dengan amal shalih.
 
Termasuk di dalamnya KESEMPATAN EMAS DI BULAN DZULHIJJAH!!!
 
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhum berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
 
 
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْرِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ .
 
 
Artinya: "Tiada hari-hari yang amal shalih di dalamnya lebih dicintai Allah daripada hari-hari ini". yakni 10 hari pertama dari bulan Dzulhijjah, mereka (para shahabat) bertanya: "Wahai Rasulullah, dan tidak juga berjihad di jalan Allah (lebih utama darinya)?", beliau bersabda: "Dan tidak juga berjihad di jalan Allah (lebih utama darinya), kecuali seseorang yang berjuang dengan dirinya dan hartanya lalu ia tidak kembali dengan apapun". HR. Bukhari dan Muslim.
 
 
Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma berkata: "Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
 
 
"مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ الْعَمَلِ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنْ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ".
 
 
Artinya: "Tiada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah dan yang lebih ia cintai untuk beramal di dalamnya daripada 10 hari ini, maka perbanyaklah membaca tahlil, takbir, dan tahmid di dalamnya”. HR. Ahmad dan di shahihkan oleh Al Mundziry dan Ahmad Syakir tetapi dilemahkan oleh Al Albani di dalam kitab Dha’ih At Targhib wa At Tarhib, 744.
 
Abu Qatadah Al Anshari radhiyallahu 'anhu berkata:
 
 
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ ». رواه مسلم
 
 
Artinya: Bahwa Rasulullah ditanya tentang puasa Hari Arafah: "Menghapuskan (dosa-dosa) setahun lalu dan setahun yang akan datang"HR. Muslim.
 
Dari Hadits-hadits di atas dianjurkan untuk memperbanyak amal shalih di 10 hari pertama bulan Dzulhijjah, seperti; Menunaikan haji dan umrah, berpuasa, berkurban, bertakbir, bertahmid dan bertasbih serta bertahlil, serta amal shalih lainnya.
 
Kenapa dianggap cerdas orang yang menggunakan kesempatan emas ini?
 
1)   Karena mungkin ini adalah ibadah terakhir dan ini pertanda baik dari Allah Ta’ala.
 
 
عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا اسْتَعْمَلَهُ ». فَقِيلَ كَيْفَ يَسْتَعْمِلُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « يُوَفِّقُهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ قَبْلَ الْمَوْتِ ».
 
 
Artinya: “Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika Allah menginginkan kebaikan untuk seorang hamba maka dia akan memakainya”, beliau ditanya: “Bagaimana Allah akan memakainya, wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”, beliau menjawab:“Allah akan memberinya petunjuk untuk beramal shalaih sebelum meninggal”. HR. Tirmidzi dan dishahihkan di dalam kitab shahih Al Jami’, no. 304.
 
2)   Karena mungkin kesempatan ini tidak akan kembali lagi.
3)   Karena mungkin jika kesempatan ini kembali kita tidak dalam keadaan sehat dan mampu beramal shalih.
 
 
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِرَجُلٍ وَهُوَ يَعِظُهُ: " اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ , شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ , وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ , وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ , وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغُلُكَ , وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ "
 
Artinya: “Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda menasehatinya: “Gunakanlah dengan baik lima perkara sebelum datang lima (yang lain): MASA MUDAMU SEBELUM DATANG MASA TUAMU, SEHATMU SEBELUM DATANG SAKITMU, KAYAMU SEBELUM DATANG FAKIRMU, WAKTU LUANGMU SEBELUM DATANG WAKTU SIBUKMU DAN HIDUPMU SEBELUM DATANG MATIMU”. HR. Al Hakim, Al Baihaqi dan di shahihkan di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 1077.
 
 
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَقُولُ إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ .
 
Artinya: “Abdullah bin Umar senantiasa mengucapkan: “Jika kamu masuk waktu sore maka janganlah menunggu waktu pagi dan jika kamu masuk waktu pagi maka janganlah menunggu waktu sore, pergunakanlah kesehatanmu untuk sakitmu dan kehidupanmu untuk kematianmu”. HR. Bukhari.
 
 
4)   Karena sifat malas adalah sifatnya munafik.
 
 
{إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا }
 
 
Artinya: Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali”. QS. An NIsa: 142.
 
 
{وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلَا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَى وَلَا يُنْفِقُونَ إِلَّا وَهُمْ كَارِهُونَ }
 
Artinya: Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan”. QS. At Taubah:54.
 
 
 
Mari perhatikan perkataan yang sangat luar biasa ini …terutama bagi pemalas beribadah…
 
Berkata Syeikh Al Mufassir Abdurrahman bin Nashir As Sa’dy rahimahullah:
 
والكسل لا يكون إلا من فقد الرغبة من قلوبهم، فلولا أن قلوبهم فارغة من الرغبة إلى الله وإلى ما عنده، عادمة للإيمان، لم يصدر منهم الكسل تفسير السعدي (ص: 210)
 
 
Artinya: “Sikap malas tidak akan ada kecuali bagi siapa yang telah kehilangan keinginan (terhadap kebaikan) dari hati-hati mereka, maka kalau seandainya hati-hati mereka tidak terlepas dari keinginan kepada Allah dan (keinginan) kepada apa yang ada di sisi-Nya (yang disediakan-Nya berupa nikmat) dan hilangnya iman, maka tidak akan keluar dari mereka sikap malas”. Lihat tafsir As Sa’diy, hal. 210.
 
 
Ditulis oleh: Ahmad Zainuddin
Selasa 27 Dzulhijjah 1432H Dammam KSA

Sabtu, 22 Oktober 2011

KRITERIA HEWAN QURBAN


Assalamu ‘alaikum,
mohon dijelaskan, apa kriteria hewan kurban yang baik menurut sunnah?
Trimakasih
Abu Ahmad jogja (TegXXXXXXXX@yahoo.com)

Jawaban:
Wa ‘alaikumus salam

Kriteria hewan kurban ada dua:

  1. Kriteria keabsahan, yaitu semua sifat yang ada pada hewan, sehingga bernilai sah jika digunakan untuk berkurban.
  2. Kriteria sunah, artinya beberapa sifat hewan yang dianjurkan untuk mendapatkan keutamaan yang lebih dibanding hewan lainnya dalam pelaksanaan ibadah kurban.
Diantara kriteria keabsahan hewan kurban adalah

pertama, hewan tersebut dimiliki dengan cara kepemilikan yang halal. Sehingga tidak sah berkurban dengan binatang hasil merampas, hewan curian, atau dimiliki dengan akad yang haram, atau dibeli dengan uang yang murni haram, seperti riba. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah itu Maha Baik, dan tidak menerima kecuali yang baik…” (HR. Muslim)

kedua, jenis hewan kurban yang sesuai dengan ketentuan syariat.

Hewan yang boleh untuk kurban adalah dari jenis bahimatul an’am, yang meliputi: unta, sapi, kambing, dan domba. Allah berfirman:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ الله عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الأَنْعَامِ
Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka…(QS. Al Haj: 34)
Imam An-Nawawi menyebutkan adanya kesepakatan ulama bahwa kurban tidak sah kecuali dari jenis unta, sapi, dan kambing. (Syarh Shahih Muslim, karya An-Nawawi).

ketiga, hewan kurban memiliki usia minimal yang telah ditetapkan

Usia minimal hewan kurban agar bisa digunakan untuk berkurban adalah sebagai berikut:

no.
Jenis hewanUsia minimal
-1.DombaGenap 6 bulan, masuk bulan ketujuh
-2.KambingGenap 1 tahun, masuk tahun kedua
-3.SapiGenap 2 tahun, masuk tahun ketiga
-4.UntaGenap 5 tahun, masuk tahun keenam

Tabel di atas sesuai dengan hadis riwayat Muslim.
Dalil lainnya, hadis dari Mujasyi’ bin mas’ud radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya domba usia 6 bulan nilainya sama dengan kambing usia 1 tahun.” (HR. Abu daud, An-Nasa’i, Ibnu Majah, dan dishahihkan Al-Albani).

keempat, bersih dari cacat yang menyebabkan tidak sah untuk dijadikan hewan kurban.

Ada empat cacat hewan yang menyebabkan tidak sah untuk dijadikan hewan kurban: buta sebelah matanya dan jelas butanya, sakit dan jelas sakitnya, pincang dan jelas pincangnya, dan sangat kurus sampai-sampai tidak punya sumsum tulang.

Dari Al Barra’ bin Azib radliallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sambil berisyarat dengan tangannya demikian (empat jari terbuka): “Ada empat cacat yang tidak boleh dalam hewan Kurban: buta sebelah matanya dan jelas butanya, sakit dan jelas sakitnya, pincang dan jelas pincangnya, dan sangat kurus sampai-sampai tidak punya sumsum tulang.” Al Barra’ mengatakan, “Apapun ciri binatang yang tidak kamu sukai maka tinggalkanlah dan jangan haramkan untuk orang lain. (HR. An-Nasa’i, Abu Daud dan dishahihkan Al-Albani)

kelima, jika pengadaan hewan kurban dari hasil urunan, maka peserta urunan tidak boleh melebihi batas maksimal. Untuk sapi maksimal 7 orang, dan Unta maksimal 10 orang. Sedangkan untuk kambing, tidak boleh ada urunan.

Sementara kriteria sunah pada hewan kurban, antara lain domba jantan bertanduk, warna putih bercampur hitam di sekitar matanya dan kaki-kakinya. Inilah ciri-ciri kambing yang disukai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia gunakan untuk berkurban.

Dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha, bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta domba bertanduk, menginjak sesuatu yang hitam, duduk di atas yang hitam, dan melilhat dengan sesuatu yang hitam. 
Kemudian beliau diberi hewan dengan ciri tersebut dan beliau gunakan untuk berqurban. (HR. Muslim).

keterangan: maksud “menginjak sesuatu yang hitam, duduk di atas yang hitam, dan melilhat dengan sesuatu yang hitam” : kaki-kaki, sekitarmata, dan perutnya berwarna hitam.

Dari ‘Aisyah dan Abu Hurairah radliallahu ‘anhuma, bahwa suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin berkurban, kemudian membeli dua ekor domba yang besar, gemuk, bertanduk, berwarna putih bercampur hitam, dan dikebiri. Kemudian ia menyembelihnya…(HR. Ibnu Majah dan dishahihkan Al- Albani).

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariat)
Atikel www.KonsultasiSyariat.com