Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
==============================
Dari pengamatan saya terhadap keseharian yang saya temui, saya dapat menyimpulkan satu hal: Matematika Allah tidak sama dengan matematika manusia. Kesimpulan ini bukan tanpa dasar lho. Banyak bukti empiris yang mendukung kesimpulan saya ini.
Saya memang bukan seorang “fresh graduate” lagi, karena saya sudah lulus kuliah 4tahun yg lalu. Saya juga tak mungkin mengharapkan penghasilan tinggi dalam waktu sekejap. semua butuh proses dan selalu ada campur tangan Allah didalamnya. Terlebih karena saya memegang prinsip bahwa hal yang terpenting dalam bekerja adalah kepuasan hati. Saya lebih memilih pekerjaan yang mungkin tak segemerlap pekerjaan yang dipilih teman-teman seangkatan saya, tapi mampu “memuaskan” idealisme saya.
Saya memang sangat mencintai dan menikmati pekerjaan saya saat ini. Tapi saat saya berbincang dengan seorang teman yang bekerja di ibukota, ia mulai membandingkan penghasilan kami (dari sisi finansial tentunya). Jelas saja saya kalah telak darinya.
Saya sempat jengkel sebentar. Bagaimana tidak. Selama menjadi mahasiswa, sepertinya prestasi kami sejajar, bahkan saya lebih dahulu lulus ketimbang dia. Tapi kenapa Tuhan tidak menitipkan rejeki yang sama besarnya dengan yang dititipkan pada teman saya ini?
Tapi, begitu saya merenungkan kembali segala kebaikan Tuhan saya menemukan satu hal yang luar biasa. Ternyata penghasilan saya yang tak seberapa itu cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saya, bahkan untuk mengirim adik ke bangku kuliah. Padahal logikanya pengeluaran saya per bulannya bisa sampai dua kali lipat penghasilan saya. Lalu darimana sisa uang yang saya dapat untuk menutupi kesemuanya itu? Wah, ya dari berbagai sumber ( rahasia dapur yach, yg jelas insaAllah sumbernya HALAL hehe..). Tapi saya percaya tanpa campur tangan-Nya, itu semua tidak mungkin.
Nah, ini salah satu alasan mengapa Tuhan tidak pintar matematika. Lha wong seharusnya neraca saya sudah njomplang kok masih bisa terus hidup. Kalau dipikir logika seharusnya saya sudah ambruk dan terkapar megap-megap tidak bisa bernafas, karena neraca keuangan saya harusnya sudah dibawah limit, tapi saya masih bisa bernafas lega.
Bukti kedua adalah kesaksian seorang teman. Ia mengaku kalau semenjak lajang, penghasilannya tidak jauh berbeda dengan sekarang. Anehnya, pada saat ia masih membujang, penghasilannya selalu pas. Maksudnya, pas akhir bulan pas uangnya habis. Anehnya, begitu ia menikah, berkeluarga dan memiliki anak, dengan penghasilan yang relatif sama, ia masih bisa menyisihkan uang untuk menabung. Aneh bukan?
Mereka yang takut menikah rata-rata memiliki alasan karena ekonomi belum mapan, penghasilan belum seberapa,atau ada yg berpikir 'buat diri sendiri saja masih kurang, gimana mau punya istri..'. saya beritahu saudara2ku..prinsip ini adalah prinsip yg sangat keliru. Hanya orang-orang pengecut yg tidak berani menikah hanya karena belum punya penghasilan yg mapan. Karena Allah sudah menjamin setiap rejeki manusia.
Satu hal lagi saya beritahukan untuk anda saudaraku, bahwa rejeki manusia itu pada dasarnya dibagi dua: yaitu rejeki sebelum menikah ( bujang ), dan rejeki sesudah menikah.
Jika sewaktu bujang rejeki anda selangit, kemudian mentok begitu2 terus ( tidak ada kenaikan atau bahkan stuck ) itu artinya rejeki anda ketika bujang sudah habis diberikan untuk anda. Rejeki anda yg selanjutnya adalah akan didapat dengan menikah atau setelah anda menikah.
Anda boleh percaya dan tidak percaya dengan teori ini, tapi saya pribadi sudah membuktikan.
Kembali kepada pokok bahasan sebelumnya..
Berarti kalau bagi manusia 1 juta dibagi satu sama dengan 1 juta dan 1 juta dibagi dua sama dengan 500 ribu, tidak demikian bagi Tuhan.
Dari kesaksian teman saya, satu juta dibagi 3 sama dengan satu juta dan masih sisa. Betul kan bahwa Tuhan itu tidak pintar matematika?
Ah, saya cuma bercanda kok..jangan dibawa serius..^.^
Buat saya, kalau dilihat dari logika manusia, DIA memang tidak pintar matematika. Mungkin mahasiswa saya yang baru tingkat satu lebih pintar dari Dia. Tapi satu hal yang harus digarisbawahi: MATEMATIKA TUHAN BERBEDA DENGAN MATEMATIKA MANUSIA.
Kalau anda tidak percaya, maka Allah sendiri yg berfirman:
"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir menumbuhkan seratus biji. LAlu Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui". ( Qs.Al Baqarah, 261 )
Saya tidak tahu dan mungkin tidak akan pernah sanggup mengetahui persamaan apa yang digunakan Tuhan. Tapi kalau boleh saya menggambarkan, ya kira-kira demikian:
X = Y , dengan ketentuan:
X = pemberian Tuhan
Y = kebutuhan kita
Ya, Tuhan selalu mencukupkan apapun kebutuhan kita. Tanpa kita minta pun, Dia sudah “menghitung” kebutuhan kita dan menyediakan semua lewat jalan-jalan- Nya yang terkadang begitu ajaib dan tak terduga.
Menyadari hal itu, saya bisa menanggapi cerita teman-teman yang “sukses” dengan penghasilan tinggi di luar kota dengan senyum manis. Soal penghasilan Tuhan yang mengatur. Untuk apa saya memusingkan diri dengan berbagai kekhawatiran sementara Dia telah menghidangkan rejeki di hadapan saya?
Satu hal penting yg selalu saya pegang: Rejeki saya tidak akan pernah tertukar ataupun diambil orang, karena itu hatiku merasa tenang !
Yang perlu saya lakukan hanyalah melakukan bagian saya yang tak seberapa ini sebaik mungkin, dan Dia yang akan mencukupkan segala kebutuhan saya.
Bagaimana dengan prinsip anda saudaraku..??
Barakallahufikum..semoga bermanfaat
Wassalam
----------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar