Pernah terjadi gempa ringan (lindu-jawa) pada masa pemerintahan Khalifah Umar Bin Khoththob, kendati gempa tersebut tidak sampai menumbangkan pohon terlebih merobohkan rumah, peristiwa tersebut betul-betul membikin gempar para shahabat, pasalnya belum pernah mereka mengalami peristiwa semisalnya ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam masih hidup atau di masa Khalifah Abu Bakar. Atas kejadian itu Umar bin Khoththob berkata kepada rakyatnya:
“Wahai manusia, apa ini? (mengapa terjadi gempa bumi). Betapa cepatnya kalian berubah !! kalau sampai terulang sekali lagi (terjadi gempa bumi) aku tidak mau tinggal (di Madinah ini) bersama kalian !”
Logika langit yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam membekas kuat dan dipahami dengan “mumtaz” oleh Khalifah Umar. Beliau tau persis hukum kausalitas (sebab akibat) atas alam semesta yang diajarkan oleh Allah Subhanahu wata'ala melalui Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam-Nya, yakni bahwa bumi sebagai salah satu makhluq Allah Subhanahu wata'ala yang ta’at kepada-Nya, tidak akan guncang kecuali dengan kehendak-Nya. Keguncangan bumi tidak lain karena Allah Subhanahu wata'ala murka disebabkan manusia yang tinggal di punggung bumi itu melakukan pelanggaran-pelanggaran dan maksiat kepada Allah Subhanahu wata'ala, kemudian Allah Subhanahu wata'ala memerintah bumi untuk berguncang sebagai peringatan atas mereka agar berhenti dari perbuatan itu, atau Dia bermaksud untuk menghukum mereka sehingga habis bertumbangan seolah mereka tidak pernah tinggal di tempat itu.
Tak berbeda pula dengan bencana yang akhir-akhir ini mendera bangsa kita, banjir tumpah di mana-mana, tanah longsor menimbun banyak warga, dan baru-baru ini Aceh seakan merasakan “kiamat”, padahal baru diberikan sedikit peringatan oleh-Nya yakni dengan Gempa Tektonik dengan kekuatan sekitar 5,7 SR yang menimbulkan gelombang Tsunami yang menewaskan banyak orang hingga dampaknya juga terasa sampai Srilangka, India serta beberapa negara lainnya. Para pakar boleh berdebat tentang sebab musababnya, boleh saling tuding siapa yang paling bertanggung jawab atas musibah tersebut, namun logika wahyu menyebutkan bahwa semua terjadi karena dosa. Judi merajalela, zina menjadi budaya, riba adalah pendapatan utama sedangkan hukum Allah Subhanahu wata'ala dipilah dan dipilih seenaknya.
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu berkata : “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menghadap kearah kami seraya bersabda : “Wahai kaum muhajirin, ada lima hal yang aku berlindung diri kepada Allah Subhanahu wata'ala agar kalian tidak menjumpainya, tidaklah menyebar perbuatan keji (zina) pada suatu kaum hingga mereka berterang-terangan melakukannya melainkan mereka akan ditimpa wabah-wabah penyakit dan kelaparan yang belum pernah menimpa orang-orang sebelum mereka. Tidaklah suatu kaum yang mengurangi takaran (dalam jual beli) melainkan mereka akan ditimpa paceklik, sulit mendapat makanan dan jahatnya penguasa. Tidaklah suatu kaum yang enggan mengeluarkan zakat dari harta mereka melainkan akan terhalang air hujan dari langit, kalau saja bukan karena (ada) binatang niscaya tidak diturunkan hujan. Tidaklah suatu kaum mengingkari janji melainkan Allah Subhanahu wata'ala akan menguasakan atas mereka musuh-musuh yang bukan dari golongan mereka, mereka mengambil sebagian harta yang ada ditangan mereka. Dan selama pemimpin-pemimpin mereka tidak menerapkan hukum Allah Subhanahu wata'ala dan memilah-milih apa yang Allah Subhanahu wata'ala turunkan di dalam kitab-Nya, niscaya Allah Subhanahu wata'ala akan menjadikan saling berkeras-kerasan diantara mereka.”(HR Ibnu Majah dan Al-Hakim)
*** SYARAH ***
Hadits diatas menyebutkan secara gamblang beberapa sebab timbulnya berbagai macam bencana. Bahwa setiap dosa membawa konsekuensi bagi munculnya bala’ dan bahwa setiap musibah terjadi karena dosa. Sebagaimana halnya suatu kemakmuran dan kesejahteraan tergantung dari nilai keimanan dan ketaqwaan.
Allah Subhanahu wata'ala berfirman,
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan dari bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu. Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Maka, apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami di malam hari ketika mereka tengah lelap tertidur?? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami di waktu matahari sepenggalah naik saat mereka sedang bermain-main?? Maka apakah mereka merasa aman dari adzab Allah (yang tidak terduga-duga)?? Tiada yang merasa aman dari adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’roof 96-99).
Logika wahyu mengaitkan langsung hukum kausalitas menurut versi-Nya, yakni bahwa keberkahan penduduk bumi (khususnya manusia) sangat erat terkait dengan sejauh mana mereka beriman kepada Allah Subhanahu wata'ala dan merealisir keimanannya dengan sungguh-sungguh melaksanakan titah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dengan itu, bukan saja kerusakan dapat dihindarkan dan korban dapat dicegah, bahkan peristiwa yang akan mendatangkan jatuhnya korban dapat dicegah untuk tidak terjadi.
*** SEBAB-SEBAB KEHANCURAN UMAT ***
Betapa banyak Allah Subhanahu wata'ala telah memberikan gambaran di dalam ayat-ayat-Nya, bahwa dosa pula yang menyebabkan umat-umat terdahulu di hancurkan oleh Allah Subhanahu wata'ala. Dosa telah menjadikan kaum Nuh di tenggelamkan oleh Allah Subhanahu wata'ala dengan air bah yang sampai ke puncak gunung. Dosa pula yang menyebabkan kaum ‘Ad ditimpa angin yang sangat dingin lagi kencang hingga mereka mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon kurma yang telah lapuk. Merajalelanya homoseks telah mengakibatkan kaum Luth binasa, Allah Subhanahu wata'ala membalikkan bumi sehingga atas menjadi bawah dan sebaliknya lalu Allah Subhanahu wata'ala menghujani mereka dengan batu dari langit. Dosa pula yang menyebabkan kaum Syu’aib ketika melihat awan laksana naungan, namun ketika tepat diatas kepala mereka tiba-tiba mereka dihujani dengan semburan api yang menyala-nyala.
Jika tersebar satu dosa pada suatu kaum Allah Subhanahu wata'ala akan menimpakan satu jenis siksa yang setimpal. Demikian pula dengan umat sebelum kita, ada yang disiksa dengan Gempa, banjir, dengan petir, angin ribut, dan sebagainya sesuai dengan jenis maksiat yang dikerjakan. Lantas bagaimana halnya jika seluruh bentuk kemaksiatan tersebut secara bersamaan dilakukan dengan terang-terangan oleh suatu umat? Tentunya hal itu lebih mendekatkan kepada bebagai macam adzab. Ironinya, seluruh maksiat yang telah disebutkan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tersebut telah menyebar di tengah kita.
Pertama, perzinaan merajalela. Bukanlah merupakan rahasia bahwa praktek prostitusi di Indonesia maupun negeri-negeri lainnya merebak dengan pesatnya. Dan mereka melakukannya dalam keadaan terang-terangan. Dengan bangganya para pezina menceritakan pengalaman seksnya kepada khalayak melalui majalah-majalah jorok yang jenis ataupun oplahnya lebih banyak dari majalah-majalah umum. Bahkan hal itu sudah dijadikan bumbu penyedap bagi media-media cetak pada umumnya. Media elektronikpun menjadikan eksploitasi wanita sebagai menu utama. Walhasil, sedikit demi sedikit perzinaan tidak lagi dianggap tabu oleh masyarakat kita saking seringnya mereka melihat, membaca dan mendengarnya.
Negeri barat yang menjadi kiblat masyarakat kita, telah meneguk pahitnya racun pergaulan bebas hingga menyebabkan munculnya berbagai macam penyakit kelamin. Menurut catatan Encyclopedia Britannica bahwa rumah pengobatan pemerintah rata-rata 200.000 kasus penyakit sypilis dan 160.000 kasus penyakit gonorrhea terjadi setiap tahunnya. Bahkan menurut buku Readers Digest kasus yang tidak dilaporkan atau tidak tercatat diperkirakan mencapai 1200.000 orang. Sedangkan Perancis, menurut Dr. Leredde diperkirakan 30.000 kematian di Perancis setiap tahun disebabkan oleh penyakit sypilis.
Itulah harga yang harus mereka bayar akibat merebaknya pelacuran. Sebagaimana hadits diatas bahwa ketika zina telah nampak terang-terangan maka akan muncul bermacam-macam penyakit yang belum pernah dialami oleh orang-orang sebelum mereka. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda : “Apabila zina dan riba telah nampak terang-terangan di suatu desa maka sungguh mereka telah menempatkan diri mereka pada adzab Allah Subhanahu wata'ala.”(HR. At-Thabrani dan Al-Hakim dari Ibnu Abbas, shahih).
Tak pelak lagi bahwa di Indonesia yang kita cintai ini, praktek prostitusi semakin merebak, jumlah pelacur kian membengkak, tempat-tempat maksiat semakin marak didukung oleh angin segar reformasi yang justru membuat mereka leluasa untuk bergerak.
Sebagai “konsekuensi tragisnya”, kamus kedokteran terus bertambah dengan daftar penyakit-penyakit baru, korban-korban berjatuhan oleh sypilis, gonorrhea dan aids yang terkenal super ganas dan bayi-bayi tak berdosa dibunuh dengan aborsi oleh ibu yang mengandungnya lantaran malu karena tak jelas siapa bapaknya.
Kedua, munculnya generasi-generasi muthaffifin (orang-orang yang curang dalam menimbang) nampaknya sudah menjadi perkara yang lumrah. Jika mereka membeli menuntut untuk tepat timbangannya, namun apabila menjual dia kurangi takarannya.
Belum lagi praktek jual beli yang tak lagi mengindahkan aturan-aturan syar’i tumbuh merajalela dengan corak dan ragamnya. Praktek semacam ini telah menjadi kebiasaan umum dalam berjual beli. Inilah salah satu penyebab datangnya murka Allah Subhanahu wata'ala.
Ketiga, tidak mau menunaikan zakat. Mayoritas kaum muslimin hari ini nyaris tidak memiliki perhatian sedikitpun terhadap urusan zakat kecuali zakat fitrah saja. Padahal menunaikan zakat adalah salah satu rukun Islam. Bahkan khalifah Abu Bakar Ash Shidiq memerangi suatu kaum yang tidak menunaikan zakat padahal telah sampai nisabnya. Hal ini menunjukkan begitu pentingnya kedudukan zakat di dalam Islam ini.
Jika kita mendapatkan seseorang yang kelaparan atau terlantar, pasti ada diantara orang kaya yang curang, yakni tidak menunaikan zakat yang merupakan hak bagi fakir miskin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wata'ala telah mewajibkan atas orang-orang kaya yang muslim mengeluarkan hartanya sesuai dengan kadar yang dapat mencukupi orang-orang fakir. Maka tiada didapatkan seorangpun yang kelaparan ataupun tak mampu berpakaian, melainkan karena ulah orang kaya.” (HR. Ath Thabrani)
Keempat, melanggar janji Allah Subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya. Sebagai akibatnya kaum muslimin tertindas oleh musuh, baik secara politik, militer ataupun ekonomi. Kaum muslimin ibarat hidangan yang diperebutkan oleh musuh-musuhnya, mereka nyaris tak berkutik laksana buih dalam lautan.
Kelima, para pemimpin tidak menghukumi dengan kitab Allah Subhanahu wata'ala, dan mereka memilih-milih dari apa-apa yang telah Allah Subhanahu wata'ala turunkan. Hari ini kitabullah hanya diberikan haknya untuk mengatur urusan di dalam masjid saja, dan dalam urusan ibadah mahdhah saja, akan tetapi dalam urusan hukum, dan bagaimana cara mengatur bumi Allah Subhanahu wata'ala ini, Kitabullah tak mendapatkan tempat sedikitpun. Apakah mereka menyangka bahwa urusan ibadah mahdhah berasal dari Allah Subhanahu wata'ala sedangkan urusan lain yang terdapat dalam Al Qur’an bukan dari Allah Subhanahu wata'ala?
Atau barangkali juga, seandainya hukum Allah Subhanahu wata'ala diterapkan maka manusia-manusia yang hendak memanipulasi kekayaan merasa tidak akan leluasa untuk mengeruk keuntungan duniawi sehingga dengan getol mereka mencegah terealisasinya hukum Allah Subhanahu wata'ala.
Sebagai buahnya, apa yang disabdakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam diatas persis sebagaimana yang kita alami hari ini, yakni saling berkeras-kerasan sesama mereka. Kita melihat begitu murahnya nyawa manusia, begitu mudahnya pertumpahan darah terjadi hanya karena kepentingan sesaat dan yang lebih tragis adalah berkeras-kerasan antar sesama kaum muslimin. Itulah buah dari tidak menerapkan hukum Allah Subhanahu wata'ala.
HUKUMAN BERBANDING LURUS DENGAN MAKSIAT, KESELAMATAN BERBANDING LURUS DENGAN KETAATAN.
Al-‘Allamah Ibnul-Qoyyim Al-Jauziyyah rahimahullah tatkala menjelaskan firman Allah Subhanahu wata'ala :
“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah suatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. “ (QS. An-Anfaal : 53)
Beliau mengatakan :
“Maka mereka merubah keta’atannya kepada Allah Subhanahu wata'ala dengan maksiat, syukurnya diganti dengan kekufuran, sebab-sebab yang dengannya mendatangkan keridhoan Allah Subhanahu wata'ala diganti dengan sebab-sebab yang mendatangkan kemurkaan-Nya. Maka ketika mereka merubahnya, Allah Subhanahu wata'ala pun mencabut kenikmatan yang telah dikaruniakan-Nya, sebagai balasan yang setimpal, dan Dia tidak mendholimi hamba-Nya. Jika mereka bertaubat dan maksiat yang mereka lakukan diganti dengan keta’atan, maka Allah Subhanahu wata'ala ganti hukuman-Nya dengan ‘aafiyaat (keselamatan)”. (Lihat di dalam kitab Al-Jawaab Al-Kaafiy li man Saala’an Al-Dawaa’ Asy-Syaafiy).
*** KIAT MENGHINDAR DARI BENCANA ***
Jika banjir melanda sebagian penduduk di negeri kita ini, tidak harus ditafsirkan bahwa hanya mereka sajalah yang melakukan kemaksiatan. Bisa jadi ada pihak lain yang melakukannya lalu semua kena getahnya manakala tidak ditegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
“Sesungguhnya, ketika manusia melihat kedhaliman namun tidak mau mencegahnya, maka hampir-hampir Allah Subhanahu wata'ala akan meratakan adzabNya.” (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi)
Dengan direalisasikannya amar ma’ruf nahi munkar kerusakan di tengah masyarakat Islam akan dapat dicegah, yang terlanjur rusak pun dapat diperbaiki. Kembalinya mereka kepada kesuciannya akan mengembalikan ‘aafiyaat (keselamatan) sebagai ganti ‘uquubaat (hukuman) dalam berbagai bentuknya. Insya Allah.
*** HIKMAH DARI MUSIBAH ***
Allah Subhanahu wata'ala telah mengabarkan kepada kita bahwa segala kerusakan di muka bumi ini akibat ulah tangan manusia, akibat kedurhakaan mereka kepada Rabbnya. Dan Allah Subhanahu wata'ala memberitahukan pula kepada kita bahwa hikmah diturunkannya musibah adalah supaya kita sadar dan mau meninggalkan maksiat, bertaubat dan kembali menapaki jalan fitrah yakni untuk taat kepada Allah Azza wa Jalla. Firman-Nya :
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, suapaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar-Ruum : 41)
MARAJI’ :
- Sunan Ibnu Majah
- Al Jawaabul Kaafi Liman Sa’ala ‘Anid Dawa’i Asy-Syaafi, Ibnul Qayyim Al Jauziyah rahimahullah
- Minhaaj Al Qashidin, Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah
- Khathatudz Dzunub ‘Alal Ummah, Hamid bin Muhammad Hamid
- Khuthabul Mimbariyah, Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan hafidzahullah
- Dan lain-lain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar