Seputar Tasyabbuh (Penyerupaan) Terhadap Non Muslim
Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiallahu anhuma dia berkata: Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
“Bukan termasuk golongan kami orang yang menyerupai kaum selain kami.” (HR. At-Tirmizi no. 2695)
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya”. (HR. Abu Daud no. 4031 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah: 1/676)
Penjelasan ringkas:
Seorang muslim memiliki kepribadian sendiri yang membedakannya dan menjadikannya istimewa dari yang non muslim. Karenanya Allah Ta’ala menghendaki agar dia nampak berbeda dari selainnya dari kalangan kafir dan musyrik, demikian pula Nabi shallallahu alaihi wasallam telah memperingatkan jangan sampai seorang muslim menyerupai orang kafir. Beliau sangat mengharamkan tasyabbuh kepada orang kafir dari sisi penampilan luar karena bisa mengantarkan kepada tasyabbuh dari sisi iman dan keyakinan, karenanya beliau telah melarang kaum muslimin untuk tasyabbuh dengan mereka dalam banyak hadits.
Hukum tasyabbuh kepada orang kafir secara lengkap telah kami paparkan dalam buku kami ‘Studi Kritis Perayaan Maulid Nabi shallallahu alaihi wasallam’ pada bab keenam, hal. 91-102 (cet. kedua). Berikut kami nukilkan ringkasannya di sini:
I. Definisi dan Bentuk-Bentuk Tasyabbuh.
Adapun secara syari’at, tasyabbuh adalah penyerupaan terhadap orang-orang kafir dengan seluruh jenisnya dalam hal aqidah atau ibadah atau adat atau cara hidup yang merupakan kekhususan mereka (orang-orang kafir). Termasuk juga di dalamnya tasyabbuh kepada orang-orang Islam yang fasik lagi bodoh serta orang-orang badui yang keberagamaan mereka belum sempurna.
Karenanya, semua perkara yang bukan merupakan kekhususan orang-orang kafir, bukan pula termasuk aqidah mereka, bukan pula dari adat mereka, dan bukan pula dari ibadah mereka, yang mana perkara ini tidak bertentangan dengan nash atau pokok dalam syari’at serta tidak menimbulkan mafsadah, maka perkara tersebut tidaklah teranggap sebagai tasyabbuh.
Adapun bentuk-bentuknya, maka Syaikhul Islam Ibnu Taimiah telah menyebutkan tiga perkara yang semuanya telah dilarang dalam syari’at karena teranggap sebagai tasyabbuh atau wasilah menuju tasyabbuh. Beliau berkata dalam Iqtidha` Ash-Shirathal Mustaqim hal. 83, “(Pelaku) tasyabbuh mencakup:
1. Barangsiapa yang mengerjakan sesuatu karena mereka (orang non-muslim) mengerjakannya, dan ini jarang ditemukan.
2. Barangsiapa yang mengikuti orang lain (non-muslim) dalam sebuah perbuatan untuk sebuah maksud tersendiri, walaupun asal perbuatan tersebut terambil dari mereka.
3. Adapun orang yang mengerjakan suatu perbuatan dan kebetulan orang lain (non-muslim) juga mengerjakannya, dia (muslim) tidak meniru (perbuatan tersebut) dari mereka dan demikian pula sebaliknya. Maka perbuatan ini masih butuh ditinjau jika mau dihukumi sebagai tasyabbuh. Hanya saja, (syari’at) telah melarang perbuatan ini agar tidak mengantarkan menuju perbuatan tasyabbuh dan (dengan meninggalkan perbuatan) ini berarti menyelisihi mereka.
Kami katakan:
Maksud poin pertama di atas adalah: Perbuatan tersebut kaum muslimin lakukan semata-mata karena mencontoh orang-orang kafir, baik dari sisi perbuatan maupun alasan dalam melakukannya. Ini di zaman beliau jarang ditemukan, adapun di zaman sekarang maka tasyabbuh jenis ini sudah banyak dan tersebar. Sebut saja di antaranya: hari Valentine, April Mop, pertunangan, dan lain sebagainya
Sementara poin kedua maksudnya: Perbuatan tersebut memang diimpor oleh kaum muslimin dari orang-orang kafir, tapi niat dan alasan mereka (kaum muslimin) melakukannya berbeda dari niat mereka (orang-orang kafir). Contohnya seperti perayaan Maulid, Isra` Mi’raj, dan selainnya.
Adapun untuk poin ketiga, maka Syaikhul Islam memberi contoh dengan masalah mengecat uban. Munculnya uban seseorang -baik dia muslim maupun kafir- bukanlah keinginan dan perbuatan mereka, tapi semata-mata penciptaan dari Allah Ta’ala. Hanya saja, berhubung orang-orang Yahudi membiarkan uban-uban mereka maka Allah melalui lisan Rasul-Nya mensyari’atkan agar kaum muslimin mengecat uban-uban mereka agar tidak serupa dengan orang Yahudi sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah riwayat At-Tirmidzi (1752) dan An-Nasa`i (5069-5074). Akan tetapi syari’at telah melarang untuk mengecatnya dengan warna hitam sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Abbas riwayat An-Nasa`i (5075)
II. Hukum Tasyabbuh.
Sulit bagi kita untuk meneliti hukum-hukum tasyabbuh secara terperinci, karena setiap bentuk tasyabbuh memiliki hukum tersendiri yang disesuaikan dengan tingkat penyelisihannya terhadap syari’at. Akan tetapi secara global, kita bisa menetapkan suatu hukum umum yang bisa dipakai untuk menghukumi seluruh bentuk tasyabbuh.
Berikut uraiannya:
a. Di antara bentuk tasyabbuh ada yang merupakan kesyirikan dan kekafiran yang mengeluarkan pelakunya dari agama.
Misalnya: Perbuatan menta’thil (menolak) seluruh nama dan sifat Allah, mengingkari ilmu Allah terhadap taqdir, meyakini Allah Ta’ala menitis ke dalam makhluknya atau Dia berada dimana-mana, dan mengkultuskan sebagian makhluk serta mengangkat mereka sampai ke jenjang ibadah. Semua keyakinan ini diimpor oleh orang-orang zindiq ke dalam Islam dari Yahudi, Nashrani, dan Majusi.
b. Di antaranya ada yang merupakan maksiat dan kefasikan yang dihukumi sebagai dosa besar.
Misalnya menyerupai mereka dalam masalah ibadah dan adat. Dalam masalah ibadah, contohnya: merayakan Isra Mi’raj yang menyerupai Nashrani dalam kenaikan Isa Al-Masih, merayakan maulid Nabi yang menyerupai mereka dalam natal, tahun baru hijriah yang menyerupai perayaan tahun baru masehi, dan selainnya. Hal itu karena id (hari raya) adalah termasuk ibadah yang kaum muslimin beribadah kepada Allah dengannya, sehingga wajib hanya terbatas pada dalil yang ada (tauqifiyah). Adapun dalam masalah adat, contohnya seperti: makan dan minum dengan tangan kiri, memakai perhiasan emas dan memakai pakaian dari sutera bagi laki-laki, makan dan minum dari bejana yang terbuat dari emas, mencukur jenggot, dan selainnya.
c. Di antaranya ada yang makruh.
Yaitu semua perkara yang dalil-dalil, zhahirnya saling bertentangan antara yang membolehkan dan yang melarang. Tetapi, untuk mencegah jatuhnya kaum muslimin ke dalam tasyabbuh yang diharamkan maka bentuk ketiga ini pun telah dilarang oleh syari’at.
III. Hikmah Diharamkannya Tasyabbuh Kepada Orang Kafir.
Berikut uraian sebagian hikmah pelarangannya yang disebutkan oleh para ulama:
1. Tasyabbuh kepada orang kafir akan melahirkan kesesuaian dan keselarasan dengan mereka dalam masalah-masalah yang zhahir, seperti cara dan model berpakaian, cara bersisir, cara berjalan dan berbicara, dan demikian seterusnya, yang pada gilirannya mengantarkan kepada kesamaan dalam akhlak, amalan, dan keyakinan, wal’iyadzu billah. Hal ini bisa disaksikan dengan panca indera, bagaimana seseorang yang memakai pakaian tentara misalnya, maka tentu dia akan mendapati dalam dirinya perasaan berani dan dia akan bertingkah laku sebagaimana halnya tentara, demikian seterusnya. Lihat Al-Iqtidha` hal 11.
2. Tasyabbuh kebanyakannya akan mengarahkan kepada perbuatan mengagumi dan mengidolakan pribadi-pribadi orang-orang kafir, yang pada gilirannya akan membuat dirinya kagum kepada adat, hari raya, ibadah, dan aqidah mereka yang dari awal sampai akhirnya di bangun di atas kebatilan dan kerusakan. Dan hal ini tentunya akan menyebabkan pudar atau bahkan hilangnya agama Islam dari dalam hatinya, tidak kagum terhadap Islam, bahkan acuh tak acuh serta malu mengakui dirinya sebagai muslim. Karenanya tidaklah kita dapati ada muslim yang menokohkan orang kafir kecuali padanya ada sikap kurang mengagungkan Islam, jahil dalam masalah agama, dan lalai -kalau kita tidak katakan meninggalkan- dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.
3. Tasyabbuh akan menumbuhkan benih kasih sayang dan loyalitas kepada orang-orang kafir, dan ini hukumnya -paling minimal- adalah haram dan merupakan dosa besar. Allah Ta’ala menyatakan:لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.”(QS. Al-Mujadilah: 22)
Dan tentunya sikap ini juga akan melahirkan lawannya, berupa memusuhi orang-orang yang mengamalkan sunnah Nabi r, berusaha menghalangi dakwah mereka, bahkan dada-dada mereka (pelaku tasyabbuh) merasa sesak ketika mereka dilarang untuk berbuat bid’ah yang berbau tasyabbuh dalam agama, seperti perayaan maulid Nabi. Lihat Al-Iqtidha` hal. 221.
IV. Dalil-Dalil Diharamkannya Tasyabbuh.
A. Dalil Umum.
1. Dan dalam surah Al-Hadid ayat 16, Allah berfirman:
وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Dan janganlah mereka (kaum mukminin) seperti orang-orang telah diturunkan Al Kitab sebelumnya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.”Al-Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata menafsirkan ayat di atas, “Karenanya, Allah telah melarang kaum mukminin untuk tasyabbuh kepada mereka dalam perkara apapun, baik yang sifatnya ushul (prinsipil) maupun yang hanya merupakan furu’ (perkara cabang)”. Tafsir Ibni Katsir (4/323-324)
2. Nabi r bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya”. (HR. Abu Daud no. 4031 dari Ibnu Umar -radhiallahu anhuma- dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (1/676) dan Al-Irwa` no. 2384)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah -rahimahullah- berkata, “Hukum minimal yang terkandung dalam hadits ini adalah haramnya tasyabbuh kepada mereka (orang-orang kafir), walaupun zhahir hadits menunjukkan kafirnya orang yang tasyabbuh kepada mereka”. Lihat Al-Iqtidha` hal. 83
Dan pada hal. 84, beliau berkata, “Dengan hadits inilah, kebanyakan ulama berdalil akan dibencinya semua perkara yang merupakan ciri khas orang-orang non muslim”.
3. Bahkan dalam hadits Anas bin Malik beliau berkata, “Sesungguhnya orang-orang Yahudi, jika istri mereka haid, mereka tidak mau makan bersamanya dan mereka tidak berhubungan dengannya di dalam rumah. Maka para sahabat menanyakan masalah ini kepada Nabi r sehingga turunlah ayat, ["Mereka bertanya kepadamu tentang darah haid, maka katakanlah dia adalah kotoran (najis), maka jauhilah perempuan saat haid"] (QS. Al-Baqarah: 222) sampai akhir ayat. Maka Rasulullah r bersabda, “Lakukan semuanya dengan istrimu kecuali nikah (jima’)”.
Berita turunnya ayat ini sampai ke telinga orang-orang Yahudi, lalu mereka berkata, “Laki-laki ini (Muhammad) tidak mau meninggalkan satu pun dari urusan kita kecuali dia menyelisihi kita dalam perkara tersebut“. (HR. Muslim : 1/169)
Syaikhul Islam berkata dalam Al-Iqtidha` hal. 62, “Hadits ini menunjukkan banyaknya perkara yang Allah syari’atkan kepada Nabi-Nya dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi. Bahkan hadits ini menunjukkan bahwa beliau r telah menyelisihi mereka pada seluruh perkara mereka, sampai-sampai mereka berkata, “Laki-laki ini (Muhammad) tidak mau meninggalkan satu pun dari urusan kita kecuali dia menyelisihi kita dalam perkara tersebut.”
B. Dalil Khusus.
Di sini kami akan menyebutkan beberapa perkara yang diharamkan karena merupakan tasyabbuh kepada orang-orang kafir atau kepada kaum musyrikin.
1. Larangan menjadikan kuburan sebagai masjid karena menyerupai ahli kitab. Dalam hadits Jundab bin Abdullah Al-Bajali , Rasulullah r bersabda lima hari sebelum beliau wafat:
أَلآ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ. أَلآ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ, إِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ“Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menjadikan kubur-kubur para nabi dan orang-orang Saleh mereka sebagai masjid. Ketahuilah, janganlah kalian menjadikan kubur-kubur sebagai masjid, karena sesungguhnya saya melarang kalian dari hal tersebut”. (HR. Muslim no. 532)
2. Syari’at makan sahur untuk menyelisihi ahli kitab.
Rasulullah r bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ
“Pemisah (baca: pembeda) antara puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah dalam hal makan sahur”. (HR. Muslim no. 1096 dari sahabat Amr bin Al-Ash)
3. Disyari’atkan mencukur kumis dan memelihara jenggot untuk menyelisihi kaum musyrikin.
Nabi r memerintahkan dalam hadits Ibnu Umar -radhiallahu anhuma-:
خَالِفُوا الْمُشْرِكِيْنَ: أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللُّحَى
“Selisihilah orang-orang musyrikin: Cukurlah kumis dan peliharalah jenggot”. (HR. Al-Bukhari no. 5553 dan Muslim no. 259)
Lihat contoh-contoh lainnya dalam kitab Iqtidha` Ash-Shirathal Mustaqim hal. 56-70, Jilbab Al-Mar`atil Muslimah hal. 167-212, dan kitab Man Tasyabbaha bi Qaumin fa Huwa Minhum hal.36-56.
Berdasarkan seluruh dalil di atas dan selainnya, maka para ulama bersepakat akan haramnya tasyabbuh kepada orang-orang kafir dan musyrikin. Setelah memaparkan banyak ayat, hadits, dan perkataan para ulama yang memerintahkan untuk menyelisihi orang-orang kafir dan melarang untuk tasyabbuh kepada mereka, Syaikhul Islam Ibnu Taimiah -rahimahullah- berkata, “Berlandaskan dari semua yang telah kami sebutkan, diketahuilah ijma’ umat ini akan dibencinya tasyabbuh kepada ahli kitab dan orang-orang ajam (non Arab) secara umum”. (Disadur melalui kitab Jilbab Al-Mar`atil Muslimah hal. 205, karya Syaikh Al-Albani -rahimahullah-.)
Maka semua dalil di atas menunjukkan bahwa perkara tasyabbuh kepada orang-orang kafir dan musyrik bukanlah perkara yang ringan dan sepele. Bahkan menyelisihi mereka merupakan salah satu tiang dan pondasi tegaknya keislaman seseorang. Dan tidaklah seseorang muslim tasyabbuh kepada orang kafir kecuali akan hilang keislamannya disesuaikan dengan besar kecilnya tasyabbuh dia kepada orang kafir tersebut. Maka apakah ada orang yang mau mengambil pelajaran darinya?!.
Wallahu Yahdis Sabil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar