Senin, 29 Agustus 2011

ZAKAT PROFESI DALAM TINJAUAN


Apakah Ijtihad/Qiyas yang dipakai oleh ulama yang membolehkan Zakat Profesi itu bisa dijadikan dalil untuk diamalkan?

Bismillaahirrahmaanirrahii. Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillaah wa shalatu wassalaammu ‘alaa Rasulillaah…Ustadz yang semoga Allah senantiasa menjagamu, tadi pagi saya ditanya atasan saya perihal Hukum zakat profesi, Apakah Ijtihad/Qiyas yang dipakai oleh ulama yang membolehkan zakat profesi itu bisa dijadikan dalil untuk diamalkan? di Perusahaan saya sudah lama diberlakukan zakat profesi ini dengan cara potong gaji tiap bulannya berdasarkan kesepakatan sebelumnya, ada yang mau dan ada pula yang tidak mau dipotong gajinya. Terus adakah buku yang bagus yang khusus menjelaskan zakat profesi ini?
Dari: Hasan

Penjelasan penting perihal zakat profesi

Zakat yang diwajibkan untuk dipungut dari orang-orang kaya telah dijelaskan dengan gamblang dalam banyak dalil. Dan zakat adalah permasalahan yang tercakup dalam kategori permasalahan ibadah, dengan demikian tidak ada peluang untuk berijtihad atau merekayasa permasalahan baru yang tidak diajarkan dalam dalil. Para ulama’ Dari berbagai mazhab telah menyatakan:
الأَصْلُ فِي العِبَادَاتِ التَّوقِيفُ
“Hukum asal dalam permasalahan ibadah adalah tauqifi alias terlarang.”

Berdasarkan kaidah ini, para ulama’ menjelaskan bahwa barangsiapa yang membolehkan atau mengamalkan suatu amal ibadah, maka sebelumnya ia berkewajiban untuk mencari dalil yang membolehkan atau mensyari’atkannya. Bila tidak, maka amalan itu terlarang atau tercakup dalam amalan bid’ah:
مَنْ عَمِلَ عَمَل لَيْسَ عَلَيهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ رواه مسلم
“Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amalan itu tertolak.” (Riwayat Muslim)

Coba anda renungkan: Zakat adalah salah satu rukun Islam, sebagaimana syahadatain, shalatpuasa, dan haji. Mungkinkah anda dapat menolerir bila ada seseorang yang berijtihad pada masalah-masalah tersebut dengan mewajibkan sholat selain sholat lima waktu, atau mengubah-ubah ketentuannya; subuh menjadi 4 rakaat, maghrib 5 rakaat, atau waktunya digabungkan jadi satu. Ucapan syahadat ditambahi dengan ucapan lainnya yang selaras dengan perkembangan pola hidup umat manusia, begitu juga haji, diadakan di masing-masing negara guna efisiensi dana umat dan pemerataan pendapatan dan kesejahteraan umat. Dan puasa ramadhan dibagi pada setiap bulan sehingga lebih ringan dan tidak memberatkan para pekerja pabrik dan pekerja berat lainnya.

Mungkinkah anda dapat menerima ijtihad ngawur semacam ini? Bila anda tidak menerimanya, maka semestinya anda juga tidak menerima ijtihad zakat profesi, karena sama-sama ijtihad dalam amal ibadah dan rukun Islam.

Terlebih-lebih telah terbukti dalam sejarah bahwa para sahabat nabi dan juga generasi setelah mereka tidak pernah mengenal apa yang disebut-sebut dengan zakat profesi, padahal apa yang disebut dengan gaji telah dikenal sejak lama, hanya beda penyebutannya saja. Dahulu disebut dengan al ‘atha’ dan sekarang disebut dengan gaji atau raatib atau mukafaah. Tentu perbedaan nama ini tidak sepantasnya mengubah hukum.

Ditambah lagi, bila kita mengkaji pendapat ini dengan seksama, maka kita akan dapatkan banyak kejanggalan dan penyelewengan. Berikut sekilas bukti akan kejanggalan dan penyelewengan tersebut:
  1. Orang-orang yang mewajibkan zakat profesi meng-qiyaskan (menyamakan) zakat profesi dengan zakat hasil pertanian, tanpa memperdulikan perbedaan antara keduanya. Zakat hasil pertanian adalah 1/10 (seper sepuluh) dari hasil panen bila pengairannya tanpa memerlukan biaya, dan 1/20 (seper dua puluh), bila pengairannya membutuhkan biaya. Adapun zakat profesi, maka zakatnya adalah 2,5 %, sehingga qiyas semacam ini adalah qiyas yang benar-benar aneh dan menyeleweng. Seharusnya qiyas yang benar ialah dengan mewajibkan zakat profesi sebesar 1/10 (seper sepuluh) bagi profesi yang tidak membutuhkan modal, dan 1/20 (seper dua puluh), tentu ini sangat memberatkan, dan orang-orang yang mengatakan ada zakat profesi tidak akan berani memfatwakan zakat profesi sebesar ini.
  2. Gaji diwujudkan dalam bentuk uang, maka gaji lebih tepat bila diqiyaskan dengan zakat emas dan perak, karena sama-sama sebagai alat jual beli, dan standar nilai barang.
  3. Orang-orang yang memfatwakan zakat profesi telah nyata-nyata melanggar ijma’/kesepakatan ulama’ selama 14 abad, yaitu dengan memfatwakan wajibnya zakat pada gedung, tanah dan yang serupa.
  4. Gaji bukanlah hal baru dalam kehidupan manusia secara umum dan umat Islam secara khusus, keduanya telah ada sejak zaman dahulu kala. Berikut beberapa buktinya:
Sahabat Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu pernah menjalankan suatu tugas dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu iapun di beri upah oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Pada awalnya, sahabat Umar radhiallahu ‘anhu menolak upah tersebut, akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Bila engkau diberi sesuatu tanpa engkau minta, maka makan (ambil) dan sedekahkanlah.” (Riwayat Muslim)

Seusai sahabat Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dibai’at untuk menjabat khilafah, beliau berangkat ke pasar untuk berdagang sebagaimana kebiasaan beliau sebelumnya. Di tengah jalan, beliau berjumpa dengan Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu, maka Umarpun bertanya kepadanya: “Hendak kemanakah engkau?” Abu Bakar menjawab: “Ke pasar.” Umar kembali bertanya: “Walaupun engkau telah mengemban tugas yang menyibukkanmu?” Abu Bakar menjawab: “Subhanallah, tugas ini akan menyibukkan diriku dari menafkahi keluargaku?” Umarpun menjawab: “Kita akan meberimu secukupmu.” (Riwayat Ibnu Sa’ad dan Al Baihaqy)

Imam Al Bukhary juga meriwayatkan pengakuan sahabat Abu Bakar radhiallahu ‘anhu tentang hal ini,
لقد عَلِمَ قَوْمِي أَنَّ حِرْفَتِي لم تَكُنْ تَعْجِزُ عن مؤونة أَهْلِي وَشُغِلْتُ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَسَيَأْكُلُ آلُ أبي بَكْرٍ من هذا الْمَالِ وَيَحْتَرِفُ لِلْمُسْلِمِينَ فيه
“Sungguh kaumku telah mengetahui bahwa pekerjaanku dapat mencukupi kebutuhan keluargaku, sedangkan sekarang, aku disibukkan oleh urusan umat Islam, maka sekarang keluarga Abu Bakar akan makan sebagian dari harta ini (harta baitul maal), sedangkan ia akan bertugas mengatur urusan mereka.” (Riwayat Bukhary)

Ini semua membuktikan bahwa gaji dalam kehidupan umat islam bukanlah suatu hal yang baru, akan tetapi, selama 14 abad lamanya tidak pernah ada satupun ulama’ yang memfatwakan adanya zakat profesi atau gaji. Ini membuktikan bahwa zakat profesi tidak ada, yang ada hanyalah zakat mal, yang harus memenuhi dua syarat, yaitu hartanya mencapai nishab dan telah berlalu satu haul (tahun).

Oleh karena itu ulama’ ahlul ijtihaad yang ada pada zaman kita mengingkari pendapat ini, diantara mereka adalah Syeikh Bin Baz, beliau berkata: “Zakat gaji yang berupa uang, perlu diperinci:  Bila gaji telah ia terima, lalu berlalu satu tahun dan telah mencapai satu nishab, maka wajib dizakati. Adapun bila gajinya kurang dari satu nishab, atau belum berlalu satu tahun, bahkan ia belanjakan sebelumnya, maka tidak wajib di zakati.” (Maqalaat Al Mutanawwi’ah oleh Syeikh Abdul Aziz bin Baaz 14/134. Pendapat serupa juga ditegaskan oleh Syeikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin, Majmu’ Fatawa wa Ar Rasaa’il 18/178.)

Fatwa serupa juga telah diedarkan oleh Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, berikut fatwanya:

“Sebagaimana yang telah diketahui bersama bahwa di antara harta yang wajib dizakati adalah emas dan perak (mata uang). Dan di antara syarat wajibnya zakat pada emas dan perak (uang) adalah  berlalunya satu tahun sejak kepemilikan uang tersebut. Mengingat hal itu, maka zakat diwajibkan pada gaji pegawai yang berhasil ditabungkan dan telah mencapai satu nishab, baik gaji itu sendiri telah mencapai satu nishab atau dengan digabungkan dengan  uangnya yang lain dan telah berlalu satu tahun. Tidak dibenarkan untuk menyamakan gaji dengan hasil bumi; karena persyaratan haul (berlalu satu tahun sejak kepemilikan uang) telah ditetapkan dalam dalil, maka tidak boleh ada qiyas. Berdasarkan itu semua, maka zakat tidak wajib pada tabungan gaji pegawai hingga berlalu satu  tahun (haul).” (Majmu’ Fatwa Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia 9/281, fatwa no: 1360)

Sebagai penutup tulisan singkat ini, saya mengajak pembaca untuk senantiasa merenungkan janji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamberikut:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ. رواه مسلم
“Tidaklah sedekah itu akan mengurangi harta kekayaan.” (HR. Muslim)

Berdasarkan penjelasan di atas, maka saya mengusulkan agar anda mengusulkan kepada perusahaan anda atau atasan anda agar menghapuskan pemotongan gaji yang selama ini telah berlangsung dengan alasan zakat profesi. Karena bisa saja dari sekian banyak yang dipotong gajinya belum memenuhi kriteria wajib zakat. Karena harta yang berhasil ia kumpulkan/tabungkan belum mencapai nishab. Atau kalaupun telah mencapai nishab mungkin belum berlalu satu tahun/haul, karena telah habis dibelanjakan pada kebutuhan yang halal. Dan kalaupun telah mencapai satu nishab dan telah berlalu satu haul/tahun, maka mungkin kewajiban zakat yang harus ia bayarkan tidak sebesar yang dipotong selama ini. Wallahu ta’ala a’alam bis showaab.

Berdasarkan jawaban pertama, maka tidak perlu anda mencari buku-buku atau tulisan-tulisan yang membahasa masalah zakat profesi. Cukuplah anda dan juga umat Islam lainnya mengamalkan zakat-zakat yang telah nyata-nyata disepakati oleh seluruh ulama’ umat islam sepanjang sejarah. Dan itu telah dibahas tuntas oleh para ulama’ kita dalam setiap kitab-kitab fiqih. Wallahu a’alam bisshawab.

Sabtu, 27 Agustus 2011

TANDA TANDA KIAMAT DI MASJIDIL HARAM


Dari : novel Oke Dot Com
  |
"Belum akan datang kiamat sehingga manusia berlomba-lomba dengan bangunan-bangunan yang megah." (HR. Bukhari)

Akhukum fillah,tentunya Masjidil Haram tidak asing buat kita. Di sanalah lembah peradaban Islam bersinar ke seluruh bumi Allah ini. Lembah terjaga yang Insya Allah akan terjamin keamanannya hingga akhir zaman. Di sana ada Baitullah yang menjadi kiblat umat Islam sejagat, ke arah lembah inilah setiap saat wajah wajah mukminin mukminat terarah, menghadapkan wajahnya kepada simbol rumah Allah, Baitullah.

Namun ikhwahfillah,ada yang berbeda, di Masjidil Haram saat Ini. Mungkin kebanyakan orang biasa biasa saja melihat banyak perubahan di sekitar Masjidil Haram. Mungkin juga mereka tersenyum terkagum kagum melihat gedung-gedung mewah yang berdiri Kokoh di samping Masjidil Haram saat ini

Gedung terlihat belum sempurna,
dipuncak sana terlihat sebuah jam raksasa yang baru setengah selesai

Abraj Al Bait - The Royal Clock Tower Mekkah

Abraj Al Bait - The Royal Clock Tower Mekkah
dan Salah satu Tower "Gerbang" Masjidil Haram

Tampak Depan Masjidil Haram dan Abraj Al Bait Persis Di sampingnnya)

Menurut beberapa sumber, gedung yang dibangun di halaman Masjidil Haram dikenal dengan sebutan “Mekkah Royal Clock Hotel Tower”
yang direncanakan berketinggian lebih dari 601 meter

Ketinggiannya Hanya berselisih 200 meter dari GEDUNG TERTINGGI DUNIA
saat ini, yaitu Al Burj Khalifa Dubai
(lihat foto di bawah)

Burj Khalifa, merupakan gedung tertinggi di dunia (828 meter) yang telah diresmikan Januari 2010 lalu, bangunan ini memecahkan rekor gedung tertinggi sebelumnya yaitu CN Tower dengan ketinggian 553 meter.

Perhatikan gedung yang dibangun di Pinggir Al Haram ini lebarnya luar biasa. Bandingkan saja dengan gedung lain, Albraj Albait atau The Royal Clock Tower Mekkah ini memiliki luas 1,500,000 (1 juta) meter persegi. bisa dibayangkan berapa banyak bangunan di sana yang digusur dan berapa lahan bukit sebelah Masjid Al Haram yang dibongkar?

Melihat bumi Allah di rusak dengan mesin-mesin raksasa itu.
Debu debu beterbangan di sekitar Masjid Haram.
Masya Allah.

(Poster Rencana Perombakan Masjidil Haram)

Coba Perhatikan, di antara tower tower yang direncanakan itu ada beberapa yang sudah jadi, di antaranya; InterContinental dan The Royal Clock Tower yang kita bahas di atas,Jika kita amati di atas ada dua tower Raksasa yang terhubung Mirip Twin Tower Petronas di Malaysia.Itu adalah gerbang masuk kompleks Masjid ini nanti.

Bisa antum lihat tidak ada tanda tanda Bukit di sana kan? Padahal Jalan yang melewati dua tower itu sebelumnya membelah dua Bukit.

Tanda Apakah Ini?

Padahal itu Tanah Haram.Menakutkan.Adakah manusia mulai berani merusak tanah Haram ini?Ataukah peminpin negri negri Islam ini juga ikut serta dalam maraknya perlombaan pembangunan gedung-gedung pencakar langit dengan negara kaya lain?

Coba perhatikan catatan perlombaan gedung-gedung pencakar langit di dunia yang hampir setiap tahun saling mengalahkan, di Grafik Berikut :

Perhatikan Gedung Tertinggi di atas, itu adalah MILES TOWER Gedung yang akan mengalahkan Al Burj Dubai. Arab Saudi dengan kekayaanya berencana membangun gedung ini di Jedah. Lagi, Ini merupakan Calon Gedung terting di Di Dunia dengan angka ketinggian Tertinggi 1600 Meter!(1,5 Kilometer Menjulang kelangit)

Ini Tidak Mengejutkan?

Setelah ana terus telusuri ternyata MILES TOWER ini pun sudah ada pesaingnya yang tak tanggung-tanggung membangun gedung dengan Ketinggian 3.200 Meter atau 3 Kilometer Menjulang Ke Angkasa)

The Ultima Tower! Bangunan yang membentuk kota pencakar langit yang didesain Architecture America —Eugene Tsui 1991— ini ditargetkan akan menelan biaya $150,000,000,000.- (150 Milyard Dolar Amerika).

Saya tersentak beberapa kali, ketika kemudian membaca kembali Hadith yang diriwayatkan Umar Radiyallahu Anhu yang menceritakan ketika Nabiyullah Muhammad Salallahualaihi Wassalam, didatangi malaikat Jibril Alaihissalam di depan Umar dan Para sahabat.
Saat itu Allah Tabarokawataala menguji Rasulillah saw. dengan beberapa pertanyaan yang disampaikan malaikat Jibril yang menjelma sebagai manusia:

Pada suatu hari kami (Umar Ra dan para sahabat Ra) duduk-duduk bersama Rasulullah saw. Lalu muncul di hadapan kami seorang yang berpakaian putih. Rambutnya hitam sekali dan tidak tampak tanda-tanda perjalanan. Tidak seorangpun dari kami yang mengenalnya. Dia langsung duduk menghadap Rasulullah saw.

Kedua kakinya menghempit kedua kaki Rasulullah, dari kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha Rasulullah saw, seraya berkata, "Ya Muhammad, beritahu aku tentang Islam." Lalu Rasulullah saw menjawab, "Islam ialah bersyahadat bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan mengerjakan haji apabila mampu." Kemudian dia bertanya lagi, "Kini beritahu aku tentang iman."

Rasulullah saw menjawab, "Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada Qodar baik dan buruknya." Orang itu lantas berkata, "Benar. Kini beritahu aku tentang ihsan." Rasulullah berkata, "Beribadah kepada Allah seolah-olah anda melihat-Nya walaupun anda tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat anda. Dia bertanya lagi, "Beritahu aku tentang Assa'ah (azab kiamat)." Rasulullah menjawab, "Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya."
Kemudian dia bertanya lagi, "Beritahu aku tentang tanda-tandanya." Rasulullah menjawab, "Seorang budak wanita melahirkan nyonya besarnya.


Orang-orang tanpa sandal, setengah telanjang, melarat dan penggembala unta masing-masing berlomba membangun gedung-gedung bertingkat." Kemudian orang itu pergi menghilang dari pandangan mata. Lalu Rasulullah Saw bertanya kepada Umar, "Hai Umar, tahukah kamu siapa orang yang bertanya tadi?" Lalu aku (Umar) menjawab, "Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui." Rasulullah Saw lantas berkata, "Itulah Jibril datang untuk mengajarkan agama kepada kalian."(HR. Muslim)

"BERLOMBA LOMBA MEMBANGUN GEDUNG BERTINGKAT"
itulah salah satu tanda-tanda kiamat yang dikatakan Rasulillah Muhammad Salallahu alaihi wassalam dalam Hadits tersebut

(Foto diambil dari Royal Clock Tower)

Masya Allah,hingga, ana benar-benar merasa sedih ketika, mendaki Jabal Nur keesokan harinya.Gedung ini memang tidak main-main, begitu besar dan megah! Hingga kemegahannya seakan ingin Mengubur Masjidil Haram.

Lihat lebih dekat lagi (foto di Bawah), Masjidil Haram hanya terlihat tower-tower kecil di bawah Gedung Royal Clock Tower itu.

Sekarang mari kita pulang lagi ke Masjidil Haram, kita lht gedung ini dari Masjidil Haram.

Ane ambil foto ini dari Lantai 2 Masjidil Haram.
Lihat gedung raksasa hijau sebelah kiri.
inilah yang akan terlihat beberapa bulan ke depan setelah bangunan ini selesa..!!

Jam raksasa yang saat tulisan ini dibuat (September 2010) itu sudah selesai dibangun (berukuran kurang lebih 40 meter) sudah ditampilkan ke seluruh dunia oleh Chanel TV MBC setiap kali adzan tiba secara live dari Masjidil Haram.

Satu lagi Akhifillah,tentunya ana sangat tidak berhak untuk mengutuk Raja Arab Saudi yang mengizinkan pembangunan apartemen dan hotel mewah persis di halaman Masjidil Haram itu, mungkin Beliau tengah merencanakan sesuatu. Misalnya saja untuk mengantisifasi jemaah Haji yang jumlahnya Jutaan yang mengalir ke Masjidil Haram untuk Hajj.Tapi mari kita berfikir,

InterContinental Dar Et Tawhid, Depan Masjidil Haram
Persis di halaman depan GERBANG UTAMA (Pintu Masuk No. 72) Masjidil haram berdiri sebuah Hotel Mewah bernama "InterContinental Dar Et Tawhid Makkah" sebuah hotel bintang 5 yang berlogo IHG (InterContinental Hotel Group), sebuah Rantai Hotel milik Amerika.

Sangat Mengherankan?

Tidak kah mereka mendengar firman Allah dalam Al-Quran bahwa Tanah haram ini adalah untuk semua manusia di bumi, bukan untuk bisnis?

"Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia di jalan Allah dan Masjidil Haram yang telah Kami jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih." (QS. Al-Hajj [22] : 25)

Jumat, 26 Agustus 2011

BER - IDUL FITRI DI ATAS SUNNAH NABI SHALALLAHU'ALAIHI WA SALLAM



Buletin Islam Al Ilmu edisi no: 36/IX/VIII
Idul Fitri merupakan salah satu hari raya yang Allah Subhanallahu wa Ta’la anugerahkan kepada kaum muslimin. Dinamakan Idul Fitri karena ia selalu berulang setiap tahun dengan penuh kegembiraan. Diantara bentuk kegembiraan itu adalah makan, minum, menggauli istri dan lain sebagainya dari hal-hal mubah yang sebelumnya tidak boleh dilakukan di siang hari bulan Ramadhan. Namun akan lebih menjadi bermakna, tatkala hari yang mulia tersebut dipenuhi dengan amalan-amalan yang sesuai dengan sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam.
Kapan Kita BerIdul Fitri?
Hari raya Idul Fitri jatuh pada tanggal 1 Syawwal yang dihasilkan dari ru’yatul hilal bukan dengan ilmu hisab. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Berpuasalah berdasarkan ru’yatul hilal dan berhari rayalah berdasarkan ru’yatul hilal. Jika terhalangi oleh mendung (atau semisalnya) maka genapkan bilangan hari bulan tersebut menjadi 30 hari.” (HR. Al-Bukhari)
Idul Fitri dan juga shaum (puasa) Ramadhan merupakan syiar keutuhan dan kebersamaan. Namun sangat disayangkan, terkadang syiar ini ternodai oleh perselisihan dan perpecahan di antara kaum muslimin dalam menentukan Idul Fitri ataupun masuknya bulan Ramadhan. Padahal Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Shaum (puasa) itu pada waktu berpuasanya kalian (kaum muslimin), Idul Fitri pada saat kalian (kaum muslimin) berhari raya Idul Fitri, dan berkurban pada saat kaum muslimin berkurban.” (HR. At-Tirmidzi dengan sanad shahih)
Oleh karenanya, para ulama terpandang seperti Asy-Syaikh Al-Albani dan Asy-Syaikh Ibnul Utsaimin d menasehatkan agar setiap muslim mengikuti pemerintahnya masing-masing. (Lihat Tamamul Minnah hal. 398 dan Asy-Syarhul Mumti’ 6/322)
Di samping itu, kami juga mewasiatkan kepada pemerintah –semoga Allah Subhanallahu wa Ta’la merahmati mereka– agar melandaskan keputusan masuk dan keluarnya Ramadhan secara syar’i, yaitu dengan ru’yatul hilal dan bukan dengan ilmu hisab.
Hukum Shalat Id
Para ulama berbeda pendapat dalam permasalahan ini menjadi tiga pendapat yaitu: sunnah, wajib kifayah, dan wajib ‘ain. (Lihat Fathul Bari 8/423-424, karya Ibnu Rajab rahimahullah).
Namun perlu diketahui bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya radliyallahu ‘anhum senantiasa mengerjakan shalat tersebut bahkan beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan para gadis dan wanita haidh untuk keluar menuju ke mushalla Id (tanah lapang).
Di Mana Kita Shalat Id dan Apa Tuntunan Syari’at terkait perihal Menuju Tempat Shalat tersebut?
Shalat Id secara syari’at dilaksanakan di mushalla Id (tanah lapang) bukan di masjid, dan inilah yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya radliyallahu ‘anhum, dalam keadaan mereka sangat memahami keutamaan shalat di Masjid Nabawi yang menyamai seribu kali shalat di selainnya (kecuali Masjidil Haram). Tetapi dengan semua itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, Khulafaur Rasyidin dan seluruh sahabatnya radliyallahu ‘anhum tetap melaksanakan shalat Id di mushalla (tanah lapang). Hal ini berlandaskan hadits Abu Sa’id Al Khudri radliyallahu ‘anhu, beliau berkata:
“Dahulu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam selalu keluar menuju mushalla (tanah lapang) untuk melaksanakan shalat Idul Fitri dan Idul Adha…” (HR. Al-Bukhari no. 956)
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam sesuai dengan hadits-hadits yang shahih menunjukkan bahwa beliau selalu mengerjakan dua shalat Id di tanah lapang pinggiran kampung, dan ini terus berkelanjutan di masa generasi pertama (umat ini), mereka tidak melaksanakan di masjid-masjid kecuali bila ada udzur atau dalam keadaan darurat, seperti hujan dan sejenisnya. Inilah madzhab imam yang empat dan selain mereka dari para imam.” (Lihat Shalatul ‘Idaini fil Mushalla Hiyas Sunnah, hal. 35).
Sehingga sangat berlebihan orang yang mengatakan bahwa shalat Id tidak boleh dilaksanakan di masjid walaupun ada udzur atau dalam keadaan darurat, demikian pula orang yang mengatakan bahwa tidak ada shalat kalau tidak di tanah lapang.
Adab-adab menuju mushalla (tanah lapang)
Pertama: Berhias dengan pakaian yang terbaik (yang dia miliki), sebagaimana hadits Ibnu Umar radliyallahu ‘anhuma. (HR. Al-Bukhari no. 948)
Kedua: Makan beberapa butir kurma sebelum berangkat, sebagaimana hadits Anas radliyallahu ‘anhu. (HR. Al-Bukhari no. 953)
Ketiga: Berangkat dan pulang melewati jalan yang berbeda, sebagaimana hadits Jabir radliyallahu ‘anhu. (HR. Al-Bukhari no. 986)
Keempat: Mengeraskan takbir semenjak keluar dari rumah sampai ditegakkannya shalat. (Lihat Ash Shahihah 1/279)
Adapun lafazh takbirnya, maka tidak ada satupun hadits yang shahih yang menentukan bacaannya. Hanya saja terdapat beberapa atsar sahabat yang shahih yang menerangkan bacaan tersebut. Diantaranya:
Allahu Akbar Allahu Akbar, Laailaaha illallahu Wallahu Akbar Allahu Akbar Walillahil Hamdu atau
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Laailaaha illallahu Wallahu Akbar Allahu Akbar Walillahil Hamdu, atau yang lainnya. (Lihat Al-Irwa’ 3/125-126)
Di dalam bertakbir tidak disyariatkan untuk dikerjakan secara berjama’ah dengan satu suara. (Lihat Ash-Shahihah 1/279)
Perlu diingatkan, apa yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dengan menambahkan shalawat di sela-sela takbir. Hal ini merupakan suatu kekeliruan, karena tidak pernah dinukilkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, Khulafaur Rasyidin dan para sahabatnya radliyallahu ‘anhuma.
Apa Yang Dilakukan Setiba Di Tempat Mushalla Id?
Ketika tiba di tempat shalat, hendaknya terus bertakbir hingga imam memulai shalat. Adapun shalat sunnah qabliyyah dan ba’diyyah Id, maka tidak ada tuntunannya, sebagaimana hadits Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma:
“…(Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam) belum pernah sholat (sunnah) sebelum shalat Id ataupun sesudahnya…”. (HR. Al-Bukhari no. 989)
Tidak Ada Adzan dan Iqamah
Hal ini sebagaimana diterangkan dalam hadits Jabir radliyallahu ‘anhu (HR. Muslim no. 887). Adapun ucapan: “Ash Shalaatu Jaami’ah”, maka Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Yang sunnah adalah tidak mengucapkan itu semua.” (Lihat Zaadul Ma’ad 1/427).
Wajibnya Shalat Menghadap Sutrah
Sutrah adalah sesuatu yang diletakkan di depan orang yang shalat untuk menghalangi orang yang melewati di hadapannya. Memakai sutrah merupakan perkara yang wajib bagi imam dalam shalat berjama’ah, berdasarkan hadits Ibnu Umar radliyallahu ‘anhuma. Beliau berkata:
“Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam jika keluar menuju shalat Id ke tanah lapang, beliau memerintahkan dibawakan tombak yang ditancapkan di hadapannya kemudian shalat menghadap tombak tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 494 dan 972).
Tata Cara Shalat Id
Shalat Id berjumlah dua rakaat, dimulai dengan takbiratul ihram, kemudian bertakbir 7 kali (selebihnya seperti shalat lainnya). Pada rakaat kedua bertakbir 5 kali selain takbir perpindahan gerakan dari rakaat kesatu menuju rakaat kedua, (selebihnya seperti shalat lainnya). Hal ini yang dijelaskan oleh Al-Imam Al-Baghawi rahimahullah dalam Syarhus Sunnah 4/309. Di antara dasar tata caranya adalah hadits Aisyah radliyallahu ‘anha yang diriwayatkan Abu Dawud dan selainnya dengan sanad shahih. (Lihat Al-Irwa’ no. 639)
Adapun bacaan surat yang disunnahkan padanya adalah Surat Qof dan Al-Qomar. (HR. Muslim no. 892), atau Surat Al-A’la dan Al-Ghasyiyah (HR. Muslim no. 878)
Dan jika ketinggalan shalat bersama imam, maka shalat 2 rakaat yang dilakukan secara sendirian. Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah berkata: “Bab: Jika Ketinggalan Shalat Id Maka Shalat 2 Rakaat”. (Lihat Fathul Bari 2/550, karya Ibnu Hajar rahimahullah)
Bagaimana Dengan Wanita?
Kaum wanita diperintah oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam untuk menghadiri shalat Id, sebagaimana perkataan Ummu ‘Athiyyah radliyallahu ‘anha: “Kami diperintah untuk menghadirkan gadis-gadis dan wanita-wanita haidh pada 2 hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha –red), agar mereka menyaksikan kebaikan dan syiar dakwah kaum muslimin, sedangkan yang haidh diminta untuk menjauhi tempat shalat.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Namun ada 2 hal yang perlu diingat dalam keluarnya wanita ke mushalla Id:
Pertama: Hendaknya keluar dalam keadaan menutup aurat, dengan tidak berhias, tidak memakai wewangian, dan tidak campur baur dengan laki-laki, karena dilarang oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan bisa menjadi fitnah bagi kaum lelaki.
Kedua: Tidak boleh berjabat tangan dengan selain mahramnya, sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam ketika membaiat kaum wanita: ”Sungguh aku tidak berjabat tangan dengan wanita (yang bukan mahram).” (HR. An-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Juga sabda beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam: “Benar-benar kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Adh-Dhiyaa’ Al-Maqdisi)
Dan hukum haramnya perbuatan ini ada di dalam kitab-kitab empat madzhab. (Lihat Ahkamul Idain hal. 82)
Hukum Memakai Mimbar Di Dalam Khutbah
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam tidak pernah berkhutbah Id dengan memakai mimbar akan tetapi beliau berdiri di atas tanah. Adapun orang yang pertama kali berkhutbah Id dengan memakai mimbar adalah Marwan bin Al Hakam dan perbuatan itu telah diingkari oleh Abu Said Al-Khudri radliyallahu ‘anhu dan dinyatakan bahwa hal itu menyelisihi sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. (Lihat Fathul Bari hadits no. 956 dan Zadul Ma’ad 1/ 429 dan 431)
Kaum muslimin, siapa pun dari kita pasti berharap agar keluar dari bulan suci Ramadhan dalam keadaan suci dari dosa dan penuh dengan karunia serta rahmat ilahi. Maka dari itu marillah kita berupaya untuk menuju kehidupan yang lebih mulia dengan meninggalkan beberapa kemungkaran yang terjadi pada hari raya Idul Fitri atau sebelumnya. Di antaranya adalah:
1. Menyerupai orang-orang kafir dalam hal berpakaian dan berpesta pora.
2. Menggelar pesta judi, dan bertamasya ke tempat-tempat hiburan dan maksiat.
3. Pengkhususan ziarah kubur di hari Id atau sebelumnya.
4. Pengkhususan malam Id untuk melakukan ritual ibadah tertentu.
5. Berpuasa di hari Id.
6. Pelarangan wanita untuk menghadiri shalat Id.
7. Ikhtilath (campur baur antara pria dan wanita yang bukan mahram).
8. Tidak peduli terhadap fakir miskin yang kekurangan di hari itu.
9. Menghiasi masjid dengan lampu-lampu hias, bunga dan sejenisnya. Karena yang demikian itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan para shahabatnya radliyallahu ‘anhum.

KUMPULAN PUISI KETIKA BERHARI RAYA



Jika aku memberi maaf
Bukan karena engkau meminta maaf
Tetapi karena sepenuh maaf aku berikan
Setulus hati, seikhlas niatku
Meski tanpa kau minta
Jika aku tak memberi maaf
Bukan karena aku tak mau memberi maaf
Tetapi engkau tak punya salah
Maaf apa yang harus kuberikan?
Memberi maaf dan meminta maaf dilakukan
Kapan saja ketika engkau tersalah
Ndak musti menunggu lebaran khan
Jika maaf di hari lebaran
Bagaimana kalau engkau telah tiada
Padahal belum lebaran

Rabu, 24 Agustus 2011

ZAKAT FITRAH DENGAN UANG BOLEH KAH?


Assalamu ‘alaikum. Ustadz, bagaimana jika saya membayar zakat fitrah dengan uang, bukan dengan makanan pokok? Apakah hal ini diperbolehkan dalam Islam? Jazakallahu khairan.

Jawaban:

Wa’alaikumussalam.

Masalah ini termasuk kajian yang banyak menjadi tema pembahasan di beberapa kalangan dan kelompok yang memiliki semangat dalam dunia Islam. Tak heran, jika kemudian pembahasan ini meninggalkan perbedaan pendapat.

Sebagian melarang pembayaran zakat fitrah dengan uang secara mutlak, sebagian memperbolehkan zakat fitrah dengan uang tetapi dengan bersyarat, dan sebagian lain memperbolehkan zakat fitrah dengan uang tanpa syarat. Yang menjadi masalah adalah sikap yang dilakukan orang awam. Umumnya, pemilihan pendapat yang paling kuat menurut mereka, lebih banyak didasari logika sederhana dan jauh dari ketundukan terhadap dalil. Jauhnya seseorang dari ilmu agama menyebabkan dirinya begitu mudah mengambil keputusan dalam peribadahan yang mereka lakukan. Seringnya, orang terjerumus ke dalam qiyas (analogi), padahal sudah ada dalil yang tegas.

Uraian ini bukanlah dalam rangka menghakimi dan memberi kata putus untuk perselisihan pendapat tersebut. Namun, ulasan ini tidak lebih dari sebatas bentuk upaya untuk mewujudkan penjagaan terhadap sunah Nabi dan dalam rangka menerapkan firman Allah, yang artinya, “Jika kalian berselisih pendapat dalam masalah apa pun maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian adalah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (Q.s. An-Nisa’:59)

Allah menegaskan bahwa siapa saja yang mengaku beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka setiap ada masalah, dia wajib mengembalikan permasalahan tersebut kepada Alquran dan As-Sunnah. Siapa saja yang tidak bersikap demikian, berarti ada masalah terhadap imannya kepada Allah dan hari akhir.

Pada penjelasan ini, terlebih dahulu akan disebutkan perselisihan pendapat ulama, kemudian di-tarjih (dipilihnya pendapat yang lebih kuat). Pada kesempatan ini, Penulis akan lebih banyak mengambil faidah dari risalah Ahkam Zakat Fitri, karya Nida’ Abu Ahmad.

Perselisihan ulama “zakat fitrah dengan uang”

Terdapat dua pendapat ulama dalam masalah ini (zakat fitrah dengan uang). Pendapat pertama, memperbolehkan pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) menggunakan mata uang. Pendapat kedua, melarang pembayaran zakat fitri menggunakan mata uang. Permasalahannya kembali kepada status zakat fitri. Apakah status zakat fitri (zakat fitrah) itu sebagaimana zakat harta ataukah statusnya sebagai zakat badan?

Jika statusnya sebagaimana zakat harta maka prosedur pembayarannya sebagaimana zakat harta perdagangan. Pembayaran zakat perdagangan tidak menggunakan benda yang diperdagangkan, namun menggunakan uang yang senilai dengan zakat yang dibayarkan. Sebagaimana juga zakat emas dan perak, pembayarannya tidak harus menggunakan emas atau perak, namun boleh menggunakan mata uang yang senilai.

Sebaliknya, jika status zakat fitri (zakat fitrah) ini sebagaimana zakat badan maka prosedur pembayarannya mengikuti prosedur pembayaran kafarah untuk semua jenis pelanggaran. Penyebab adanya kafarah ini adalah adanya pelanggaran yang dilakukan oleh badan, bukan kewajiban karena harta. Pembayaran kafarah harus menggunakan sesuatu yang telah ditetapkan, dan tidak boleh menggunakan selain yang ditetapkan.

Jika seseorang membayar kafarah dengan selain ketentuan yang ditetapkan maka kewajibannya untuk membayar kafarah belum gugur dan harus diulangi. Misalnya, seseorang melakukan pelanggaran berupa hubungan suami-istri di siang hari bulan Ramadan, tanpa alasan yang dibenarkan. Kafarah untuk pelanggaran ini adalah membebaskan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin, dengan urutan sebagaimana yang disebutkan. Seseorang tidak boleh membayar kafarah dengan menyedekahkan uang seharga budak, jika dia tidak menemukan budak. Demikian pula, dia tidak boleh berpuasa tiga bulan namun putus-putus (tidak berturut-turut). Juga, tidak boleh memberi uang Rp. 5.000 kepada 60 fakir miskin. Mengapa demikian? Karena kafarah harus dibayarkan persis sebagaimana yang ditetapkan.

Di manakah posisi zakat fitri (zakat fitrah)?

Sebagaimana yang dijelaskan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah bahwasanya zakat fitri (zakat fitrah) itu mengikuti prosedur kafarah karena zakat fitri (zakat fitrah) adalah zakat badan, bukan zakat harta. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa zakat fitri adalah zakat badan –bukan zakat harta– adalah pernyataan Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma tentang zakat fitri.

Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, … bagi kaum muslimin, budak maupun orang merdeka, laki-laki maupun wanita, anak kecil maupun orang dewasa ….” (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri (zakat fitrah), sebagai penyuci orang yang berpuasa dari perbuatan yang menggugurkan pahala puasa dan perbuatan atau ucapan jorok ….”(H.r. Abu Daud; dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)

Dua riwayat ini menunjukkan bahwasanya zakat fitri berstatus sebagai zakat badan, bukan zakat harta. Berikut ini adalah beberapa alasannya:
  1. Adanya kewajiban zakat bagi anak-anak, budak, dan wanita. Padahal, mereka adalah orang-orang yang umumnya tidak memiliki harta. Terutama budak; seluruh jasad dan hartanya adalah milik tuannya. Jika zakat fitri merupakan kewajiban karena harta maka tidak mungkin orang yang sama sekali tidak memiliki harta diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya.
  2. Salah satu fungsi zakat adalah penyuci orang yang berpuasa dari perbuatan yang menggugurkan pahala puasa serta perbuatan atau ucapan jorok. Fungsi ini menunjukkan bahwa zakat fitri berstatus sebagaimana kafarah untuk kekurangan puasa seseorang.

Apa konsekuensi hukum jika zakat fitri (zakat fitrah) berstatus sebagaimana kafarah?

Ada dua konsekuensi hukum ketika status zakat fitri itu sebagaimana kafarah:
  1. Harus dibayarkan dengan sesuatu yang telah ditetapkan yaitu bahan makanan.
  2. Harus diberikan kepada orang yang membutuhkan untuk menutupi hajat hidup mereka, yaitu fakir miskin. Dengan demikian, zakat fitri tidak boleh diberikan kepada amil, mualaf, budak, masjid, dan golongan lainnya. (lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam, 25:73)
Sebagai tambahan wacana, berikut ini kami sebutkan perselisihan ulama dalam masalah ini.

Pendapat yang membolehkan pembayaran zakat fitri dengan uang
Ulama yang berpendapat demikian adalah Umar bin Abdul Aziz, Al-Hasan Al-Bashri, Atha’, Ats-Tsauri, dan Abu Hanifah.

Diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri, bahwa beliau mengatakan, “Tidak mengapa memberikan zakat fitri dengan dirham.”

Diriwayatkan dari Abu Ishaq; beliau mengatakan, “Aku menjumpai mereka (Al-Hasan dan Umar bin Abdul Aziz) sementara mereka sedang menunaikan zakat Ramadan (zakat fitri) dengan beberapa dirham yang senilai bahan makanan.”

Diriwayatkan dari Atha’ bin Abi Rabah, bahwa beliau menunaikan zakat fitri dengan waraq (dirham dari perak).

Pendapat yang melarang pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) dengan uang

Pendapat ini merupakan pendapat yang dipilih oleh mayoritas ulama. Mereka mewajibkan pembayaran zakat fitri menggunakan bahan makanan dan melarang membayar zakat dengan mata uang. Di antara ulama yang berpegang pada pendapat ini adalah Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad. Bahkan, Imam Malik dan Imam Ahmad secara tegas menganggap tidak sah jika membayar zakat fitri mengunakan mata uang. Berikut ini nukilan perkataan mereka.

Perkataan Imam Malik

Imam Malik mengatakan, “Tidak sah jika seseorang membayar zakat fitri dengan mata uang apa pun. Tidak demikian yang diperintahkan Nabi.” (Al-Mudawwanah Syahnun)

Imam Malik juga mengatakan, “Wajib menunaikan zakat fitri senilai satu sha’ bahan makanan yang umum di negeri tersebut pada tahun itu (tahun pembayaran zakat fitri).” (Ad-Din Al-Khash)

Perkataan Imam Asy-Syafi’i

Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Penunaian zakat fitri wajib dalam bentuk satu sha’ dari umumnya bahan makanan di negeri tersebut pada tahun tersebut.” (Ad-Din Al-Khash)

Perkataan Imam Ahmad

Al-Khiraqi mengatakan, “Siapa saja yang menunaikan zakat menggunakan mata uang maka zakatnya tidak sah.” (Al-Mughni, Ibnu Qudamah)

Abu Daud mengatakan, “Imam Ahmad ditanya tentang pembayaran zakat mengunakan dirham. Beliau menjawab, “Aku khawatir zakatnya tidak diterima karena menyelisihi sunah Rasulullah.” (Masail Abdullah bin Imam Ahmad; dinukil dalam Al-Mughni, 2:671)

Dari Abu Thalib, bahwasanya Imam Ahmad kepadaku, “Tidak boleh memberikan zakat fitri dengan nilai mata uang.” Kemudian ada orang yang berkomentar kepada Imam Ahmad, “Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa Umar bin Abdul Aziz membayar zakat menggunakan mata uang.” Imam Ahmad marah dengan mengatakan, “Mereka meninggalkan hadis Nabi dan berpendapat dengan perkataan Fulan. Padahal Abdullah bin Umar mengatakan, ‘Rasulullah mewajibkan zakat fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum.’ Allah juga berfirman, ‘Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul.’ Ada beberapa orang yang menolak sunah dan mengatakan, ‘Fulan ini berkata demikian, Fulan itu berkata demikian.” (Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 2:671)

Zahir mazhab Imam Ahmad, beliau berpendapat bahwa pembayaran zakat fitri dengan nilai mata uang itu tidak sah.
Beberapa perkataan ulama lain:
  • Syekhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Allah mewajibkan pembayaran zakat fitri dengan bahan makanan sebagaimana Allah mewajibkan pembayaran kafarah  dengan bahan makanan.” (Majmu’ Fatawa)
  • Taqiyuddin Al-Husaini Asy-Syafi’i, penulis kitab Kifayatul Akhyar (kitab fikih Mazhab Syafi’i) mengatakan, “Syarat sah pembayaran zakat fitri harus berupa biji (bahan makanan); tidak sah menggunakan mata uang, tanpa ada perselisihan dalam masalah ini.” (Kifayatul Akhyar, 1:195)
  • An-Nawawi mengatakan, “Ishaq dan Abu Tsaur berpendapat bahwa tidak boleh membayar zakat fitri menggunakan uang kecuali dalam keadaan darurat.” (Al-Majmu’)
  • An-Nawawi mengatakan, “Tidak sah membayar zakat fitri dengan mata uang menurut mazhab kami. Pendapat ini juga yang dipilih oleh Malik, Ahmad, dan Ibnul Mundzir.” (Al-Majmu’)
  • Asy-Syairazi Asy-Syafi’i mengatakan, “Tidak boleh menggunakan nilai mata uang untuk zakat karena kebenaran adalah milik Allah. Allah telah mengkaitkan zakat sebagaimana yang Dia tegaskan (dalam firman-Nya), maka tidak boleh mengganti hal itu dengan selainnya. Sebagaimana berkurban, ketika Allah kaitkan hal ini dengan binatang ternak, maka tidak boleh menggantinya dengan selain binatang ternak.” (Al-Majmu’)
  • Ibnu Hazm mengatakan, “Tidak boleh menggunakan uang yang senilai (dengan zakat) sama sekali. Juga, tidak boleh mengeluarkan satu sha’ campuran dari beberapa bahan makanan, sebagian gandum dan sebagian kurma. Tidak sah membayar dengan nilai mata uang sama sekali karena semua itu tidak diwajibkan (diajarkan) Rasulullah.” (Al-Muhalla bi Al-Atsar, 3:860)
  • Asy-Syaukani berpendapat bahwa tidak boleh menggunakan mata uang kecuali jika tidak memungkinkan membayar zakat dengan bahan makanan.” (As-Sailul Jarar, 2:86)
Di antara ulama abad ini yang mewajibkan membayar dengan bahan makanan adalah Syekh Ibnu Baz, Syekh Ibnu Al-Utsaimin, Syekh Abu Bakr Al-Jazairi, dan yang lain. Mereka mengatakan bahwa zakat fitri tidak boleh dibayarkan dengan selain makanan dan tidak boleh menggantinya dengan mata uang, kecuali dalam keadaan darurat, karena tidak terdapat riwayat bahwa Nabi mengganti bahan makanan dengan mata uang.

Bahkan tidak dinukil dari seorang pun sahabat bahwa mereka membayar zakat fitri dengan mata uang. (Minhajul Muslim, hlm. 251)

Dalil-dalil masing-masing pihak

Dalil ulama yang membolehkan pembayaran zakat fitri dengan uang:
  1. Dalil riwayat yang disampaikan adalah pendapat Umar bin Abdul Aziz dan Al-Hasan Al-Bashri. Sebagian ulama menegaskan bahwa mereka tidak memiliki dalil nash (Alquran, al-hadits, atau perkataan sahabat) dalam masalah ini.
  2. Istihsan (menganggap lebih baik). Mereka menganggap mata uang itu lebih baik dan lebih bermanfaat untuk orang miskin daripada bahan makanan.
Dalil dan alasan ulama yang melarang pembayaran zakat dengan mata uang:
Pertama, riwayat-riwayat yang menegaskan bahwa zakat fitri harus dengan bahan makanan.
  • Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu; beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, berupa satu sha’ kurma kering atau gandum kering ….” (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)
  • “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, … sebagai makanan bagi orang miskin .…” (H.r. Abu Daud; dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)
  • Dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu ‘anhu; beliau mengatakan, “Dahulu, kami menunaikan zakat fitri dengan satu sha’ bahan makanan, satu sha’ gandum, satu sha’ kurma, satu sha’ keju, atau satu sha’ anggur kering.” (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)
  • Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Dahulu, di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami menunaikan zakat fitri dengan satu sha’ bahan makanan.” Kemudian Abu Sa’id mengatakan, “Dan makanan kami dulu adalah gandum, anggur kering (zabib), keju (aqith), dan kurma.” (H.r. Al-Bukhari, no. 1439)
  • Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menugaskanku untuk menjaga zakat Ramadan (zakat fitri). Kemudian datanglah seseorang mencuri makanan, lalu aku berhasil menangkapnya ….”(H.r. Al-Bukhari, no. 2311)
Kedua, alasan para ulama yang melarang pembayaran zakat fitri dengan mata uang.
1. Zakat fitri adalah ibadah yang telah ditetapkan ketentuannya.
Termasuk yang telah ditetapkan dalam masalah zakat fitri adalah jenis, takaran, waktu pelaksanaan, dan tata cara pelaksanaan. Seseorang tidak boleh mengeluarkan zakat fitri selain jenis yang telah ditetapkan, sebagaimana tidak sah membayar zakat di luar waktu yang ditetapkan.
Imam Al-Haramain Al-Juwaini Asy-Syafi’i mengatakan, “Bagi mazhab kami, sandaran yang dipahami bersama dalam masalah dalil, bahwa zakat termasuk bentuk ibadah kepada Allah. Pelaksanaan semua perkara yang merupakan bentuk ibadah itu mengikuti perintah Allah.” Kemudian beliau membuat permisalan, “Andaikan ada orang yang mengatakan kepada utusannya (wakilnya), ‘Beli pakaian!’ sementara utusan ini tahu bahwa tujuan majikannya adalah berdagang, kemudian utusan ini melihat ada barang yang lebih manfaat bagi majikannya (daripada pakaian), maka sang utusan ini tidak berhak menyelisihi perintah majikannya. Meskipun dia melihat hal itu lebih bermanfaat daripada perintah majikannya . (Jika dalam masalah semacam ini saja wajib ditunaikan sebagaimana amanah yang diberikan, pent.) maka perkara yang Allah wajibkan melalui perintah-Nya tentu lebih layak untuk diikuti.”

Harta yang ada di tangan kita semuanya adalah harta Allah. Posisi manusia hanyalah sebagaimana wakil. Sementara, wakil tidak berhak untuk bertindak di luar batasan yang diperintahkan. Jika Allah memerintahkan kita untuk memberikan makanan kepada fakir miskin, namun kita selaku wakil justru memberikan selain makanan, maka sikap ini termasuk bentuk pelanggaran yang layak untuk mendapatkan hukuman. Dalam masalah ibadah, termasuk zakat, selayaknya kita kembalikan sepenuhnya kepada aturan Allah. Jangan sekali-kali melibatkan campur tangan akal dalam masalah ibadah karena kewajiban kita adalah taat sepenuhnya.

Oleh karena itu, membayar zakat fitri dengan uang berarti menyelisihi ajaran Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana telah diketahui bersama, ibadah yang ditunaikan tanpa sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya adalah ibadah yang tertolak.

2. Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiallahu ‘anhum sudah ada mata uang dinar dan dirham.

Akan tetapi, yang Nabi praktikkan bersama para sahabat adalah pembayaran zakat fitri menggunakan bahan makanan, bukan menggunakan dinar atau dirham. Padahal beliau adalah orang yang paling memahami kebutuhan umatnya dan yang paling mengasihi fakir miskin. Bahkan, beliaulah paling berbelas kasih kepada seluruh umatnya.

Allah berfirman tentang beliau, yang artinya, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat berbelas kasi lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (Q.s. At-Taubah:128)
Siapakah yang lebih memahami cara untuk mewujudkan belas kasihan melebihi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Disusun oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Jumat, 19 Agustus 2011

KEINDAHAN PAYAKUMBUH OBAT ALAMI JIWA DAN RAGA


(Foto: ridwan2906.wordpress)
(Foto: ridwan2906.wordpress)
PEMANDANGAN Sumatera Barat tidak hanya indah di Ibu Kota Padang, sebab Payakumbuh juga menawarkan keindahan tidak kalah hebat. Anda hanya perlu berkendara sekira 2,5 jam atau sejauh 125 km untuk mencicipi keindahan alam yang menyegarkan mata dan menentramkan hati.

Payakumbuh merupakan Ibu Kota Kabupaten Limapuluh Kota. Tempat ini dikelilingi lembah luas dan lahan subur untuk pertanian di utara Gunung Malintang.

Alam Payakumbuh adalah obat alami berdosis tinggi untuk menyegarkan jiwa dan pikiran Anda dari kepenatan dan hiruk pikuk aktivitas keseharian.   Keindahan hamparan sawah hijau, hutan tropis lebat, dan lembah yang menawan menanti Anda di sini. Jalanannya berkelok-kelok dengan pemandangan Gunung Singgalang.

Sejarah Payakumbuh telah dimulai dengan saksi bisu berupa bebatuan megalit dari masa prasejarah tersebar di berbagai tempat di Limapuluh Kota termasuk di Payakumbuh. Bebatuan ini disusun dan diukir manusia prasejarah yang tidak diketahui asal-usulnya. Bukti inilah yang menunjukan bahwa keberadaan Payakumbuh sudah ada sejak ratusan tahun lalu.

Berikutnya, keberadaan kolonial Belanda di Payakumbuh tidaklah lepas dari peran masyarakatnya selama Perang Padri 1803-1821. Kota Payakumbuh dibangun pemerintah kolonial Hindia Belanda sejak keterlibatan mereka dalam Perang Padri.

Salah satu kawasan di dalam kota ini yang paling tua dibangun adalah Nagari Aie Tabik, serta jembatan batu yang dibangun pada 1840 untuk menghubungkan kawasan tersebut dengan pusat Kota Payakumbuh sekarang ini. Jembatan ini sekarang dikenal dengan nama Jembatan Ratapan Ibu. Payakumbuh kemudian berkembang menjadi depot penyimpanan kopi dan salah satu distrik administrasi pemerintah Hindia Belanda.

Kota Payakumbuh memiliki luas 80,42 km2 dan merupakan kota kedua terbesar di Sumatera Barat setelah Padang. Payakumbuh terbagi tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Payakumbuh Barat, Payakumbuh Timur, dan Payakumbuh Utara. Letak Payakumbuh berada di pintu gerbang timur dari arah Pekanbaru sehingga menjadikan kota ini jalur strategis menuju kota-kota penting di Sumatera Barat.

Sekarang, Payakumbuh merupakan daerah pusat pemasaran dan sentra ekonomi untuk kabupaten dan kota di sekitarnya, seperti Kabupaten Limapuluh Kota, Tanah Datar, Agam, dan Kota Bukittinggi. Kota Payakumbuh memiliki julukan sebagai “Kota Usaha” karena masyarakatnya yang mayoritas adalah pedagang dan wirausaha.

Seperti kota lainnya di Sumatera Barat, Payakumbuh memiliki pertunjukan tradisional randai yang menggabungkan seni bela diri, alunan lagu, dan musik tradisional. Randai umumnya ditampilkan dalam upacara adat atau pagelaran seni. Kota ini juga memiliki alat musik talempong dan saluang, alat musik tradisional serupa gamelan dan suling dari Jawa. Ada juga pertunjukan pacu itik yang setiap tahunnya diselenggarakan di nagari-nagari dalam kota ini.
(ftr)

TANDA LAILATUL QADAR



Apa sajakah tanda lailatul qadar?

Jawaban:
Di antara tanda-tanda lailatul qadar adalah sebagaimana yang disebutkan dalam hadis berikut ini.
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tanda lailatul qadar,
ليلة طلقة لا حارة و لا باردة تصبح الشمس يومها حمراء ضعيفة
Dia adalah malam yang indah, sejuk, tidak panas, tidak dingin, di pagi harinya matahari terbit dengan cahaya merah yang tidak terang.” (H.r. Ibnu Khuzaimah; dinilai sahih oleh Al-Albani)
Kemudian, ciri yang lain adalah malam ini umumnya terjadi di malam-malam ganjil pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan.
Dalil yang menunjukkan hal ini: Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menghidupkan sepuluh malam terakhir bulan Ramadan. Beliau bersabda, “Carilah malam qadar di malam ganjil pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadan.” (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)
Barang siapa yang tidak mampu beribadah di awal sepuluh malam terakhir, hendaknya tidak ketinggalan untuk beribadah di tujuh malam terakhir. Dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang lailatul qadar, “Carilah di sepuluh malam terakhir. Jika ada yang tidak mampu maka jangan sampai ketinggalan ibadah di tujuh malam terakhir.” (H.r. Muslim)

Catatan untuk mendapatkan lailatul qadar:

Selayaknya, kaum muslimin untuk tidak pilih-pilih malam untuk beribadah, sehingga hanya mau rajin ibadah jika menemukan tanda-tanda lailatul qadar di atas, karena bisa jadi ciri-ciri itu tidak dijumpai oleh sebagian orang. Mungkin juga, pada hakikatnya, ini adalah sikap pemalas, hanya mencari untung tanpa melakukan banyak usaha. Bisa jadi, sikap semacam ini membuat kita jadi tertipu karena Allah tidak memberikan taufik untuk beribadah pada saat lailatul qadar.
Sebaliknya, mereka yang rajin beribadah di sepanjang malam dan tidak pilih-pilih, insya Allah akan mendapatkan lailatul qadar. Sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu pernah memberikan nasihat tentang lailatul qadar, kemudian beliau berkata,
من يقم الحول يصبها
Siapa saja yang shalat malam sepanjang tahun, dia akan mendapatkannya.” (H.r. Ahmad dan Abu Daud; dinilai sahih oleh Al-Albani)
Ketika mendengar keterangan dari Ibnu Mas’ud ini, Abdullah bin Umar mengatakan, “Semoga Allah merahmati Ibnu Mas’ud, sebenarnya beliau paham bahwa lailatul qadar itu di bulan Ramadan, namun beliau ingin agar masyarakat tidak malas.” (Tafsir Al-Baghawi, 8:482)
Allahu a’lam.
***
Disusun oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

MENGGANTI FIDYAH DENGAN UANG


Bolehkah fidyah dalam bentuk uang?
Agus Sarjana (**sarjana@***.com) 

Jawaban:
Bismillah.
Wajib untuk kita pahami kaidah penting, bahwa perkara yang Allah sebutkan dengan kalimat “memberi makan” atau “bahan makanan” ituwajib diberikan dalam bentuk makanan. Allah berfirman tentang puasa,
وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.” (Q.s. Al-Baqarah:184)
Kemudian, tentang kafarah sumpah, Allah berfirman,
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَساكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ
Kafarah (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu.” (Q.s. Al-Maidah:89)
Tentang zakat fitri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan agar dikeluarkan dalam bentuk bahan makanan satu sha’, dan seterusnya.

Apa pun yang disebutkan dalam nash syariat dengan kalimat “makanan” atau “memberi makan” maka fidyah tidak boleh diberikan dalam bentuk uang.

Oleh karena itu, orang tua yang wajib membayar fidyah karena tidak puasa, tidak menggantinya dalam bentuk uang. Andaikan dia membayar fidyah dalam bentuk uang senilai bahan makanan sepuluh kali, hukumnya tetap tidak sah, karena dia menyimpang dari keterangan yang terdapat dalam dalil.
Demikian pula zakat fitri. Andaikan ada orang yang mengeluarkan zakat fitri dalam bentuk uang seharga bahan makanan sepuluh kali, ini tidak dapat menggantikan kewajiban membayar zakat dengan bahan makanan 2,5 kg, karena zakat fitri dengan uang tidak terdapat dalam dalil. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد
Siapa saja yang melakukan satu amal, yang tidak ada ajarannya dari kami maka amal itu tertolak.” (H.r. Bukhari dan Muslim) (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin, 19:116)
Sumber: http://www.islamqa.com/ar/ref/39234
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com