Rabu, 14 Juli 2010

TAATILAH SUAMI MU


Pernikahan adalah salah satu nikmat Allah yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan dengan kadar yang sama dan berimbang, ia adalah wujud kecintaan, kasih sayang, mementingkan pasangan, saling memberi dan menerima, hal itu terbaca jelas dalam firman Allah Subhanahu waTa’ala artinya, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. ar-Rum: 21). 



Demi menjaga kelanggengan kasih sayang dan hubungan baik antara suami istri maka Allah meletakkan hak bagi masing-masing atas pasangannya. Firman Allah Subhanahu waTa’ala, artinya, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.” (QS. al-Baqarah: 228). 



Istri mempunyai hak-hak atas suami yang tidak sedikit yang wajib diberikan oleh suami kepadanya, jika suami tidak menunaikannya, maka hal itu dianggap sebagai dosa dan kemaksiatan yang tidak ringan di sisi Allah. Sebaliknya suami memiliki hak-hak atas istri sebanding dengan hak istri atas suami, di antara hak-hak suami adalah hendaknya seorang wanita muslimah menjadi istri yang patuh dan taat kepada suaminya dengan menunaikan hak-haknya sebaik-baiknya. 



Besarnya hak suami atas istri 



Hak suami atas istri adalah besar, kedudukannya di hadapannya adalah agung, hal itu tergambar dengan jelas melalui: 

A.Perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada istri agar bersujud kepada suami seandainya makhluk boleh bersujud kepada makhluk. 

Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Seandainya aku memerintahkan seseorang bersujud kepada orang lain niscaya aku memerintahkan istri agar bersujud kepada suaminya.” (HR. at-Tirmidzi) 



B. Murka yang di langit kepada istri yang menolak permintaan suami untuk bermesraan, murka ini redah jika suami ridha kepada istri. 
Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Demi dzat yang jiwaku berada ditanganNya, tidak ada seorang suami mengajak istri ke ranjangnya lalu istrinya menolaknya kecuali yang di langit memurkainya sehingga suami ridha kepadanya .” 



C. Penunaian ibadah-ibadah sunnah oleh istri bergantung kepada izin suami, jika ibadah-ibadah tersebut menghalangi hak suami. 
Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak halal bagi wanita berpuasa sementara suaminya hadir kecuali dengan izinnya. Dan hendaknya dia tidak mengizinkan di rumahnya kecuali dengan izinnya.” 

Khusus dalam hal ini terdapat teladan dari Aisyah radiyallahu ‘anha istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Aisyah berkata, “Aku pernah berhutang puasa Ramadhan, aku baru bisa melunasinya di bulan Sya’ban hal itu karena kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Jamaah). 



D. Menghadirkan seseorang di rumah suami bergantung kepada restu suami. 
Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu di atas, “Dan hendaknya dia tidak mengizinkan di rumahnya kecuali dengan izinnya.” 



E. Izin khulu’ –menuntut berpisah dari istri dengan membayar iwadh (ganti rugi)- dalam kondisi istri takut tidak mampu menunaikan hak-hak suami seperti yang dilakukan oleh istri Tsabit bin Qais. 
Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbasz berkata, istri Tsabit bin Qais datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dia berkata, “Ya Rasulullah, aku tidak membenci agama dan akhlak Tsabit, hanya saja aku takut kufur dalam Islam.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Apakah kamu mau mengembalikan kebunnya kepadanya?” Dia menjawab, “Ya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meminta Tsabit berpisah darinya. 

Apa yang dilakukan istri Tsabit ini merupakan tindak lanjut dari firman Allah Subhanahu waTa’ala, artinya, “Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (QS. al-Baqarah: 229).



F. Ihdad (berkabung) hanya boleh tiga hari tetapi untuk suami –maksudnya jika suami yang meninggal- maka masa ihdad lebih panjang yaitu empat bulan sepuluh hari. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir berihdad atas mayit lebih dari tiga malam kecuali atas suami yaitu empat bulan sepuluh hari.” (Muttafaq alaihi). 



G. Tatanan iddah (masa tunggu) bagi istri yang berpisah dari suami, di mana dalam masa ini istri belum boleh menerima lamaran dari orang lain karena hak suami dan suami tetap dinamakan suami yang memegang hak rujuk jika berpisahnya masih memungkinkan untuk rujuk. firman Allah Subhanahu waTa’ala, artinya, “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan Hari Akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.” (QS. al-Baqarah: 228).





Keutamaan taat kepada suami 



Suami muslim sebagai penanggungjawab rumah tangga mendambakan kehidupan rumah tangga yang tenteram, diliputi dengan cinta dan kasih sayang demi mewujudkan kebahagiaan bagi seluruh anggota rumah tangga dan salah satu faktor penting dalam mewujudkan hal tersebut adalah kepatuhan dan ketaatan seorang istri muslimah kepada suaminya setelah ketaatannya kepada Allah Subhanahu waTa’ala dan RasulNya. 



Bisa dibayangkan bagaimana keadaan rumah tangga seandainya istri tidak taat dan patuh kepada suami, kebahagiaan yang diimpikan akan lenyap, kegembiraan yang didambakan akan terkubur dan kasih sayang yang diharapkan tumbuh subur akan layu untuk selanjutnya mati tergantikan oleh percekcokan, perselisihan dan pertengkaran. Hal ini dipicu oleh –salah satunya- keengganan dan penolakan istri untuk taat kepada suaminya. 



Keutuhan rumah tangga sangat diperhatikan oleh Islam, karena bagaimanapun rumah tangga yang utuh jauh lebih baik dari pada rumah tangga yang bubar di tengah jalan, dari sini kita memahami ketika talak diizinkan, ia diizinkan dalam kondisi dharurat dan itu pun demi kebaikan dan kemaslahatan suami dan istri. Demi menjaga keutuhan rumah tangga ini, Islam meletakkan batasan-batasan hak dan kewajiban bagi dan atas suami istri, misalnya dari sisi istri, dia memiliki kewajiban taat dan patuh kepada suaminya. 



Jangan salah paham ketika istri diharuskan taat kepada suami setelah ketaatannya kepada Allah Subhanahu waTa’ala dan RasulNya, ini tidak serta merta berarti derajat istri lebih rendah atau ini merupakan perendahan kepada wanita, tidak demikian karena pada prinsipnya hak dan kewajiban dalam rumah tangga adalah setara dan sebanding sebagaimana telah penulis singgung dalam makalah sebelumnya, akan tetapi ini hanyalah pengaturan dan penempatan masing-masing dari suami dan istri pada pos yang memang sesuai dan sejalan dengan tabiat dan fitrah masing-masing, tidak mungkin dalam satu kapal ada dua nahkoda dan tentu yang paling pantas menjadi nahkoda adalah orang yang memiliki kriteria dalam kadar lebih untuk itu, dan ini ada pada diri suami. 



Di samping itu ketaatan dan kepatuhan istri tidak berbuah cuma-cuma, ada imbalan besar lagi utama yang disediakan atasnya sebagai pendorong, akan tetapi buah dan imbalan besar ini hanya bisa dipetik oleh istri-istri yang beriman dengan baik kepada Allah Subhanahu waTa’ala yang dengannya dia lebih mementingkan apa yang ada di sisiNya daripada selainnya. 



Ketaatan kepada suami adalah salah satu kunci masuk surga. 



Setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan tidak terkecuali istri tentu berharap bisa meraih surga, kebahagiaan abadi yang tidak akan pernah terputus untuk selama-lamanya, oleh karena itu dia akan berusaha menelusuri setiap jalan yang bisa menyampaikannya kepadanya dan jalan ke sana memang banyak, salah satunya secara khusus untuk istri yaitu ketaatannya kepada suaminya. 



Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila seorang wanita menjaga shalat lima waktu, berpuasa pada bulannya, menjaga kehormatannya dan mentaati suaminya niscaya dia akan masuk surga dari pintu mana saja yang dia inginkan.”(HR. Ahmad dan Ibnu Hibban) 



Adakah balasan yang lebih besar dan utama dari ini? Masuk surga, tidak sebatas itu akan tetapi lebih dari itu, dari pintu mana saja yang dia kehendaki. Belum cukuplah hal ini menggugah dan mendorongmu untuk taat dan patuh kepada suamimu? 



Imam Ahmad dan al-Hakim meriwayatkan dari al-Husain bin Mihshan bahwa bibinya datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk suatu keperluan, setelah dia selesai dari keperluannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada bibi al-Husain, “Apakah kamu bersuami?” Dia menjawab, “Ya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya,“Bagaimana dirimu terhadapnya?” Dia menjawab, “Saya tidak melalaikannya kecuali jika saya tidak mampu.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Lihatlah dirimu daripadanya, karena dia adalah surga dan nerakamu.” 



Wallahu a’lam. 



Semoga kita bisa mengambil hikmah dari catatan ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar