Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
============================
Setelah membaca postingan ini, semoga akan terbuka menjadi sebuah diskusi yang menarik. Tapi saya berharap TIDAK akan menjadi sebuah perdebatan yg menjatuhkan atau merasa pendapatnya paling benar. Kita sharing ilmu disini. Yang kurang dilengkapi, yang sudah bener dipertahankan. Okey..? ^.^----------------------------------------------------------------------------------
Kemaren pas iseng2 surfing ke google.. Nemu salah satu postingan di blog orang yang intinya menyiratkan kekecewaan mendalam dari sang penulis akan sosok2 yg mendapat panggilan ‘akhwat’. Dan agak risih juga ketika panggilan tersebut hanya diidentikkan dengan jama’ah tertentu yg akhirnya membuatnya malas dan bahkan antipati mengikuti kegiatan2 yg diadakan jama’ah yg dimaksud.
Ia juga mengkritik betapa anggota jamaah tersebut terlalu berkutat dalam simbol2 dan sibuk membenahi sisi luar saja, tanpa berbanding lurus dg ruhiyahnya.. Saya rasa tidak ada yg kaget ketika ia menyebut secara eksplisit bahwa yg dimaksud adalah komunitas Tarbiyah…
Hmmm.. postingan tersebut benar2 berkesan di hati saya dan gak munafik dalam beberapa hal saya sepakat dg sang penulis. Tapi, merasa sebagai salah satu “tertuduh”, saya jd pengin memberi tanggapan yg murni hasil pemikiran saya sendiri.. Perlu dicatat, sama sekali bukan representasi dari akhwat (baik yg dipanggil maupun merasa sebagai) lain loh..
Saya sendiri sering bertanya2 sampai batasan apa seseorang kemudian pantas mendapat ‘gelar’ akhwat (terlepas dari makna aslinya).. karena jilbab lebarnya?? Karena dia ikut liqo’ pekanan?? Karena ia aktif dalam kegiatan2 keIslaman?? Entahlah… Menurut saya, tampilan2 fisik memang tak bisa digunakan sebagai ukuran ketakwaan seseorang.
Tak jarang keluar celetukan seperti ini:
“Akhwat koq ketawa cekakakan di jalan??”
“Akhwat koq gak jaga pandangan??”
“Akhwat koq keluar malem??”
“Akhwat koq cair banget interaksi ma lawan jenis??”
“Akhwat-ikhwan koq sering sms-an mesra..??”
bahkan yg lebih ekstrim, “Akhwat koq pacaraaaaan???!!!! –walo gak pernah mau ngakuin klo si dia itu pacar, calon suami lebih tepatnya. hehew...--
Menurut saya..Sebenarnya, itu semua tergantung pada pribadi masing2. Hidup adalah pilihan. Apakah akan mengikuti aturan yg ada atau berjalan melenceng dari yg sudah ditentukan. Kekecewaan terhadap sebagian anggota jama’ah bukan berarti menjadi justifikasi untuk men-cap buruk sebuah jama’ah secara keseluruhan.. Setiap manusia berhak dinilai sebagai diri sendiri tanpa embel2 kelompoknya.. Bukankah di yaummil akhir kelak Allah akan menghisab kita secara individual??
Tentang keharusan seorang ‘akhwat’ untuk begini dan begitu… Menurut saya, setiap kita membutuhkan proses dalam belajar.. belajar memperbaiki diri.. belajar menjadi muslimah sejati... Tapi kelakuan yg masih jahilliah sekalipun tidak menghapus kewajiban seorang muslimah untuk berjilbab bukan?? Sama seperti kewajiban sholat. Dan kita semua tahu bahwa jilbab yang benar ialah yg menutup aurat sepenuhnya dan tidak membentuk lekuk tubuh. Amat aneh bagi saya jika seseorang memutuskan untuk tidak berjilbab secara benar hanya kerena merasa kelakuannya masih nggak beres, sama anehnya dengan orang2 yg berpikir bahwa "tidak sepantasnya seorang akhwat memakai pakaian takwanya secara sempurna jika tidak bisa mencerminkan sosok akhwat sejati".
Tentu saja proses belajar itu tidak selamanya bisa jadi pembenaran. Jika benar2 belajar, tentu akan ada perbaikan akhlaq dan perilaku dari hari ke hari. Tapi, jika dalam sebuah kasus, ada seorang muslimah berjilbab lebar melakukan hal kurang pantas dan memang tidak berupaya memperbaiki diri, apa lantas kita akan menyuruhnya untuk menanggalkan jilbab lebarnya??!! Berhak-kah kita mengatakan, “Kamu nggak pantes pake jilbab ini, ganti aja ma yg lebih mini..” . Hmmm, begitukah??!! Berjilbab secara benar adalah kewajiban SETIAP MUSLIMAH, terlepas apakah dia komit terhadap agamanya ataupun tidak!!
Kemudian soal mengapa harus mengikuti halaqoh beserta wajibat2 yg dibebankan… Kita memang bisa melakukan ibadah2 individu tanpa di-opyak2 murobbi sekalipun… Tapi yakinkah kondisi keimanan akan terus tetap terjaga?? Dengan adanya halaqoh, kita punya keluarga baru, saudara2 yg saling mengingatkan juga pembimbing yg mengarahkan kita menuju perbaikan, Insya Allah.. Mengetahui amal saudara yang jauh lebih baik otomatis akan membuat kita malu dan terpacu untuk berbuat lebih baik lagi..
Mengurangi keikhlasan?? Entahlah, tapi saya tetap percaya kita diharuskan untuk senantiasa berlomba-lomba dalam kebaikan. Layaknya Umar ra yang merasa malu terhadap Abu Bakar ra yg begitu dermawan, sehingga memutuskan untuk menyerahkan separuh harta miliknya untuk perjuangan kaum muslimin. Tapi ternyata Abu Bakar berkorban lebih dari dirinya, seluruh harta miliknya ia serahkan… Salah satu hal yg membuat Umar tak henti mengagumi sahabatnya tercinta. Saya yakin niat kedua sahabat yg mulia ini murni hanya karena Alloh dan Rasul-Nya, tinggal bagaimana kita menjiwai semangat mereka dan merealisasikannya dalam kehidupan nyata…
Murobbi gak beda ma mak comblang??
Bisa iya, bisa tidak… mungkin itu salah satu peran yg diambil murobbi, tapi bukan hanya itu kan?? Lagipula seorang murobbi dengan kepahamannya, tentu akan menjadi mak comblang syar’i. Memang hak untuk menikahkan seorang anak ada pada ayahnya, dan keberadaan murobbi dalam proses ini pun sama sekali tidak menghilangkan hak itu.. Tapi, kalau mau jujur, masih sedikit orang tua yang memiliki pemahaman baik dalam menentukan kriteria menantu idaman.
Di keluarga saya, hanya dg rajin sholat (walo gak di awal waktu), sering membaca alquran, dan bersikap sopan, itu sudah cukup membuat seseorang dianggap sholih. Dan kriteria “mapan” menjadi hal yg amat menentukan.. Lagipula, yakinkah orang tua akan bisa menyelenggarakan proses ta’aruf syar’i, jika mereka bahkan belum paham seperti apa sesungguhnya konsep ta’aruf itu?? Bagi anak yg memang memiliki keluarga yg sudah terbina saya yakin prosesnya akan langsung ditangani oleh abi-umminya..
Satu lagi, panggilan ‘akhwat’ memang identik dengan muslimah yang sudah terbina, tapi bukan berarti hanya milik komunitas tarbiyah saja.. Bukankah Salafi, HT,MR juga jama’ah lain menggunakan istilah2 akhwat, ikhwan, akhi, ukhti.?? Dan saya rasa penggunaan istilah2 semacam itu tidak bisa disebut sebagai penggunaan simbol belaka.. Kitab suci kita saja berbahasa arab, apa salahnya kita coba menggunakannya dalam kehidupan sehari2 semampu kita??
Tapi, saya setuju dengan pendapat penulis bahwa tidak sepantasnya kita membanggakan panggilan ‘akhwat’. Toh, itu hanyalah istilah.. Bukan… bukan ‘gelar’ itu yang hendak kita raih.. bukan nilai tinggi dihadapan sesama manusia yg coba kita cari.. melainkan ridho Allah dan ampunan dari-Nya.. hanya itu.. hanya itu…!! Silahkan di feedback. saya tunggu sharingnya yach...! Sekali lagi, INGAT..BUKAN BERDEBAT !
Barakallahufikum..semoga bermanfaat
Wassalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar