Minggu, 31 Oktober 2010

Aku sakit tapi kamu tidak menjenguk -KU

Bismillahirohmanirohiim . . .

Tiada seorang muslim pun yang membesuk saudaranya yang sakit, melainkan Allah mengutus baginya 70.000 malaikat agar mendoakannya kapan pun di siang hari hingga sore harinya, dan kapan pun di sore hari hingga pagi harinya. (musnad ahmad 2/110, syaikh ahmad syakir mengatakan bahwa sanadnya shahih).

Syaikh Ahmad Abdurrahman al Banna dalam syarahnya menjelaskan, ‘Shalawat malaikat bagi anak adam ialah dengan mendoakan agar mereka diberi rahmat dan maghfirah. Sedang yang dimaksud dengan ‘kapanpun di siang hari’ yakni waktu ia menjenguk. Jika ia menjenguknya di siang hari, maka malaikat mendoakannya hingga sore hari dan bila ia menjenguknya di malam hari, maka malaikat mendoakannya hingga pagi. Oleh karena itu, orang yang berniat hendaknya berangkat sepagi mungkin di awal siang, atau bersegera begitu malam menjelang, agar semakin banyak didoakan malaikat.
‘Siapa yang membesuk orang sakit di pagi hari akan diiring oleh 70.000 malaikat, semuanya memohonkan ampun untuknya hingga sore hari, dan ia mendapat taman di jannah. Jika ia membesuknya di sore hari, ia akan diiring oleh 70 ribu malaikat yang semuanya memintakan ampun untuknya hingga pagi, dan ia mendapat taman di jannah.’ (musnad ahmad 2/206, hadits 975. Syaikh ahmad syakir menilai hadits ini shahih)


AKU SAKIT, TETAPI KAMU TIDAK MENJENGUK-KU!
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya pada hari kiamat Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
‘Hai Anak Adam, Aku Sakit, tetapi kamu tidak menjenguk-Ku.’
Dia berkata. ‘Wahai Rabb-ku, bagaimana saya menjenguk-Mu, padahal Engkau adalah Rabb semesta alam?!’
Dia berfirman, ‘Tidak tahukah kamu bahwa hamba-Ku, fulan, sakit, tetapi kamu tidak menjenguknya. Tidak tahukah kamu jika kamu menjenguknya, kamu akan mendapati Aku berada di sisi-Nya.’
(diriwayatkan oleh Muslim, no. 2569)


HUKUM MENJENGUK ORANG SAKIT
Menjenguk orang sakit diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Al Bara bin Azib radhiyallahu anhu meriwayatkan, “Nabi menyuruh kita tujuh hal dan melarang kita tujuh hal. Beliau menyuruh kita untuk mengantarkan jenazah, menjenguk orang sakit, memenuhiundangan, menolong orang yang teraniaya, melaksanakn sumpah, menjawab salam, dan mendoakan orang yang bersin. Dan beliau melarang kita memakai wadah (bejana) dari perak, cincin emas, kain sutera, dibaj (sutera halus),qasiy (sutera kasar), dan istibraq (sutera tebal). (Bukhari no.1239; Muslim no.2066)
Hadits-hadits yang memerintahkan kita untuk menjenguk orang sakit, membuat Imam Bukhari membuat “bab Wujubi ‘Iyadatil-Maridh” (Bab Kewajiban Menjenguk Orang Sakit) di dalam kitab shahih nya.
Imam Ath Thabari menekankan bahwa menjenguk orang sakit merupakan kewajiban bagi orang yang diharapkan berkah (dari Allah datang lewat diri) nya, disunnahkan bagi orang yang memelihara kondisinya, dan mubah bagi mereka.
Imam Nawawi mengutip kesepakatan ulama bahwa menjenguk orang sakit hukumnya bukan wajib, yakni wajib ‘ain, (melainkan wajib kifayah).


MANFAAT MENJENGUK ORANG SAKIT
Selain mendapat keutamaan sebagaimana hadits-hadits yang disebutkan diatas, menjenguk orang sakit memiliki beberapa manfaat, diantaranya:

  1. Menjenguk orang sakit berpotensi memberi perasaan dan kesan kepadanya bahwa ia diperhatikan orang-orang disekitarnya, dicintai, dan diharapkan segera sembuh dari sakitnya. Hal ini dapat menentramkan hati si sakit.
  2. Menjenguk orang sakit dapat menumbuhkan semangat, motivasi, dan sugesti dari pasien; hal ini dapat menjadi kekuatan khusus dari dalam jiwanya untuk melawan sakit yang dialaminya. Dalam dirinya ada energi hebat untuk sembuh.
  3. mencari tahu apa yang diperlukan si sakit.
  4. mengambil pelajaran dari penderitaan yang dialami si sakit.
  5. mendoakan si sakit
  6. melakukan ruqyah (membaca ayat-ayat tertentu dari Al Quran) yang syar’i.


MESKI SAKIT RINGAN, TETAP DIJENGUK!
Hadits-hadits yang ada, menyuruh dan mengajurkan untuk menjenguk orang sakit, baik yang sakit kecil maupun dewasa, anak-anak maupun orang tua, dari kaum laki-laki maupun wanita. Sakit ringan maupun berat. Yang sakit terpelajar atau bukan, orang kota maupun desa, pejabat maupun rakyat jelata, miskin maupun kaya, mengerti makna menjenguk orang sakit atau pun tidak.
Menjenguk orang sakit tetap dianjurkan, bahkan terkadang, dalam kondisi tertentun menjadi wajib, tanpa melihat bentuk penyakit tersebut, apakah tergolong parah atau ringan. Hal ini sudah mulai memudar di antara kita, bahkan seringkali sebagian kita hanya merasa perlu menjenguk teman, saudara, atau kenalan yang sakit; jika sudah masuk rumah sakit. Sekian lama terbaring di rumah, hanya sedikit yang menjenguknya. Apalagi jika penyakit tersebut digolongkan penyakit ringan. Padahal, nabi shallallahu alaihi wa sallam menjenguk salah seorang sahabatnya yang ‘hanya’ sakit mata. Sakit mata biasa, bukan sejenis kebutaan atau penyakit mata berat lainnya!
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata, ‘mengenai menjenguk orang yang sakit mata, bahkan sudah ada hadits khusus yang membicarakannya, yaitu hadits Zaid bin Arqam, dia menceritakan, ‘Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjenguk saya karena saya sakit mata.’ (lihat adabul mufrad, no.532)


MENJENGUK LAWAN JENIS?
Wanita boleh menjenguk laki-laki yang sedang sakit, ataupun sebaliknya; meskipun bukan mahramnya. Akan tetapi, hal ini dengan syarat aman dari fitnah, menutup aurat, dan tidak terjadi khalwat (berduaan dengan lawan jenis).
Aisyah radhiyallahu anha meriwayatkan, Ketika Rasulullah shallalallahu alaihi wa sallam tiba di madinah, Abu Bakar dan Bilal terserang demam. Kemudian, kata Aisyah, aku menemui mereka dan bertanya, ‘Ayah, bagaimana keadaanmu?’ ‘Wahai Bilal, bagaimana keadaanmu?” (HR. Bukhari no.5654)
Ibnu Syihab meriwayatkan dari Abu Umamah bin Sahal bin Hanaif, ‘Bahwa dirinya diberitahu bahwasanya ada seorang wanita miskin yang sedang sakit. Kemudian Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam pun diberitahu tentang sakitnya wanita tersebut. Dan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dahulu suka menjenguk orang-orang miskin dan menanyakan keadaan mereka.” (HR. Malik, Al Muwaththo’ no.531)


BOLEHKAN MENJENGUK ORANG MUSYRIK?
Menjenguk orang kafir oleh sabagian ulama dihukumi makruh. Hal ini dikarenakan: secara implisit (tidak langsung) merupakan penghormatan kepada mereka. (lihat At-Tamhid, Ibnu Abdil Bar, 24/276).
Namun sebagia ulama yang lain berpendapat bolehnya menjenguk orang kafir apabila ada harapan untuk masuk islam. Pendapat ini lebih dekat kepada apa yang dilakukan oleh Rasullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Anas bin Malik meriwayatkan, ‘Bahwasanya ada seorang anak muda Yahudi yang pernah menjadi pembantu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dia sakit, lalu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam datang menjenguknya. Kemudian beliau bersabda, ‘Masuklah Islam!” Maka dia pun masuk Islam.” (HR. Bukhari no.5657)
Sa’id bin Musayyib meriwayatkan dari ayahnya, dia berkata, ‘Ketika Abu Thalib hendak dijemput kematian. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mendatanginya seraya bersabda, ‘Ucapkanlah ‘Laa ilaaha illa Allah’ sebuah kalimat yang bisa aku jadikan sebagai hujjah untukmu di sisi Allah kelak.’ (HR. Bukhari no.6681)


KAPAN WAKTU MENJENGUK ORANG SAKIT?
Tidak ada keterangan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang menerangkan waktu-waktu tertentu untuk menjenguk orang sakit. Oleh karena itu, dapat dilakukan kapan saja, selama tidak merepotkan si sakit dan keluarganya.
Salah satu alasan menjenguk orang sakit adalah meringankan penderitaan si sakit dan memberinya dukungan moral, sehingga sangat tidak bijaksana jika kedatangan kita malah merepotkan yang bersangkutan.
Waktu yang tepat untuk menjenguk berbeda-beda pada setiap keadaan. Berbeda-beda dari waktu ke waktu dan antara satu tempat dengan tempat lainnya. Oleh karena itu, kita harus jeli mencari waktu yang pas untuk menjenguk, mampu memperkirakan kondisi si sakit & keluarganya (sedang beristirahat atau tidak, sedang banyak tamu atau tidak, dan lain sabagainya).


PERSINGKAT WAKTU KUNJUNGAN!
Hendaknya kita memperhatikan waktu ketika menjenguk orang sakit. Jangan sampai terlalu lama, karena hal ini bisa membebani bahkan menambah penderitaan si sakit ataupun keluarganya.
Ibnu Thowuss mengatakan bahwa ayahnya pernah berkata, ‘Sebaik-baik kunjungan kepada orang sakit ialah yang paling singkat.’
Asy-Sya’bi mengatakan, ‘Kunjungan orang dungu lebih berat dirasakan oleh keluarga si sakit daripada sakitnya salah seorang angota keluarga mereka. Yaitu, orang yang datang menjenguk pada waktu yang tidak tepat dan duduk terlalu lama.’ (lihat At-Tamhid, Ibnu Abdil Bar, 24/277)
Namun, apabila si sakit suka berlama-lama dengan penjenguknya, dan ingin dikunjungi sesering mungkin, maka sebaiknya keinginan tersebut dikabulkan oleh si penjenguk. Sebab, hal ini berarti memberikan kegembiraan dan dukungan moral kepada si sakit.
Hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam terhadap Sa’ad bin Mu’adz sewaktu ia menjadi korban perang Khandaq. Ketika itu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan agar Sa’ad dibuatkan kemah di dalam masjid agar beliau bisa menjenguknya dari dekat. Sahabat mana yang tidak suka ditunggui oleh Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan dikunjungi berulang kali? (lihat Bukhari no.463)


BERAPA KALI MENJENGUK SESEORANG?
Hal ini dikembalikan kepada kebiasaan, kondisi penjenguk, kondisi si sakit, berapa jauh hubungan yang bersangkutan dengan si sakit.
Orang yang lama jatuh sakit, maka dia dijenguk dari waktu ke waktu, dalam hal ini tidak ada batasan waktu tertentu.


MENJENGUK ORANG YANG PINGSAN ATAU KOMA
Orang sakit yang dapat merasakan kehadiran kita dan yang tidak dapat merasakan kehadiran kita (misalnya karena pingsan atau koma), sama-sama memiliki hak untuk dijenguk. Janganlah kita enggan menjenguknya, dengan alasan, toh…mereka tidak tahu dijenguk atau tidak…mereka tidak dapat merasakan kehadiran kita.
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, ‘Anjuran menjenguk orang sakit tidak hanya ditujukan agar si sakit mengetahui penjenguknya. Sebab, di balik kunjungan itu ada dukungan moral kepada keluarganya, harpaan mendapatkan berkah dari doa penjenguk, sentuhan tangannya kepada si sakit, meniupkan bacaan mu’awwidzat, dan lain-lain.’  (Fathul baari, 10/119)


DIMANA POSISI DUDUK PENJENGUK?
Orang yang menjenguk, dianjurkan duduk di dekat si sakit.
‘Adalah nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika menjenguk orang sakit, beliau duduk di sisi kepalanya.’ (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no.536, hadits shahih)
Diantara manfaat duduk di sisi kepala si sakit: memberi rasa akrab kepada si sakit, dan memungkinkan bagi penjenguk untuk menyentuh si sakit, memanjatkan doa untuknya, meniupnya dengan ruqyah, dan lain sebagainya.


MENANYAKAN KEADAAAN SI SAKIT
Ada baiknya kita menanyakan keadaan si sakit, sebagaimana yang dilakukan oleh Aisyah Radhiyallahu Anha,  Ketika Rasulullah shallalallahu alaihi wa sallam tiba di madinah, Abu Bakar dan Bilal terserang demam. Kemudian, kata Aisyah, aku menemui mereka dan bertanya, ‘Ayah, bagaimana keadaanmu?’ ‘Wahai Bilal, bagaimana keadaanmu?” (HR. Bukhari no.5654)


JANGAN PAKSA SI SAKIT BERCERITA PANJANG LEBAR!
Diantara maksud mengunjungi si sakit adalah untuk meringankan kan penderitaannya, oleh karena itu jangan sampai membebani bahkan menambah penderitaan si sakit ataupun keluarganya.
Satu hal yang dapat membebani si sakit atau keluarganya adalah pertanyaan kronologis musibah atau penyakit. Si sakit atau keluarga diminta untuk menceritakan kronologis kejadian yang cukup panjang; dan repotnya lagi, cerita ini harus diceritakan berulang kali karena hampir setiap pembesuk menanyakan, ‘awal mulanya bagaimana?’ ; ‘kejadiannya bagaimana?’ 1


HIBUR & BERIKAN HARAPAN SEMBUH!
Ada baiknya penjenguk menghibur si sakit atau keluarga si sakit dengan pahala-pahala yang akan di dapat mereka.
‘Setiap muslim yang terkena musibah penyakit atau yang lainnya, pasti akan Allah hapuskan berbagai kesalahannya, seperti sebuah pohon meruntuhkan daun-daunnya.’ (HR. Muslim)
‘Cobaan itu akan selalu menimpa seorang mukmin dan mukminah, baik pada dirinya, pada anaknya, ataupun pada hartanya, sehingga ia bertemu dengan Allah tanpa dosa sedikitpun.’  (HR. Tirmidzi)
‘Saat orang-orang tertimpa musibah diberi pahala di hari kiamat nanti, orang-orang yang selamat dari berbagai musibah tersebut berharap seandainya dahulu di dunia kulit mereka dikerat dengan gergaji besi…’ (HR. Tirmidzi)
Ada baiknya pula penjenguk memberikan harapan sembuh kepada si sakit. Misalnya dengan mengatakan.   ‘Tidak perlu kuatir, insya Allah Anda akan sembuh.’ atau ‘penyakit ini tidak berbahaya, Anda akan segera sembuh,insya Allah.’ atau kalimat-kalimat lain yang dapat menumbuhkan semangatnya untuk sembuh.


JANGAN MENAKUT-NAKUTI!
Apa yang kita sampaikan kepada si sakit maupun keluarganya, harus kita perhatikan benar-benar. Ucapkanlah kalimat-kalimat yang baik, yang dapat menumbuhkan motivasi atau meringankan musibah yang dialami mereka. Jangan sampai apa yang kita sampaikan malah menimbulkan rasa takut & cemas terhadap si sakit maupun keluarganya.
Diantara yang dapat menimbulkan rasa takut adalah cerita atau kabar bahwa seseorang mengalami hal yang sama, namun berakhir dengan cacat seumur hidup, dengan kematian….; kalau maksud yang bercerita adalah agar keluarga si sakit berhati-hati dan waspada terhadap musibah yang diderita si sakit, alangkah baiknya jika di kemas dengan kalimat-kalimat yang baik.2


MEMAHAMI KELUHAN SI SAKIT
Keluhan yang diucapkan si sakit ada dua kemungkinan:
Pertama, diucapkan sebagai ekspresi kekesalan dan kejengkelan. Hal ini tentnu saja dilarang oleh agama Islam, karena merupakan indikator lemahnya keyakinan dan tidak rela terhadap qadha dan qadar Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apabila kita mendengar keluhan semacam ini, si sakit segera diingatkan, dinasehati dengan cara yang baik.
Kedua, diucapkan dalam rangka memberi informasi tentang dirinya tanpa mengharap belas kasih kepada makhluk dan tidak pula menggantungkan harapan kepada mereka. Hal ini tentu saja boleh dilakukan, bahkan didukung oleh dalil syari:
Ibnu Mas’ud meriwayatkan:
‘Aku pernah menghadap Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, sementara beliau sedang menderita demam. Lalu aku menyentuhnya dengan tanganku, kemudian aku mengatakan, ‘Sungguh, Engkau menderita demam yang sangat berat.’ Beliau menjawab, ‘Ya, seperti layaknya demam yang diderita oleh dua orang dari kalian.’ ‘Engkau mendapat dua pahala?’ tanya Ibnu Mas’ud. Beliau menjawab ,’Ya. Tidaklah seorang muslim mengalami penderitaan -sakit dan sebagainya- melainkan Allah akan merontokkan keburukan-keburukannyaa sebagaimana pohon merontokkan daunnya.”(HR. Bukhari no.5667)


MENANGIS DI TEMPAT ORANG YANG SAKIT?
Yang nampak dari kita, hukumnya boleh. Sebab, Abdullah bin Umar meriwayatkan,
‘Sa’ad bin Ubadah pernah mengeluhkan sakit yang di deritanya, kemudian Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam datang menjenguknya bersama dengan Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash dan Abdullah bin Mas’ud. Ketika beliau menemuinya, beliau mendapatinya sedang dikerumuni oleh keluarganya. Lalu beliau bertanya, ‘Apakah dia sudah meninggal?’ Mereka menjawab, ‘Tidak ya Rasulullah!’ Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menangis, dan ketika orang-orang melihat tangisan nabi, maka mereka pun menangis. Lalu beliau bersabda, ‘Tidakkah kalian mendengar, sesungguhnya Allah tidak mengadzab karena linangan air mata maupun kesedihan hati, melainkan mengadzab karena ini -dan beliau menunjuk ke arah lidahnya- atau Dia berbelas kasih. Dan sesungguhnya mayit itu akan disiksa karena tangisan keluarganya yang meratapi (kepergian) nya.’  (HR. Bukhori no.1304)


MENDOAKAN SI SAKIT
Orang yang menjenguk orang sakit hendaknya tidak berkata-kata kecuali sesuatu yang baik. Sebab para malaikat akan mengamini apa yang akan diucapkannya.
Dari Ummu Salamah, doa mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
‘Apabila kamu mendatangi orang sakit atau mayit, maka ucapkanlah kata-kata yang baik. Karena sesungguhnya malaikat mengamini apa yang kamu ucapkan.’ Kemudian, kata Ummu Salamah, ketika Abu Salamah meninggal dunia, aku pun mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam seraya mengatakan, ‘Ya Rasulullah, Abu Salamah sudah meninggal dunia.’ Beliau lantas bersabda, ‘Ucapkanlah: Ya Allah, ampunilah aku dan dia, dan berilah aku pengganti yang baik.‘ Ummu Salamah berkata, ‘Lalu aku mengatakannya. Kemudian Allah memberiku pengganti yang lebih baik bagiku daripada dia (Abu Salamah), yakni Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.’ (HR. Muslim no.919)
Orang yang menjenguk orang sakit dianjurkan berdoa agar si sakit diberikan rahmat, ampunan, kebersihan dari dosa, keselamatan, dan kebebasan dari penyakit. Diantara doa yang pernah dibaca oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam:
1. Mengucapkan: “Laa ba’sa thohuurun in syaa’allooh.” ‘tidak mengapa, semoga dapat membersihkan kamu (dari dosa) insya Allah.’ (riwayat Bukhari dalam al fath: 10/118)
Kata ‘tidak mengapa’ maksudnya ialah bahwa sakit itu dapat menghapus kesalahan. Jika mendapat kesembuhan setelah sakit, maka berarti mendapatkan dua keuntungan sekaligus. Dan jika tidak, maka akan mendapatkan keuntungan berpa penghapusan dosa.
2. Membaca doa: “ As alukalloohal-’azhiima, robbal ‘arsyil-’azhiimi, ayyasyfiyaka.” (7x) Aku memohon kepada Allah yang Maha Agung, Rabb ‘Arsy yang agung agar menyembuhkanmu.”
‘Tidak ada seorang muslim yang menjenguk seorang yang sedang sakit yang belum sampai kepada ajalnya, lalu dia membacakan doa As alukalloohal-’azhiima, robbal ‘arsyil-’azhiimi, ayyasyfiyaka tujuh kali, kecuali dia akan sembuh.’  (Shahih At Tirmidzi: 2/210)


RUQYAH KEPADA SI SAKIT
Orang yang menjenguk orang sakit dianjurkan untuk melakukan ruqyah terhadapnya. Terutama kalau si penjenguk termasuk orang yang bertakwa dan shalih. Karena ruqyah yang dilakukannya akan memberikan manfaat yang lebih besar daripada orang lain (karena faktor ketakwaan & keshalihannya tersebut).
Di antara ruqyah syariah yang ada:
1. Ruqyah dengan mu’awwidzatain (surat al ikhlas, al falaq, dan an naas)
‘adalah rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika salah satu dari keluarganya sakit, beliau meniup keluarganya dengan (bacaan) mu’awwidzat…’ (HR. Muslim no.2192)
2. Ruqyah dengan surat al fatihah
Hal ini pernah dilakukan oleh Abu Said al Khudri terhadap kepala suku yang tersengat serangga. (lihat HR. Muslim no.2201)
3. Ruqyah dengan doa
‘Adalah rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika salah seorang dari kami mengeluh sakit, maka beliau mengusapnya dengan tangan kanannya, kemudian beliau mengucapkan: “Hilangkanlah penderitaan ini wahai Rabb manusia. Sembuhkanlah, karena Engkaulah yang Maha Menyembuhkan. Tiada kesembuhan melainkan kesembuhan-Mu. Kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.” (HR. Muslim no.2191)


KARANGAN BUNGA?
Ada sebagian orang yang ketika mengunjungi orang sakit selalu menyempatkan diri untuk membawa karangan bunga kepada si sakit. Ada pula yang menelipkan tulisan yang berisi ungkapan dan harapan agar lekas sembuh. Hal ini dilarang, karena:
  1. tradisi semacam ini berasal dari agama lain, padahal kita dilarang untuk menyerupai perilaku mereka.
  2. mengganti doa untuk si sakit agar diberikan kesucian, rahmat, ampunan, dan kesehatan dengan ungkapan-ungkapan kering dan harapan-harapan yang tidak bisa dimajukan atau diundur.
  3. mengganti ruqyah yang syari melalui bacaan ayat-ayat al quran maupun hadits dengan karangan bunga yang barangkali akan layu sehari atau dua hari kemudian.


MEMBACAKAN SURAT YASIN?
Ada sebagian orang yang membacakan surat yasin kepada orang yang sakit, terutama jika si sakit sudah sangat parah, koma, atau jika dalam keadaan menjemput ajal.
Mereka berdasarkan pada:
Tidak seorang pun yang akan mati, lalu dibacakan buatnya surat yasin, kecuali pasti diringankan/dimudahkan kematiannya.”
Keterangan:
hadits ini derajatnya “Maudhu/palsu”, diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalan Akhbar al Asbahan 1/188, di dalamnya ada seorang perowi yang suka memalsukan hadits yang bernama ‘Marwan bin Salim Al Jazari’. Imam Bukhori dan Muslim mengatakan bahwa Marwan bin Salim dalam meriwayatkan hadits tergolong ‘MUNGKARUL HADITS’ (lihat: Mizanul I’tidal 4/90). 3
Bacakanlah surat Yasin untuk orang-orang yang akan mati di antara kamu.”(Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, Nasa’i. Derajat hadits Dhaif.)4
Karena hadits-hadits di atas adalah dhaif & maudhu/palsu, maka pembacaan surat yasin untuk orang-orang yang akan mati tidak dapat diamalkan. Hal ini sebagaimana keterangan para ulama bahwa hadits lemah tidak dapat dipakai sebagai dasar suatu amalam meskipun hanya fadhaail amal. Soal aqidah, ibadah, muamalah, maupun fadhaail amal harus berdasarkan dalil yang shahih. Di antara salah satu sebab munculnya bidah adalah karena pengamalan hadits-hadits lemah maupun palsu. Tidak dibenarkan menetapkan hukum syari, baik hukum mustahab (sunnat) atau hukum lainnya dengan hadits lemah. Inilah pendapat yang benar. Konsekuensinya, tidak ada perbedaan antara hadits tentang fadhaail amal dengan hadits tentang hukum. Inilah pendapat mayoritas ulama, seperti Al Hafizh Ibnu Hajar al Asqolani, Imam Asy Syaukani, Al Allamah Shiddiq Hasan Khan dan Syaikh Muhammad Syakir serta lainnya.


PERLUKAH EUTHANASIA?
Terkadang, karena sakit yang diderita sangat berat, atau keluarga sudah tidak tega melihatnya; serta menurut ilmu medis, pasien tersebut tidak dapat sembuh, baginya kematian hanya soal waktu; seseorang disarankan atau meminta suntikan euthanasia, sehingga si sakit dapat segera terbebas dari penderitaan yang sering dialaminya selama ia masih hidup.
Euthanasia sebaiknya tidak dilakukan, hal ini karena: euthanasia menghalangi si sakit ataupun orang-orang di sekitar si sakit untuk mendapatkan manfaat dari status kehidupannya.
Dengan tetap hidup dengan kondisi semacam itu, si sakit akan dihapus catatan buruknya dan diangkat derajatnya, jika ia memiliki iman dan ihsan.
Dengan tetap hidup, yang bersangkutan terkadang mendapatkan doa yang baik dan diterima oleh Allah. Sehingga disembuhkan oleh Allah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, atau diampuni dosa-dosanya berkat doa sesama muslim yang ditujukan kepadanya.
Dengan tetap hidup, maka catatan buruk keluarganya yang dirundung kesedihan dan kegelisahan akan dihapus.
‘Tidaklah seorang muslim mengalami kepayahan, kesakitan, kegelisahan, kesedihan, gangguan, maupun kesusahan, bahkan duri yang menusuknya, melainkan dengan itu Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya. ‘ (HR. Bukhari no.5642)
Dengan tetap hidup, maka kebajikannya akan tetap mengalir dan tidak terputus, terutama jika yang bersangkutan adalah seorang ayah atau ibu.
Dan dengan tetap hidup, maka pahala akan tetap melimpah kepada orang yang menjenguk dan mengunjungi si sakit. Penjenguk akan mendapatkan shalawat dari 70 ribu malaikat yang ditugaskna mendoakannya, insya Allah.
Semoga bermanfaat, Allahu A’lam 5
Wonorejo, 8 Juli 20086

  1. ….Pengalaman saya, saking lelahnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berulang tersebut, suatu saat ketika ada anggota keluarga yang sakit, ada niatan untuk menjelaskan kronologis & riwayat penyakit, gejala-gejala, pengobatan yang sudah dilakukan, dan lain sabagainya dalam sebuah tulisan, sehingga ketika ada pembesuk yang bertanya, tinggal diminta untuk membaca tulisan tersebut. Atau si sakit diminta bercerita sekali untuk direkam. Ketika pembesuk datang, kita tinggal mendengarkan rekaman tersebut. Yang terkadang lebih menjengkelkan lagi, … pengunjung kurang puas ketika anggota keluarga yang menceritakan, menjelaskan. mereka ingin mendengar langsung dari si sakit. padahal, si sakit dalam keadaan lemah, dan sudah berulang kali menceritakan hal yang sama. semoga kejadian ini tidak menimpa pembaca. …. [↩]
  2. …. pengalaman saya, ketika anggota keluarga ada yang sakit, ada beberapa pengunjung yang bercerita yang malah menimbulkan ketakutan bagi si sakit; ‘wah, hati-hati. saudara dan teman-teman saya yang mengalami seperti ini harus dioperasi. operasi nya begini…begini…. biaya begini…. hasilnya; kalau gak wassalam -maksudnya meninggal-, ya cacat seumur hidup…. Kemudian menceritakan masing-masing orang. Si A…. si B…. si C …. Kejadian seperti ini sering terjadi, pingin nya mengusir bahkan mendepak keluar penjenguk yang memiliki perangai seperti itu,…namun sayang orangnya lebih tua dari saya!!! Bagi saya… yang masih sadar, mungkin bisa mengabaikan cerita tersebut, namun tidak ada jaminan cerita tersebut tidak masuk dalam benak si sakit ataupun anggota keluarga yang lain. Semoga kita dijauhkan dari hal yang demikian. amin. …. [↩]
  3. Penjelasan Gamblang Seputrar Hukum Yasinan, Tahlilan, & Selamatan, hal:47; dan Bincang-bincang seputar Tahlilan, Yasinan, & Maulidan, hal:23 [↩]
  4. Al Masaa-il, hadits 201; hal:286 [↩]
  5. Sumber bacaan & pengambilan:

    1. Al Masaa-il jilid 1, Abdul Hakim bin Amir Abdat, Darus Sunnah Press, Cet.5. tahun 2005
    2. Berbahagialah Wahai Orang Sakit, Dr. Muhammad Al Burkan, Pustaka At Tibyan, tanpa tahun
    3. Bincang-Bincang seputar Tahlilan, Yasinan, & Maulidan, Ust. Abu Ihsan Al Atsari, Pustaka At Tibyan, Cet.3, Juni 2007
    4. Doa & Dzikir Nabi, Dr. Said bin Ali bin Wahf al Qahthani, Maktabah AL Hanif, cet.1, Juni 2005
    5. Ensiklopedi Islam Al Kamil, Syaikh Muhammad bin Ibrahim at Tuwaijiri, Darus Sunnah Press, Cet.3, November 2007
    6. Etika Menjenguk Orang Sakit, Fuad Abdul Aziz Asy Syalhub, Pustaka Elba, Cet.1, Oktober 2006
    7. Hadits Qudsi Shahihain (Bukhari Muslim), Irfan bin Salim ad Dimasyqi, Media Hidayah, Cet.1, April 2006
    8. Menyongsong Doa Malaikat, Prof. Dr. Fadhl Ilahi, Wafa Press, Cet.1, Juni 2008
    9. Penjelasan Gamblang Yasinan, Tahlilan & Selamatan, AL Ustadz Abu Ibrahim Muhammad Ali bin A. Mutholib, Pustaka Al Ummat, Cet.5, Agustus 2007
    10. Tetap Bahagia di Saat Sakit, Abdul Muhsin bin Zainuddin bin Qaasim, Rumah Dzikir, tanpa tahun [↩]
    11. ditulis untuk mbak ku yang sedang sakit..semoga cepet sehat, mbak… [↩]

Sabtu, 30 Oktober 2010

MENGENDALIKAN RASA CEMBURU DALAM RUMAH TANGGA

Bismillahirahmanirohiim . .

Oleh Ustadz Abu Sa'ad M Nurhuda


Menurut 'Abdullah bin Syaddad, ada dua jenis ghirah. Pertama, ghirah yang dengannya seseorang dapat memperbaiki keadaan keluarga. Kedua, ghirah yang dapat meyebabkannya masuk neraka.

Ditinjau dari nilainya di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala, cemburu ada dua macam. Dalam sebuah hadist disebutkan, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi was allam bersabda:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ: إِنَّ مِنَ الْغِيْرَةَ مَا يُحِبُّ اللهُ وَمِنْهَا مَا يَبْغُضُ اللهُ فَالْغِيْرَةُ الَّتِيْ يُحِبُّ اللهُ الْغِيْرَةُ فِيْ الرَّيْبَةِ وَالْغِيْرَةُ الَّتِيْ يَبْغُضُ اللهُ الْغِيْرَةُ فِيْ غَيْرِ الرَّيْبَةِ

"Ada jenis cemburu yang dicintai AllahSubhanahu wa Ta'ala, adapula yang dibenci-Nya. Yang disukai, yaitu cemburu tatkala ada sangkaan atau tuduhan. Sedangkan yang dibenci, yaitu adalah yang tidak dilandasikeraguan" [1]

Disebutkan di dalam hadits, bahwa Saad bin Ubadah Radhiyallahu 'anhu berkata:

قَالَ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ : لَوْ رَأَيْتُ رَجُلاً مَعَ امْرَأَتِيْ لَضَرَبْتُهُ بِالسَّيْفِ غَيْرَ مُصَفِّحٍ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَتَعْجَبُوْنَ مِنْ غِيْرَةِ سَعْدٍ لأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ وَاللهُ أَغْيَرُ مِنِّيْ

"Sekiranya aku melihat seorang laki-laki bersama dengan isteriku, niscaya akan kutebas ia dengan pedang," ucapan itu akhirnya sampai kepada Rasulullah. Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Apakah kalian merasa heran terhadap kecemburuan Saad? Demi Allah, aku lebih cemburu daripadanya, dan Allah lebih cemburu daripadaku.”[2]

Ditinjau dari sisi yang lain, cemburu ada dua macam. Pertama, ghirah lil mahbub (cemburu membela orang yang dicintai). Kedua, ghirah 'alal-mahbub (cemburu membela agar jangan sampai ada orang lain yang juga mencintai orang yang dicintainya).

Ghirah lil mahbub adalah pembelaan seseorang terhadap orang yang dicintai, disertai dengan emosi demi membelanya, ketika hak dan kehormtan orang yang dicintai diabaikan atau dihinakan. Dengan adanya penghinaan tersebut, ia marah demi yang dicintainya, kemudian membelanya dan berusaha melawan orang yang menghina tadi. Inilah cemburu sang pecinta yang sebenarnya. Dan ini pula ghirah para rasul dan pengikutnya terhadap orang-orang yang menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta'ala, serta melanggar syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jenis ghirah inilah yang semestinya dimiliki seorang muslim, untuk membela Allah Subhanahu wa Ta'ala, Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dan agama-Nya. Adapun ghirah 'alal-mahbub adalah kecemburuan terhadap orang lain yang ikut mencintai orang yang dicintainya. Jenis ghirah inilah yang hendak kita kupas pada pembahasan ini.

BEBERAPA CONTOH KECEMBURUAN SEBAGIAN ISTERI NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM

Disebutkan dalam sebuah riwayat, Anas Radhiyallahu 'anhu berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ بَعْضِ نِسَائِهِ فَأَرْسَلْتْ إِحْدَى أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ بِصَحْفَةٍ فِيْهَا طَعُامٌ فَضَرَبَتِ الَّتِيْ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ بَيْتِهَا يَدَّ الْخَادِمِ فَسَقَطَتِ الصَّحْفَةُ فاَنْفَلَقَتْ فَجَمَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلْقَ الصَّحْفَةِ ثُمَّ جَعَلَ يَجْمَعُ فِيْهَا الطَّعَامَ الَّذِيْ كَانَ فِيْ الصَّحْفَةِ وَيَقُوْلُ: غَارَتْ أُمُّكُمْ ثُمَّ حُبِسَ الْخَادِمُ حَتَّى أَتَى بِصَحْفَةٍ مِنْ عِنْدِ الَّتِيْ هُوَ فِيْ بَيْتِهَا فَدَفَعَ الصَّحْفَةَ الصَّحِيْحَةَ إِلَى الَّتِيْ كَسَّرَتْ صَحْفَتَهَا وَأَمْسَكَ الْمَكْسُوْرَةَ فِيْ بَيْتِ الَّتِيْ كَسَّرَتْ

"Suatu ketika Nabi di rumah salah seorang isteri beliau. Tiba-tiba isteri yang lain mengirim mangkuk berisi makanan. Melihat itu, isteri yang rumahnya kedatangan Rasul memukul tangan pelayan pembawa makanan tersebut, maka jatuhlah mangkuk tersebut dan pecah. Kemudian Rasul mengumpulkan kepingan-kepingan pecahan tersebut serta makanannya, sambil berkata: "Ibu kalain sedang cemburu,” lalu Nabi menahan pelayan tersebut, kemudian beliau memberikan padanya mangkuk milik isteri yang sedang bersama beliau untuk diberikan kepada pemiliki mangkuk yang pecah. Mangkuk yang pecah beliau simpan di rumah isteri yang sedang bersama beliau" [3]

Ibnu Hajar menjelaskan bahwa isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang memecahkan mangkuk adalah 'Aisyah Ummul Mu’minin, sedangkan yang mengirim makanan adalah Zainab binti Jahsy.[4]

Dalam hadist yang lain diriwayatkan:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ: مَا غِرْتُ عَلَى امْرَأَةٍ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا غِرْتُ عَلَى خَدِيْجَةَ لِكَثْرَةِ ذِكْرِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِيَّاهَا وَثَنَائِهِ عَلَيْهَسا

"Dari 'Aisyah: “Aku tidak cemburu kepada seorang wanita terhadap Rasulullah sebesar cemburuku kepada Khadijah, sebab beliau selalu menyebut namanya dan memujinya"[5].

Dalam sebuah riwayat disebutkan, 'Aisyah berkata: “Tatkala pada suatu malam yang Nabi berada di sampingku, beliau mengira aku sudah tidur, maka beliau keluar. Lalu aku (pun) pergi mengikutinya. (Aku menduga beliau pergi ke salah satu isterinya dan aku mengikutinya sehingga beliau sampai di Baqi’). Beliau belok, aku pun belok. Beliau berjalan cepat, aku pun berjalan cepat, akhirnya aku mendahuluinya. Lalu beliau bersabda: “Kenapa kamu, hai 'Aisyah, dadamu berdetak kencang?”Lalu aku mengabarkan kepada beliau kejadian yang sesungguhnya, beliau bersabda: “Apakah kamu mengira bahwa Allah dan Rasul-Nya akan menzhalimimu?”[6]

NASIHAT BAGI WANITA DALAM MENGENDALIKAN PERASAAN CEMBURU

Sebagaimana fenomena yang kita lihat dalam kehidupan rumah tangga pada umumnya, tampaklah bahwa sifat cemburu itu sudah menjadi tabiat setiap wanita, siapun orangnya dan bagaimanapun kedudukannya. Akan tetapi, hendaklah perasaan cemburu ini dapat dikendalikan sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan masalah yang bisa menghancurkan kehidupan rumah tangga.

Berikut beberapa nasihat yang perlu diperhatikan oleh para isteri untuk menjaga keharmonisan kehidupan rumah tangga, sehingga tidak ternodai oleh pengaruh perasaan cemburu yang berlebihan.

1). Seorang isteri hendaklah bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bersikap pertengahan dalam hal cemburu terhadap suami. Sikap pertengahan dalam setiap perkara merupakan bagian dari kesempurnaan agama dan akal seseorang. Dikatakan oleh Nabi Shallalahu 'alaihi wa sallam kepada 'Aisyah Radhiyallahu 'anha : "Hai 'Aisyah, bersikaplah lemah-lembut, sebab jika Allah menginginkan kebaikan pada sebuah keluarga, maka Dia menurunkan sifat kasih-Nya di tengah-tengah keluarga tersebut [7]". Dan sepatutnya seorang isteri meringankan rasa cemburu kepada suami, sebab bila rasa cemburu tersebut melampaui batas, bisa berubah menjadi tuduhan tanpa dasar, serta dapat menyulut api di hatinya yang mungkin tidak akan pernah padam, bahkan akan menimbulkan perselisihan di antara suami isteri dan melukai hati sang suami. Sedangkan isteri akan terus hanyut mengikuti hawa nafsunya.

2). Wanita pecemburu, lebih melihat permasalahan dengan perasaan hatinya daripada indera matanya. Ia lebih berbicara dengan nafsu emosinya dari pada pertimbangan akal sehatnya. Sehingga sesuatu masalah menjadi berbalik dari yang sebenarnya. Hendaklah hal ini disadari oleh kaum wanita, agar mereka tidak berlebihan mengikuti perasaan, namun juga mempergunakan akal sehat dalam melihat suatu permasalahan.

3). Dari kisah-kisah kecemburuan sebagian isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut, bisa diambil pelajaran berharga, bahwa sepatutnya seorang wanita yang sedang dilanda cemburu agar menahan dirinya, sehingga perasaan cemburu tersebut tidak mendorongnya melakukan pelanggaran syari'at, berbuat zhalim, ataupun mengambil sesuatu yang bukan haknya. Maka janganlah mengikuti perasaan secara membabi buta.

4). Seorang isteri yang bijaksana, ia tidak akan menyulut api cemburu suaminya. Misalnya, dengan memuji laki-laki lain di hadapannya atau menampakkan kekaguman terhadap penampilan laki-laki lain, baik pakainnya, gaya bicaranya, kekuatan fisiknya dan kecerdasannya. Bahkan sangat menyakitkan hati suami, jika seorang isteri membicarakan tentang suami pertamanya atau sebelumnya. Rata-rata laki-laki tidak menyukai itu semua. Karena tanpa disadarinya, pujian tersebut bermuatan merendahkan "kejantanan"nya, serta mengurangi nilai kelaki-lakiannya, meski tujuan penyebutan itu semua adalah baik. Bahkan, walaupun suami bersumpah tidak terpengaruh oleh ungkapannya tersebut, tetapi seorang isteri jangan melakukannya. Sebab seorang suami tidak akan bisa melupakan itu semua selama hidupnya.

5). Ketahuilah wahai para isteri! Bahwa yang menjadi keinginan laki-laki di lubuk hatinya adalah jangan sampai ada orang lain dalam hati dan jiwamu. Tanamkan dalam dirimu bahwa tidak ada lelaki yang terbaik, termulia, dan lainnya selain dia.

6). Wahai, para isteri! Jadikanlah perasaan cemburu kepada suami sebagai sarana untuk lebih mendekatkan diri kepadanya. Jangan menjadikan ia menoleh kepada wanita lain yang lebih cantik darimu. Berhias dirilah, jaga penampilan di hadapannya agar engkau selalu dicintai dan disayanginya. Cintailah sepenuh hatimu, sehingga suami tidak membutuhkan cinta selain darimu. Bahagiakan ia dengan seluruh jiwa, perasaan dan daya tarikmu, sehingga suami tidak mau berpisah atau menjauh darimu. Berikan padanya kesempatan istirahat yang cukup. Perdengarkan di telinganya sebaik-baik perkataan yang engkau miliki dan yang paling ia senangi.

7). Wahai, para isteri! Janganlah engkau mencela kecuali pada dirimu sendiri, bila saat suamimu datang wajahnya dalam keadaan bermuram durja. Jangan menuduh –salah- kecuali pada dirimu sendiri, bila suamimu lebih memilih melihat orang lain dan memalingkan wajah darimu. Dan jangan pula mengeluh bila engkau mendapatkan suamimu lebih suka di luar daripada duduk di dekatmu. Tanyakan kepada dirimu, mana perhatianmu kepadanya? Mana kesibukanmu untuknya? Dan mana pilihan kata-kata manis yang engkau persembahkan kepadanya, serta senyum memikat dan penampilan menawan yang semestinya engkau berikan kepadanya? Sungguh engkau telah berubah di hadapannya, sehingga berubah pula sikapnya kepadamu. Lebih dari itu, engkau melemparkan tuduhan terhadapnya karena cemburu butamu.

8). Dan ingatlah wahai para isteri! Suamimu tidak mencari perempuan selain dirimu. Dia mencintaimu, bekerja untukmu, hidup senantiasa bersamamu, bukan dengan yang lainnya. Bertakwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, ikutilah petunjuk-Nya dan percayalah sepenuhnya kepada suamimu setelah percaya kepada Allah yang senantiasa menjaga hamba-hamba-Nya yang selalu menjaga perintah-perintah-Nya, lalu tunaikanlah yang menjadi kewajibanmu. Jauhilah perasaan was-was, karena setan selalu berusaha untuk merusak dan mengotori hatimu.

TIDAK BOLEHKAH CEMBURU?Barangkali, di antara para isteri ada yang membantah dan berkata, adalah kebodohon apabila seorang isteri tidak memiliki rasa cemburu pada suaminya, padahal cemburu ini merupakan ungkapan cintanya kepada suaminya, sekaligus sebagai bumbu penyedap yang bisa menimbulkan keharmonisan, kemesraan dan kepuasan batin dalam kehidupan rumah tangga.

Ya, benar! Akan tetapi, apakah pantas bagi seorang isteri yang berakal sehat, jika ia tenggelam dalam rasa cemburunya, sehingga menenggelamkan bahtera kehidupan rumah tangganya, mencabik-cabik jalinan cinta dan kasih-sayang dalam keluarganya, bahkan ia sampai terjangkiti penyakit depresi, buruk sangka yang dapat membawanya kepada penyakit psikis yang kronis, perang batin yang tidak berkesudahan, dan akhirnya merusak akal sehatnya?

Memang sangat tipis, perbedaan antara yang benar dengan yang salah, antara yang sakit dengan yang sehat, antara cemburu yang penuh dengan kemesraan dengan cemburu yang membakar dan menyakitkan hati dikarenakan penyakit kejiwaan yang berat. Namun, tetap ada perbedaan antara cemburu dalam rangka membela kehormatan diri dan kelembutan karena didasari rasa cinta kepada suami, dengan cemburu yang merusak dan membinasakan. Kalau begitu, cemburulah wahai para isteri, dengan kecemburuan yang membahagiakan suamimu, dan menampakkan ketulusan cintamu kepadanya! Tetapi hindarilah kecemburuan yang merusak dan menghancurkan keluargamu. Cemburulah demi memelihara harga diri dan kehormatan suami. Dan lebih utama lagi, cemburu untuk membela agama Allah.

Isteri yang selalu memantau kegiatan suaminya, mencari-cari berita tentangnya, serta selalu menaruh curiga pada setiap aktivitas suaminya, bahkan cemburu kepada teman dan sahabatnya, maka inilah isteri yang bodoh. Dengan sifatnya tersebut, maka kehidupan rumah tangganya, rasa cinta, kepercayaan di antara keduanya akan terputus dan hancur. Dan bagi wanita yang rasa cemburunya tersulut karena suatu sebab, kemudian ia merasa hal itu tidak pada tempatnya, hendaklah ia menyadari kesalahannya, lalu melakukan perbaikan atas sikapnya tersebut. Dan yang paling penting adalah, tidak mengulangi lagi kesalahan serupa di kemudian hari.

KECEMBURUAN LAKI-LAKIDi antara salah satu adab pergaulan antara suami-isteri, yaitu seorang suami seharusnya bersikap pertengahan dalam hal kecemburuan kepada isteri, sehingga tidak terlalu berlebih-lebihan, atau sebaliknya menganggap remeh sikap cemburu. Hendaknya ia melakukan tindakan preventif. Jangan beriskap lengah terhadap hal-hal yang perlu dikhawatirkan bahayanya. Tetap menjaga isterinya, namun dalam batas-batas yang telah digariskan syari'at. Hal seperti ini dan semisalnya, termasuk jenis cemburu yang terpuji. Adapun sikap cemburu suami yang berlebih-lebihan serta prasangka yang tidak dilandasi bukti dan akal sehat, dan juga selalu mengontrol dan mengawasi isteri dalam segala perbuatannya, maka ini termasuk perbuatan yang tercela lagi diharamkan.

Allah berfirman : "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain" [al Hujurat/49:12]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga melarang para suami mencari-cari kesalahan isteri. Sebagaimana beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tegaskan dalam hadits: “Ada jenis cemburu yang Allah membencinya. Yaitu kecemburuan suami kepada isteri yang tidak disertai adanya indikasi kuat yang mendukungnya".[8]

Barangsiapa mengabaikan sifat cemburu yang bisa lebih menguatkan hubungan cinta di antara suami isteri, maka ia hidup dengan hati yang rusak dan melenceng dari fitrahnya. Dijelaskan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada ad-dayyuts pada hari kiamat, dan tidak akan memasukkannya ke dalam surga”.[9]

Dayyuts adalah, seorang suami yang tidak memiliki sifat cemburu dan membiarkan isterinya berbuat maksiat. Dan sebaliknya, suami yang terlalu berlebihan rasa cemburunya akan hidup sengsara dan tersiksa, bahkan jarang seorang isteri yang mampu hidup lama dengannya, karena selalu merasa diawasi dan merasa tertekan.

Sikap yang wajar dalam masalah ini akan membawa dampak positif, terpeliharanya harga diri, kehormatan dan tercapainya kehidupan yang berbahagia. Sikap pertengahan dalam menyikapi rasa cemburu, artinya ia menjauh dari berprasangka buruk, tidak mencari-cari satu perkara secara mendetail bila tidak perlu, menghindari sikap tergesa dalam menerima berita -yang sengaja dihembuskan oleh orang yang mempunyai niat buruk- tanpa menyaringnya, berhati-hati terhadap perkara yang dikhawatirkan membahayakan, dan menjaga diri dari perilaku yang merusak. Jika hal itu dapat dipenuhi, maka itulah keutamaan yang sebenarnya. Sebaliknya, apabila tidak, maka akan membawa malapetaka bagi kehidupan rumah tangga.

Terkadang ada di antara para suami yang terjangkiti sifat cemburu buta. Dia merasa cemburu (pada isterinya) dari semua orang, sehingga isteri dilarang mengunjungi atau dikunjungi, meski kunjungan dari orang-orang mulia dan terhormat. Suami tidak bisa menerima, jika pintu rumahnya terbuka. Dia tidak merasa nyaman jika ada seseorang mengunjungi isterinya, tanpa sepengetahuannya. Atau saat ia tidak berada di rumah. Jika ia berangkat kerja, seluruh pintu ditutup, kunci-kunci dibawanya, dan setelah pulang seluruh kamar dikelilingi dan diamati. Sampai-sampai bila orang tua atau mahram dari isterinya datang berkunjung, maka harus menunggu di luar rumah sampai suami yang pecemburu itu tiba. Sungguh ini bisa menjadikan si isteri dan kerabatnya merasa tersinggung dan marah karena merasa tidak dihargai.

Kepada suami yang memiliki sifat demikian, rasanya lebih adil dan tepat jika dikatakan kepadanya: "Yang engkau lakukan itu, bukan termasuk cemburu yang benar menurut agama. Juga bukan kecemburuan seorang yang benar-benar disebut laki-laki. Itu tidak lebih sekedar kekhawatiran yang berlebihan, sehingga dengannya engkau telah membelenggu isterimu dari hak syar’inya. Dalam keadaan demikian, isterimu seperti bukan makhluk hidup padahal bukan pula benda mati. Engkau telah memadamkan cahaya kemuliaan dan kehormatannya. Nama baiknya akan menjadi pembicaraan di tengah publik. Sekiranya engkau termasuk orang muslim yang benar, yang berpegang pada akhlak dan etika Islam, tentu engkau akan melaksanakan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain". [al Hujurat/49:12].

Sebaliknya, ada seorang suami yang terpesona dengan peradaban modern dan kemewahan duniawi. Maka diajaklah isterinya pergi ke tempat-tempat hiburan, diberikanlah kebebasan kepada isterinya untuk berkenalan dengan orang lain, yang baik maupun yang buruk akhlaknya. Hingga akhirnya si isteri pun melakukan hal-hal yang dilarang agama. Ternyata kemudian, si suami merasa cemburu. Sesampai di ke rumah, dihitunglah kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat isterinya, hingga terjadilah perselisihan di antara mereka. Namun suami ini tetap lalai dan belum menyadari keteledorannya. Dia selalu saja membuka pintu rumahnya bagi siapa pun, kawan-kawan atau koleganya. Dia tidak merasa berdosa jika mereka datang saat ia tidak ada. Hingga akhirnya, jika telah ada berita buruk tentang kehormatan isterinya, dia baru menyadari kelengahannya, cemburu lagi, marah besar dan naik pitam.

Wahai, suami yang lalai! Kecemburuanmu tak lagi bermanfaat setelah semua petaka itu terjadi. Kecemburuanmu adalah kecemburuan yang dibenci, yang tidak membuahkan apa-apa selain kehancuran mahligai rumah tanggamu. Maka tinggalkanlah kecemburuanmu yang palsu itu. Gantilah dengan kecemburuan yang dibenarkan agama, yakni kecemburuan lelaki sejati, kecemburuan yang bijak dan tidak membabi-buta. Itulah kecemburuan yang dicintai Allah, yang tidak mungkin menjadi sebab timbulnya hal-hal negatif di kalangan orang-orang baik dan terhormat.

Dengan hidayah Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan di atas nilai-nilai yang utama inilah, kebahagiaan hidup bagi seluruh lapisan masyarakat bisa tercapai. Wallahu a’lam.

Maraji’ Utama :- Tuhfatul-‘Arus, az-Zawaj as-Said fil-Islam, Majdi Muhammad asy-Syahawi, Aziz Ahmad al Aththar, Maktabah at-Taufiqiyyah. - Tuhfatul-‘Arus aw az-Zawaj al Islamy as-Said, Mahmud Mahdi al-Istanbuli, Darul-Ma’rifah, Darul-Baidha’, Cetakan ke-5, Tahun 1406.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun X/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

________
Footnote
[1]. Sunan al Baihaqi (7/308).
[2]. Hadist riwayat al Bukhari (5/2002).
[3]. Hadist riwayat al Bukhari (5/2003).
[4]. Lihat Fathul Bari (7/149 dan 9/236).
[5]. Hadist riwayat al Bukhari (5/2004).
[6]. Hadist riwayat Muslim (2/670), secara ringkas dari hadits yang panjang.
[7]. Hadist riwayat Ahmad. Lihat Majmu’ Zawaid (8/19).
[8]. Hadist riwayat al Bazzar dan ath-Thabrani. Lihat Majma’ az-Zawaid (7/320).
[9]. Hadits riwayat Ahmad (2/69, 128, 134).