Senin, 04 Juli 2011

KEUTAMAAN BULAN SYABAN



Oleh: Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed


** Disunnahkan Memperbanyak Puasa **

Masalah keutamaan bulan Sya’ban telah diriwayatkan dalam beberapa hadits, di antaranya dalam Shahih Muslim dari ‘Aisyah رضي الله عنها. Beliau berkata: 

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُ حَتَّى نَقُوْلَ لاَ يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُوْلَ لاَ يَصُوْمُ وَمَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطْ إِلاَّ رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامً فِي شَعْبَانَ. (رواه مسلم)

“Rasulullah صلى الله عليه وسلم berpuasa hingga kami mengatakan beliau صلى الله عليه وسلم tidak pernah berbuka, dan beliau berbuka hingga kami mengatakan bahwa beliau صلى الله عليه وسلم tidak pernah puasa. Namun Rasulullah صلى الله عليه وسلم tidak pernah berpuasa sebulan penuh, kecuali pada bulan Ramadhan. Dan aku tidak pernah melihat satu bulan yang paling banyak beliau berpuasa kecuali pada bulan Sya’ban.” (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ‘Aisyah رضي الله عنها ditanya tentang puasa Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Beliau رضي الله عنها menjawab:

كَانَ يَصُوْمُ حَتَّى نَقُوْلَ قَدْ صَامَ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُوْلَ قَدْ أَفْطَرَ وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطْ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ يَصُوْمُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيْلاً. (رواه مسلم)

“Beliau صلى الله عليه وسلم berpuasa hingga kami mengatakan beliau selalu berpuas. Dan beliau tidak berpuasa sampai-sampai kami mengatakan beliau tidak pernah berpuasa. Aku tidak pernah melihat beliau berpuasa yang paling banyak seperti di bulan Sya’ban. Beliau صلى الله عليه وسلم berpuasa hampir seluruhnya. Beliau berpuasa di bulan Sya’ban seluruhnya kecuali sedikit.” (HR. Muslim)


** Bid’ah-bid’ah pada Bulan Sya’ban **

1. Bid’ah Shalat Bara’ah/Alfiyyah

Imam Al-Fatani رحمه الله berkata dalam kitabnya Tadzkiratul Maudhu’at: “Di antara hal-hal yang diadakan manusia pada malam nishfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban) adalah shalat alfiyah (shalat seribu raka’at). Seratus raka’at dikerjakan sendiri dan sepuluh raka’at-sepuluh raka’at berikutnya dilakukan secara berjama’ah. Mereka membesar-besarkan malam nishfu Sya’ban melebihi hari Jum’at dan hari raya. Padahal tidak diriwayatkan satu dalil pun dari hadits atau ucapan para shahabat, kecuali dha’if atau maudhu’. Maka janganlah terpedaya dengan disebutkannya perayaan nishfu Sya’ban dalam kitab Quutul Quulub, Al-Ihya’ dan lain-lain.” (As-Sunan wal Mubtada’at, hal. 144)

Al-Iraqi رحمه الله berkata: “Hadits tentang shalat di malam nishfu Sya’ban adalah hadits-hadits batil. Bahkan Ibnul Jauzi رحمه الله memasukkannya ke dalam hadits-hadits maudhu’ (palsu).”

2. Dzikir dan Shalat Khusus pada Malam Nishfu Sya’ban

Adapun dzikir dan shalat khusus pada malam nishfu Sya’ban tidak disunnahkan dan tidak diriwayatkan dalam satu hadits pun yang shahih.

Adapun riwayat yang berbunyi:

إِذَا كَانَتْ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُوْمُوْا لَيْلَهَا وَصُوْمُوْا نَهَارَهَا. (رواه ابن ماجه)

“Jika datang malam pertengahan di bulan Sya’ban, maka shalatlah pada malamnya dan berpuasalah dia siang harinya.” (HR. Ibnu Majah dari ‘Ali رضي الله عنه)

Hadits ini disebutkan dalam catatan kakinya: “Sanadnya dha’if, karena kelemahan rawi yang bernama Ibnu Abi Bisrah. Imam Ahmad dan Ibnu Ma’in mengatakan bahwa dia memalsukan hadits.” (As-Sunan wal Mubtada’at, hal. 145)

Syaikh Al-Albani رحمه الله menyebutkan hadits di atas palsu (maudhu’) dalam Dha’if Ibnu Majah, 1/294. (pent.)

Berkata Muhammad ‘Abdus Salam Asy-Syuqairi: Adapun shalat enam raka’at pada malam nishfu Sya’ban dengan niat tolak bala, memanjangkan umur, mencukupkan diri dari manusia; demikian pula membaca surat Yasin dan do’a di antara shalat tersebut tidak ragu lagi yang demikian adalah perkara baru (muhdats) dalam agama dan menyelisihi sunnah sayyidul mursalin. 
(As-Sunan wal Mubtada’at, hal. 145)

Berkata pensyarah kitab Al-Ihya’: “Shalat yang demikian (yakni 6 raka’at pada malam nishfu Sya’ban) sangat terkenal dalam kitab-kitab belakangan dari kitab-kitab sufi. Padahal aku tidak pernah melihat adanya sandaran yang shahih dari sunnah dalam masalah tersebut, demikian pula dalam masalah dzikir-dzikirnya.”

Berkata An-Najm Al-Ghaiti tentang menghidupkan malam nishfu Sya’ban dengan berjama’ah: “Yang demikian diingkari oleh kebanyakan para ulama dari penduduk Hijaz seperti Atha’ ibnu Abi Rabah, Ibnu Abi Malikah dan lain-lain. Demikian pula fuqaha Madinah dan para pengikut Imam Malik. Mereka semua berkata: “Perkara tersebut semuanya bid’ah, tidak disebutkan dalam masalah menghidupkan malam nishfu Sya’ban sedikit pun dari hadits Nabi صلى الله عليه وسلم dan tidak pula dari para shahabatnya.”

Imam Nawawi رحمه الله berkata: “Shalat Rajab dan Sya’ban kedua-duanya adalah bid’ah yang mungkar dan jelek.” 
(As-Sunan wal Mubtada’at, hal. 145)

3. Do’a Yaa Dzal Manni

Demikian pula bid’ahnya doa khusus pada malam nishfu Sya’ban yang berbunyi:

اللّهُمَّ يَا ذَا الْمَنِّ وَلاَ يَمن عَلَيْهِ يَا ذَا لْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ

Ya Allah, wahai pemilik segala pemberian dan tidak pernah membutuhkan pemberian. Wahai Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi….

Telah diisyaratkan dalam ucapan pensyarah kitab Al-Ihya’ bahwa do’a tersebut tidak ada asalnya dan tidak ada sandarannya.

Demikian pula dikatakan oleh penulis kitab Asnal-Mathalib, bahwa doa itu disusun oleh beberapa orang shalih dari dirinya sendiri. Dikatakan dia adalah Al-Buni.

Tentunya walaupun kita boleh berdoa dengan apa pun yang kita minta kepada Allah, namun tidak boleh mengkhususkan satu doa untuk tanggal tertentu, bulan tertentu tanpa dalil dari hadits-hadits yang shahih.

Maka wahai hamba Allah, jika satu ibadah tidak diperintahkan dalam Al-Qur’an, tidak pula dicontohkan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam sunnah, bahkan tidak pula oleh para khalifah-khalifahnya dan seluruh para shahabatnya, maka janganlah kita beribadah dengannya.

Dalam Musnad Imam Syafi’i رحمه الله diriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah رضي الله عنه bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengucapkan talbiyah dengan kalimat:

لَبَّيْكَ إِلَهَ الْحَقّ لَبَّيْكَ

Dalam riwayat lain:

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ

Kemudian diriwayatkan bahwa Sa’ad bin Abi Waqash mendengar beberapa orang dari kaum kerabatnya membaca talbiyah:

يَا ذَا الْمَعَارِجِ

Maka Sa’ad bin Abi Waqash berkata:

إِنَّهُ لَذُوْ الْمَعَارِجِ، وَمَا هَكَذَا كُنَّا نَلْبِي عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Memang benar bahwa Allah memiliki Ma’arij, tetapi tidak demikian kita diajarkan talbiyah pada zaman Rasulullah صلى الله عليه وسلم.”

Atsar ini menunjukkan betapa besar kehati-hatian para shahabat dalam beribadah. Tidak berani merubah kalimat-kalimat apalagi menambahinya. Ketika mendengar sebagian kaum muslimin mengucapkannya dengan kalimat yang berbeda dengan apa yang diajarkan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم -walaupun secara makna benar- mereka menegurnya, seperti apa yang dilakukan oleh Sa’ad bin Abi Waqash di atas.


** Nishfu Sya’ban bukan Lailatul Qadar **

Berkata Muhammad ‘Abdus Salam Asy-Syuqairi: Adapun pendapat yang mengatakan bahwa malam nishfu Sya’ban adalah malam lailatul qadar, maka itu adalah pendapat yang batil dengan kesepakatan para ulama dari kalangan ahlul hadits dan para peneliti hadits.

Imam Ibnu Katsir رحمه الله juga menyatakan batilnya pendapat ini dalam tafsir beliau.

Imam Ibnul Arabi رحمه الله juga menyatakan -ketika mensyarah hadits Tirmidzi-: Telah disebutkan oleh sebagian penafsir bahwa ayat:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ. (القدر: ١)

“Sesungguhnya Kami turunkan Al-Qur’an pada malam Lailatul Qadar.” (Al-Qadr: 1)

Bahwa yang dimaksud adalah malam nishfu Sya’ban.
 Ini adalah pendapat batil, karena Allah tidak menurunkan Al-Qur’an pada bulan Sya’ban. Hanya saja Allah سبحانه وتعالى katakan: “Kami turunkan Al-Qur’an pada malam Lailatul Qadar.” Sedangkan malam lailatul qadar adalah pada bulan Ramadhan sebagaimana Allah katakan dalam ayat lain:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدى وَالْفُرْقَانِ… (البقرة: ١٨٥)

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan dan bathil)” 
(Al-Baqarah: 185) (As-Sunan wal Mubtada’at, hal. 146)

Berarti pendapat ini adalah pendapat yang menentang Al-Qur’an dan pendapat orang yang tidak mengerti apa yang dibicarakan di dalamnya.

Muhammad ‘Abdus Salam Asy-Syuqairi رحمه الله berkata:

Maka aku peringatkan kalian dari kebid’ahan ini, karena sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى juga menyatakan:

فِيْهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ. (الدخان: ٤)

“Padanya diputuskan segala perkara-perkara dengan bijak.” (Ad-Dukhan: 4)

Ayat ini menerangkan tentang malam lailatul qadar yang diberkahi yang padanya diputuskan perkara-perkara taqdir dengan adil. Dan ini bukan terjadi pada malam nishfu Sya’ban.

Wallahu ‘alam

Catatan:

Perkataan-perkataan para ulama di atas dinukil dari kitab As-Sunan wal Mubtada’at oleh Muhammad ‘Abdus Salam Asy-Syuqairi, hal. 144-146; kitab ini ditaqdim oleh Muhammad Khalil Harras)


(Sumber: Risalah Dakwah Manhaj Salaf Edisi 114/Th. III/16 Rajab 1427H/11 Agustus 2006M, hal. 1-4. Judul: Keutamaan Bulan Sya’ban. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. Telp. (0231)222185. Penanggung Jawab & Pimpinan Redaksi: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Sekretaris: Ahmad Fauzan/Abu Urwah, HP 081564634143; Sirkulasi/pemasaran: Abu ‘Abdirrahman Arief Subekti, HP 081564690956. Dinukil untukhttp://akhwat.web.id/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar