Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا يَشْرَبَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ قَائِمًا فَمَنْ نَسِيَ فَلْيَسْتَقِئْ
“Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian minum sambil berdiri. Apabila dia lupa maka hendaknya dia muntahkan.” (HR. Muslim no. 2026)
Dari Anas radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
أَنَّهُ نَهَى أَنْ يَشْرَبَ الرَّجُلُ قَائِمًا
“Bahwa beliau melarang seseorang minum sambil berdiri.” (HR. Muslim no. 2024)
Ali radhliallahu ‘anhu pernah datang dan berdiri di depan pintu rahbah, lalu dia minum sambil berdiri. Setelah itu dia berkata:
إِنَّ نَاسًا يَكْرَهُ أَحَدُهُمْ أَنْ يَشْرَبَ وَهُوَ قَائِمٌ وَإِنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَ كَمَا رَأَيْتُمُونِي فَعَلْتُ
“Sesungguhnya orang-orang merasa benci bila salah seorang dari kalian minum sambil berdiri, padahal aku pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya sebagaimana kalian melihatku saat ini.” (HR. Al-Bukhari no. 5615)
Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhuma berkata:
سَقَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ زَمْزَمَ فَشَرِبَ قَائِمًا
“Aku memberi minum kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari air zam-zam, lalu beliau minum sambil berdiri.” (HR. Al-Bukhari no. 1637 dan Muslim no. 2027)
Penjelasan ringkas:
Ada beberapa dalil lain yang ada dalam permasalahan, di antaranya:
عن أبي سعيد الخدري؛ أن النبي صلى الله عليه وسلم زجر عن الشرب قائما.
Dari Abu Sa’iid Al-Khudriy, “Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mencela minum sambil berdiri” [HR. Muslim no. 2025].
عن الجارود بن المعلى : أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن الشرب قائما
Dari Al-Jaarud bin Ma’laa : “Bahwasanya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang minum sambil berdiri” [HR. At-Tirmidzi no. 1881 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 2/331-332].
عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال : رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يصوم في السفر ويفطر ورأيته يشرب قائما وقاعدا ورأيته يصلي حافيا ومنتعلا ورأيته ينصرف عن يمينه وعن يساره
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata : “Aku pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dan berbuka ketika safar, minum sambil berdiri dan duduk, shalat dengan telanjang kaki dan memakai sandal, serta berpaling dari arah kanan dan kirinya (setelah selesai shalat)” [HR. Ahmad 2/206, At-Tirmidziy no. 1883 , dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy 2/332-333].
عن ابن عمر قال : كنا نأكل على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم ونحن نمشي ونشرب ونحن قيام
Dari Ibnu ‘Umar ia berkata : “Kami pernah makan sambil berjalan dan minum sambil berdiri di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [HR. At-Tirmidzi no. 1880, Ibnu Maajah no. 3301, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy 2/331].
عن كبشة قالت : دخل علي رسول الله صلى الله عليه وسلم فشرب من في قربة معلقة قائما فقمت إلى فيها فقطعته
Dari Kabsyah ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumahku, kemudian beliau minum dari mulut bejana (dari kulit) yang tergantung sambil berdiri. Lantas aku berdiri ke bejana tersebut dan memotong talinya” [HR. At-Tirmidzi no. 1892 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albaniy dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy 2/335].
عن عائشة : ان النبي صلى الله عليه وسلم دخل على امرأة من الأنصار وفي البيت قربة معلقة فاختنثها وشرب وهو قائم
Dari ‘Aisyah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk ke rumah seorang wanita Anshar yang di dalamnya ada bejana (kulit) yang tergantung. Beliau membelokkan mulut bejana itu dan meminumnya dalam keadaan berdiri” [HR. Ahmad 6/161; dihasankan oleh Al-Arna’uth dalam Takhriij ‘alal-Musnad 42/165-166].
Selain dari perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, minum sambil berdiri juga dilakukan oleh beberapa shahabat diantaranya ‘Umar bin Al-Khaththaab, ‘Ali bin Abi Thaalib, ‘Abdullah bin Zubair radliyallaahu ‘anhum.
Pembahasan
Dalam menyikapi beberapa hadits di atas yang (kelihatan) saling bertentangan, para ulama terkelompok dalam 3 metode :
1. Tarjih.
Dalam hal ini, para ulama terbagi menjadi dua perkataan.
a. Mengunggulkankan hadits pelarangan daripada pembolehan sebagai langkah hati-hati sebagaimana pengamalan terhadap sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
دَعْ ما يريبُكَ إلى ما لاَ يرِيبُكَ
“Tinggalkan apa-apa yang meragukanmu kepada apa-apa yang tidak meragukanmu” [HR. An-Nasa’iy 8/327 dan At-Tirmidzi no. 2518].
Selain itu, hadits-hadits pelarangan datang melalui ucapan beliau, sedangkan hadits-hadts pembolehan datang melalui perbuatan beliau. Dalam hal ini, perkataan lebih didahulukan daripada perbuatan, karena ada kemungkinan bahwa perbuatan beliau minum sambil berdiri merupakan kekhususan bagi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam saja, bukan untuk yang lainnya.
b. Mengunggulkan hadits pembolehan daripada pelarangan karena dianggap lebih kuat, lebih shahih, dan lebih banyak jumlahnya. Abu Bakr Al-Atsram[2] dalam salah satu perkataannya mengungkapkan pendapat ini. Ini juga salah satu pendapat Ahmad bin Hanbal dan yang masyhur dalam madzhabnya[3], serta jumhur Malikiyyah[4].
Pembolehan minum sambil berdiri secara mutlak merupakan pendapat jumhur tabi’in seperti : Sa’iid bin Jubair[5], Thaawus[6], Zaadzaan Abu ‘Umar Al-Kindiy[7], dan Ibrahim bin Yaziid An-Nakha’iy[8].
2. Nasakh.
Dalam hal ini, para ulama terbagi menjadi dua perkataan :
a. Hadits-hadits larangan telah mansukh oleh hadits-hadits pembolehan, dengan bukti yang dilakukan oleh Khulafaaur-Raasyidiin, sebagian besar shahabat, dan tabi’in yang membolehkannya. Pendapat ini dinyatakan oleh Al-Atsram[9] dan Ibnu Syaahin[10]. Al-Qurthubi[11] juga menguatkan pendapat ini dan menisbatkannya kepada jumhur shahabat dan ulama setelahnya.
b. Hadits-hadits pembolehan telah mansukh oleh hadits-hadits pelarangan, dengan dasar bahwa pembolehan adalah hukum asal, sedangkan pelarangan adalah hukum yang datang kemudian sebagai satu ketetapan syar’iy. Pendapat ini dipegang oleh Ibnu Hazm[12].
3. Al-Jam’u wat-Taufiiq (Kompromi).
Pada metode ini, ada banyak perkataan dan penafsiran dari para ulama. Akan disebutkan beberapa diantaranya yang utama :
Ada yang mengatakan bahwa bolehnya minum sambil berdiri hanya jika ada hajat/keperluan; selain dari itu, maka dibenci. Ini merupakan pendapat Ibnu Taimiyyah[13] dan Ibnul-Qayyim[14] rahimahumallah. Ibnu ‘Utsaimin termasuk yang bersepakat dengan mereka berdua.[15]
Ada yang memahami bahwa pelarangan minum sambil berdiri bukanlah pelarangan yang bermakna tahriim (pengharaman). Pelarangan tersebut bukan pelarangan yang bersifat syar’iy, namun dengan pelarangan atas pertimbangan kedokteran (thibbiy) yang akan menimbulkan bahaya/mudlarat. Disebutkan oleh Ibnul-‘Arabiy dalam ‘Aaridlatul-Ahwadziy 8/73. Ath-Thahawiy juga menyebutkan hal semakna dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 4/274 & 276 dan Syarh Musykilil-Aatsaar 5/347.
Ada yang mengatakan bahwa pembolehan minum sambil berdiri ini khusus ketika minum air zamzam dan kelebihan/sisa air wudlu. Ini merupakan pendapat ‘Ali Al-Qaariy[16] dan sebagian ulama Hanafiyyah lainnya[17].
Ada yang mengatakan bahwa kebolehan minum sambil berdiri ini adalah jika lupa saja sebagaimana dikatakan oleh Abul-Faraj Ats-Tsaqafiy[18].
Ada pula yang berpendapat bahwa perkataan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengenai pelarangan itu hanyalah makruh saja, sedangkan perbuatan beliau (yang minum sambil berdiri) menjelaskan tentang kebolehannya. Hadits-hadits pelarangan dibawa kepada makna disukainya minum sambil duduk, serta dorongan kepada amal-amal yang lebih utama lagi sempurna. Pendapat ini adalah pendapat jumhur ulama, diantaranya adalah : Al-‘Ainiy[19] dari kalangan Hanafiyyah, Al-Maaziriy[20] dari kalangan Maalikiyyah, dan Ibnu Jariir Ath-Thabariy[21]. Jumhur ulama Syafi’iyyah[22] juga menyepakati pendapat ini, diantaranya adalah : Al-Khaththaabiy[23], Al-Baghawiy[24], An-Nawawiy[25], dan Ibnu Hajar Al-‘Asqalaniy[26].
Mana yang terpilih dan terkuat dari pendapat-pendapat tersebut ?
Tidak ragu lagi bahwasannya pendapat yang terpilih dan paling kuat adalah pendapat jumhur ulama yang menempuh metode al-jam’u wat-tawfiiq (kompromi) dengan menggunakan semua dalil (tanpa meninggalkan salah satu di antaranya), dimana mereka mengatakan : Pelarangan minum sambil berdiri hanya bermakna makruh tanziih saja. An-Nawawi telah memberikan penjelasan yang sangat baik :
لَيْسَ فِي هَذِهِ الأَحَادِيث بِحَمْدِ اللَّه تَعَالَى إِشْكَال , وَلا فِيهَا ضَعْف , بَلْ كُلّهَا صَحِيحَة , وَالصَّوَاب فِيهَا أَنَّ النَّهْي فِيهَا مَحْمُول عَلَى كَرَاهَة التَّنْزِيه . وَأَمَّا شُرْبه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمًا فَبَيَان لِلْجَوَازِ , فَلا إِشْكَال وَلا تَعَارُض , وَهَذَا الَّذِي ذَكَرْنَاهُ يَتَعَيَّن الْمَصِير إِلَيْهِ .
فَإِنْ قِيلَ : كَيْف يَكُون الشُّرْب قَائِمًا مَكْرُوهًا وَقَدْ فَعَلَهُ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟
فَالْجَوَاب : أَنَّ فِعْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ بَيَانًا لِلْجَوَازِ لا يَكُون مَكْرُوهًا , بَلْ الْبَيَان وَاجِب عَلَيْهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , فَكَيْف يَكُون مَكْرُوهًا وَقَدْ ثَبَتَ عَنْهُ أَنَّهُ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ مَرَّة مَرَّة وَطَافَ عَلَى بَعِير مَعَ أَنَّ الإِجْمَاع عَلَى أَنَّ الْوُضُوء ثَلاثًا وَالطَّوَاف مَاشِيًا أَكْمَل , وَنَظَائِر هَذَا غَيْر مُنْحَصِرَة , فَكَانَ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُنَبِّه عَلَى جَوَاز الشَّيْء مَرَّة أَوْ مَرَّات , وَيُوَاظِب عَلَى الأَفْضَل مِنْهُ, وَهَكَذَا كَانَ أَكْثَر وُضُوئِهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاث ثَلاثًا , وَأَكْثَر طَوَافه مَاشِيًا , وَأَكْثَر شُرْبه جَالِسًا ، وَهَذَا وَاضِح لا يَتَشَكَّك فِيهِ مَنْ لَهُ أَدْنَى نِسْبَة إِلَى عِلْم . وَاللَّهُ أَعْلَم”
“Tidak ada kontradiksi dalam hadits-hadits ini, segala puji bagi Allah ta’ala. Tidak ada pula kelemahan padanya, bahkan semua hadits-hadits tersebut adalah shahih. Dan yang benar di dalamnya adalah : Larangan dalam hadits tersebut dibawa kepada hukum makruh tanziih. Adapun minumnya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berdiri merupakan penjelasan bolehnya perbuatan tersebut dilakukan. Tidak ada kesulitan dalam memahaminya dan tidak pula ada pertentangan. Inilah yang perlu dikatakan dalam persoalan ini.
Apabila dikatakan : “Bagaimana minum sambil berdiri bisa dikatakan makruh dengan kenyataan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukannya?”.
Jawabannya adalah : Perbuatan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang kebolehannya, bukan kemakruhannya. Bahkan menjelaskan tentang segala hal tersebut adalah wajib bagi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lantas bagaimana bisa dikatakan makruh ? Telah shahih dari beliau bahwa beliau pernah wudlu sekali-sekali (dalam basuhan anggota badan) dan thawaf di atas onta yang bersamaan itu para ulama telah bersepakat bahwa wudlu tiga kali-tiga kali (dalam basuhan) dan thawaf dengan berjalan kaki lebih sempurna (lebih baik). Ada banyak contoh serupa dalam hal ini. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan kebolehan membasuh sekali atau berkali-kali, namun di sisi lain beliau tetap mengerjakan yang utama. Dan memang seperti itulah kebiasaan (= yang sering dilakukan) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika wudlu dengan membasuh sebanyak tiga kali-tiga kali, berjalan kaki ketika thawaf, dan duduk ketika minum. Perkara ini sangat jelas tanpa ada permasalahan meskipun bagi orang yang rendah nisbatnya kepada ilmu. Wallaahu a’lam [Syarh Shahih Muslim, 13/195].
Tidak bisa dikatakan bahwa pembolehan minum sambil berdiri itu hanya dikhususkan bagi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ini terjawab oleh perkataan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma :
كنا نأكل على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم ونحن نمشي ونشرب ونحن قيام
“Kami pernah makan sambil berjalan dan minum sambil berdiri di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [telah berlalu takhrij-nya].
Walaupun teks redaksinya adalah mauquf, namun ia dihukumi marfu’ (sampai kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam). Para shahabat melakukannya ketika beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam masih hidup. Dan itu senantiasa mereka lakukan setelah beliau wafat.
Hadits ini juga menjawab sebagian besar pendapat-pendapat yang keliru di atas.
Adapun anggapan bahwa kebolehan minum sambil berdiri ini jika hanya ada hajat, maka itu terjawab oleh hadits ‘Aliy bin Abi Thaalib dimana ia mengingkari ketidaksukaan sebagian orang minum sambil berdiri. Banyak nukilan shahabat dan tabi’in dimana mereka minum sambil berdiri tanpa ada hajat. Oleh karena itu, kebolehan ini adalah bersifat umum (dalam segala keadaan).
Metode tarjih dan klaim adanya nasakh juga harus ditinggalkan selama metode kompromi bisa dilakukan.
________________________________________
[2] Lihat Naasikhul-Hadiits wa Mansuukhihi, hal 228-230.
[3] Lihat Al-Aadaabusy-Syar’iyyah 3/174 dan Al-Furuu’ 5/302 – keduanya – oleh Ibnu Muflih, Al-Inshaaf oleh Al-Mardawiy 8/330, Kasysyaaful-Qinaa’ min Matnil-Iqnaa’ 5/177 dan Syarhul-Muntahaa 3/38 – keduanya – oleh Manshuur Al-Bahutiy, serta Ghidzaa’ul-Albaab oleh Muhammad As-Safaariiniy 2/141.
[4] Lihat Al-Muntaqaa Syarh Al-Muwaththa’ oleh Al-Baajiy 7/237, ‘Aaridlatul-Ahwadziy 8/72-73, Syarh Al-Bukhariy oleh Ibnu Baththaal 6/72, Al-Mufhim oleh Al-Qurthubiy 5/285-286, Haasyiyyah Al-‘Adawiy 2/609, Fawaakihud-Dawaaniy oleh Ahmad bin Ghaniim An-Nafraawiy 2/319.
[5] Sebagaimana dalam Mushannaf Ibni Abi Syaibah no. 24474 & 24478.
[6] Idem, no. 24474.
[7] Idem, no. 24471.
[8] Idem, no. 24469 & 24484 dan Syarh Ma’aanil-Aatsaar oleh Ath-Thahawiy 4/274 & 276.
[9] Lihat Naasikhul-Hadiits wa Mansuukhihi, hal 230.
[10] Idem, hal. 433-434.
[11] Lihat Al-Mufhim 5/285.
[12] Lihat Al-Muhallaa 7/519-520, Hajjatul-Wadaa’ hal. 320, dan Ihkaamul-Ahkaam 2/167.
[13] Al-Fataawaa 32/209-210 & 211.
[14] Zaadul-Ma’aad 1/149, 2/278, 4/228 dan Tahdziibus-Sunan 5/281-282.
[15] Syarh Riyaaldush-Shaalihiin – باب كراهة الشرب من فم القربة ونحوها وبيان أنه كراهة تنزيه لا تحريم – http://www.islamspirit.com/.
[16] Mirqaatul-Mafaatih 8/165-166.
[17] Lihat Al-Fataawaa Al-Hindiyyah 1/8 & 5/341, Haasyiyyah Ibni ‘Aabidiin 1/129-130, Tabyiinul-Haqaaiq 1/7, Al-Bahrur-Raaiq 1/30, Ad-Durrul-Mukhtaar 1/129, Bada’iush-Shanaai’ 1/23, Haasyiyyah Ath-Thahthaawiy ‘alaa Maraaqil-Falaah 1/51, Syarh Fathil-Qadiir 1/36, Nuurul-Iidlaah 1/19, dan Majma’ul-Anhar 1/30.
[18] Sebagaimana dalam Fathul-Baariy 10/84. Dinukil pula oleh Al-‘Ainiy dalam ‘Umdatul-Qaariy 21/193 dari Ibnut-Tiin dan semisalnya.
[19] ‘Umdatul-Qaariy 21/193.
[20] Al-Mu’lim 3/68.
[21] Sebagaimana dalam Syarh Shahiih Al-Bukhariy oleh Ibnu Baththaal 6/72.
[22] Lihat Al-Bahjatul-Wardiyyah dan penjelasanya : Al-Ghararul-Bahiyyah oleh Zakariyya Al-Anshariy 4/214, Tuhfatul-Muhtaj oleh Ibnu Hajar Al-Haitamiy 7/438, Raudlatuth-Thaalib dan penjelasannya : Asnal-Mathaalib oleh As-Suyuthiy 3/228, Mughnil-Muhtaj oleh Al-Khathiib Muhammad Asy-Syarbiniy 4/412, dan Haasyiyyah Al-Jamal oleh Sulaiman bin Manshuur Al-Jamal 1/36 & 4/278.
[23] Ma’aalimus-Sunan 5/281-282.
[24] Syarhus-Sunnah 11/381.
[25] Syarh Shahih Muslim 13/195.
[26] Fathul-Baariy 10/84.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar