Bagaimana kalau yang menjilat air tersebut adalah seekor kucing? Jawabannya tidak perlu disucikan, dan kucing itu suci. Berikut adalah penjelasan hadits ke 9 dari kitab Bulughul Marom.
Hadits 9:
عن أبي قتادة – رضي الله عنه- أن رسول الله – صلى الله عليه و سلم – قال في الهرة : ((إنها ليست بنجس, إنما هي من الطوافين عليكم)) أخرجه الأربعة, وصححه الترميذي, و ابن خزيمة
Dari Abu Qotadah –radhiyallahu ‘anhu- bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda tentang kucing, “Sesungguhnya ia bukanlah hewan yang najis, hanyalah ia hewan yang banyak berkeliaran di sisi kalian” .
Dikeluarkan oleh Imam yang empat, dishahihkan oleh At Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah.
Derajat hadits:
Hadits ini shahih
Ash Shon’ani berkata, “Hadits ini dishahihkan oleh Al Bukhori, Al ‘Uqoili, dan Ad Daruquthni”. Al Majd berkata di dalam Al Muntaqo, “Hadits ini diriwayatkan oleh imam yang lima”. At Tirmidzi berkata, “hadits ini hasan shahih”.
Ad Daruquthni berkata, “periwayat-periwayat (rijal) nya terpercaya dan dikenal. Imam Al Hakim berkata, “Hadits ini dishahihkan oleh Malik, dan beliau berhujjah dengannya di dalam al Muwaththo’”. Bersamaan dengan itu, hadits inipun memiliki syahid (penguat) dengan sanad yang shahih yang diriwayatkan oleh Malik. Diriwayatkan juga dari Malik oleh Abu Dawud, An Nasaa-i, At Tirmidzi, Ad Daarimiy, Ibnu Majah, Al Hakim, Al Baihaqiy, dan Ahmad, seluruh mereka meriwayatkan hadits ini dari Malik dari Ishaq bin Abdillah bin Abi Tholhah dari Humaidah binti Abi Ubaidah dari bibinya Kabsyah binti Ka’ab bin Malik. Dan Kabsyah ini dibawah asuhan Abu Qotadah Al Anshoriy. Hadits inipun dishahihkan oleh An Nawawi di dalam Al Majmu’, dan beliau menukil dari Al Baihaqiy bahwa Al Baihaqiy tersebut berkata, “sanad-sanadnya shahih”.
Hadits ini memiliki banyak jalur periwayatan lain. Akan tetapi Ibnu Mandah mencacati hadits ini dengan mengatakan bahwa Humaidah dan Kabsyah adalah perawi yang majhul. Namun dapat dijawab bahwa Anaknya yaitu Yahya meriwayatkan hadits darinya, dan Yahya ini adalah terpercaya bagi Ibnu Ma’in. Adapun Kabsyah, ada pendapat bahwa dia adalah seorang sahabat (wanita), dan ini khusus pada sanad ini, jika tidak, maka telah datang dari jalur lain dari Abu Qotadah.
Dengan demikian terbantahlah pencatatan hadits oleh Ibnu Mandah, sehingga hadits ini menjadi shahih dengan penshahihan oleh imam-imam di atas, wallahu a’lam.
Ad Daruquthni berkata, “periwayat-periwayat (rijal) nya terpercaya dan dikenal. Imam Al Hakim berkata, “Hadits ini dishahihkan oleh Malik, dan beliau berhujjah dengannya di dalam al Muwaththo’”. Bersamaan dengan itu, hadits inipun memiliki syahid (penguat) dengan sanad yang shahih yang diriwayatkan oleh Malik. Diriwayatkan juga dari Malik oleh Abu Dawud, An Nasaa-i, At Tirmidzi, Ad Daarimiy, Ibnu Majah, Al Hakim, Al Baihaqiy, dan Ahmad, seluruh mereka meriwayatkan hadits ini dari Malik dari Ishaq bin Abdillah bin Abi Tholhah dari Humaidah binti Abi Ubaidah dari bibinya Kabsyah binti Ka’ab bin Malik. Dan Kabsyah ini dibawah asuhan Abu Qotadah Al Anshoriy. Hadits inipun dishahihkan oleh An Nawawi di dalam Al Majmu’, dan beliau menukil dari Al Baihaqiy bahwa Al Baihaqiy tersebut berkata, “sanad-sanadnya shahih”.
Hadits ini memiliki banyak jalur periwayatan lain. Akan tetapi Ibnu Mandah mencacati hadits ini dengan mengatakan bahwa Humaidah dan Kabsyah adalah perawi yang majhul. Namun dapat dijawab bahwa Anaknya yaitu Yahya meriwayatkan hadits darinya, dan Yahya ini adalah terpercaya bagi Ibnu Ma’in. Adapun Kabsyah, ada pendapat bahwa dia adalah seorang sahabat (wanita), dan ini khusus pada sanad ini, jika tidak, maka telah datang dari jalur lain dari Abu Qotadah.
Dengan demikian terbantahlah pencatatan hadits oleh Ibnu Mandah, sehingga hadits ini menjadi shahih dengan penshahihan oleh imam-imam di atas, wallahu a’lam.
Kosakata:
Kata الطوافين (Ath Thowwafiin), merupakan jama’ dari الطواف (thowwaaf) yaitu yang banyak mondar-mandir dan berjalan sebagai pelayan.
Ibnu Atsir berkata, “yaitu yang melayanimu dengan lemah lembut dan penuh perhatian, beliau menyerupakannya dengan pelayan yang mondar-mandir menemui majikannya dan berputar-putar di sekitarnya”. Jama’nya berupa jama’ mudzakkar salim padahal kucing tidak termasuk yang berakal, hal ini karena kucing menempati kedudukan orang (yang berakal), dari segi disifati dengan sifat “pelayan”.
Faidah Hadits:
- Kucing bukan hewan yang najis, sehingga tidak ternajisi apa-apa yang disentuhnya dan air yang dijilatnya.
- Alasan (‘illah) tidak najis tersebut adalah karena kucing merupakan hewan yang banyak mondar-mandir dan merupakan hewan pelayan yang melayani majikannya, kucing tersebut bersama manusia di rumah-rumah mereka dan tidak mungkin mereka melepaskan diri darinya.
- Hadits ini dan semisalnya merupakan dalil kaidah yang umum yaitu “kesulitan dapat menarik kemudahan”, maka seluruh yang tersentuh oleh kucing adalah suci, walaupun basah.
- Di-qiyas-kan (diserupakan hukumnya) dengan kucing yaitu seluruh hewan sejenisnya yang haram (dimakan), akan tetapi hewan-hewan tersebut jinak dan penting untuk dipelihara, seperti baghol dan himar (keledai), atau sejenis hewan yang tidak mungkin dihindari keberadaannya seperti tikus.
- Ahli fiqh dari kalangan Hanabilah dan selain mereka menjadikan seluruh hewan yang haram (dimakan) dan burung yang berukuran sama dengan kucing atau yang lebih kecil disamakan hukumnya dari sisi kesucian dan kebolehan untuk menyentuhnya, namun kesucian hewan-hewan ini dan sejenisnya bukan berarti halal dimakan dengan sesembelihan, kesucian yang dimaksud hanyalah kesucian tubuhnya dan apa-apa yang tersentuh olehnya. Akan tetapi yang lebih rajih (pendapat yang lebih kuat) adalah memuqoyyadkan-nya dengan hewan-hewan yang diharamkan, baik hewan itu bertubuh besar ataupun kecil, karena inti dari ‘illah tersebut adalah “hanyalah ia hewan yang suka berkeliaran di sisi kalian”.
- Sabda beliau, “Sesungguhnya ia bukanlah hewan yang najis” merupakan dalil tentang kesucian seluruh anggota badan dari kucing. Inilah pendapat yang lebih benar daripada perkataan yang membatasi kesuciannya pada jilatan dan apa-apa yang tersentuh oleh mulutnya saja, serta menjadikan anggota badan lainnya berhukum najis, pendapat ini menyelisihi apa yang terpahami dari hadist di atas, dan menyelisihi ta’lil (alasan) yang terpahami dari sabda beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “hanyalah ia hewan yang banyak berkeliaran di sisi kalian”, karena “berkeliaran (mondar-mandir)” berarti bisa disentuh seluruh anggota badannya.
- Yang terpahami dari hadits di atas adalah disyariatkannya menjauhi sesuatu yang najis. Jika sangat dibutuhkan atau darurat untuk menyentuhnya, seperti istinja (mencebok) atau menghilangkan kotoran dengan tangan, maka wajib membersihkannya.
Diterjemahkan dari kitab Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom karya Syaikh Abdullah Al Bassam hafizhohullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar