Selasa, 13 Juli 2010


Hadits dho’if adalah setiap hadits yang mardud (tertolak) yang 
tidak memenuhi syarat hadits shahih atau hadits hasan. Boleh jadi hadits
tersebut terputus sanadnya, terdapat perowi yang tidak ‘adl (tidak 
sholih), sering berdusta, dituduh dusta, sering keliru, atau hadits 
tersebut memiliki ‘illah (cacat yang tersembunyi) atau riwayatnya 
menyelisihi riwayat perowi yang lebih tsiqoh (lebih terpercaya) darinya.

Tersebarnya hadits dho’if atau yang lebih parah lagi hadits palsu 
menyebabkan berbagai amalan tanpa tuntunan tersebar di tengah-tengah 
ummat Islam. Perusakan Islam dengan cara seperti ini sebenarnya lebih 
parah dari penyerangan tentara Yahudi terhadap umat Islam. Karena yang 
merusak dengan menyebarkan hadits dho’if dan palsu adalah umat Islam 
sendiri, amat jarang dari luar Islam. Kita lihat sendiri semacam amalan 
puasa Nishfu Sya’ban atau shalat pada malam Nishfu Sya’ban terjadi 
karena motivasi dari hadits dho’if. Begitu pula beberapa dzikir tanpa 
tuntunan seringkali jadi amalan juga karena motivasi dari hadits-hadits 
dho’if atau bahkan palsu yang sengaja dibuat-buat oleh orang-orang yang 
bermaksud baik namun lewat jalan yang keliru.

Dalam Al Mawdhu’at, Ibnul Jauzi menukilkan perkataan Abul Fadhl Al 
Hamadani, di mana ia berkata, “Orang yang berbuat bid’ah dalam Islam dan
yang sengaja membuat hadits maudhu’ (yang palsu yang diriwayatkan oleh 
perowi pendusta, pen), sebenarnya mereka lebih merusak daripada orang 
mulhid (musuh Islam). Karena orang mulhid bermaksud merusak Islam dari 
luar.”[1]

Siapa saja yang membicarakan suatu lantas ia katakan dari Rasulullah 
shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal itu dusta, maka ia termasuk salah 
satu di antara dua pendusta dan ia terancam dengan sabda Nabi 
shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ 
النَّارِ

“Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka silakan ia 
mengambil tempat duduknya di neraka” (HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim 
no. 3).

Bagaimana hukum beramal dengan hadits dho’if tentang fadhilah amal 
(keutamaan amal)? Ulama pakar hadits dan pakar fiqih dahulu dan sekarang
terus berselisih pendapat dalam masalah ini. Itulah yang akan kita 
angkat pada pembahasan ini.

Pendapat yang Melarang secara Mutlak

Menurut sekelompok ulama, hadits dho’if tidak digunakan dalam fadho’il 
a’mal (menjelaskan keutamaan amal) dan juga tidak dalam masalah lainnya.
Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah Al Imam Muslim 
dalam Muqoddimah kitab Shahihnya.

Muslim An Naisaburi rahimahullah mengatakan, “Hadits dalam agama ini 
boleh jadi membicarakan halal, haram, perintah dan larangan, atau boleh 
jadi membicarakan tentang dorongan (targhib) atau ancaman (tarhib) 
tatkala melakukan sesuatu. Jika seorang perowi yang meriwayatkan hadits 
bukanlah orang yang jujur dan bukan orang yang memegang amanah, kemudian
ada pula perowi yang tidak dijelaskan keadaannya, maka orang yang 
menyebarkan hadits yang mengandung perowi semacam ini adalah orang yang 
berdosa karena perbuatannya. Dia adalah orang yang telah mengelabui kaum
muslimin yang awam. Akibat dari perbuatan semacam ini, orang-orang 
yang mendengar hadits-hadits dho’if semacam ini mengamalkannya, 
mengamalkan sebagian atau lebih banyak. Padahal di antara hadits-hadits 
tersebut ada yang berisi perowi pendusta, sebagian lainnya adalah hadits
yang tidak diketahui asal usulnya.”[2] Intinya, Imam Muslim 
berpandangan bahwa hadits dho’if tidak boleh diamalkan sama sekali.

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Apa yang dikatakan oleh Imam Muslim
dalam Muqoddimah kitab shahihnya –secara zhohir (tekstual)- bermakna 
hadits dalam masalah targib (memotivasi untuk beramal) diriwayatkan sama
halnya dengan riwayat yang membicarakan tentang masalah hukum”[3]. 
Artinya jika hadits yang membicarakan tentang masalah hukum tidak boleh 
berasal dari hadits dho’if, hal yang sama berlaku pula pada masalah 
fadhilah ‘amal.

Abu Bakr Ibnul ‘Arobi juga berpandangan tidak bolehnya menggunakan 
hadits dho’if secara mutlak baik dalam masalah fadhoil a’mal dan masalah
lainnya.[4] Pendapat ini juga yang menjadi pendapat Syaikh Muhammad 
Nashiruddin Al Albani rahimahullah[5] dan juga murid-muridnya.

Pendapat yang Bersikap Lebih Ringan

Sebagian ulama ada yang memberi keringanan dalam menyebutkan hadits 
dho’if asalkan memenuhi tiga syarat:

1. Dho’if-nya tidak terlalu dho’if.
2. Hadits dho’if tersebut memiliki ashlun (hadits pokok) dari hadits 
shahih, artinya ia berada di bawah kandungan hadits shahih.
3. Tidak boleh diyakini bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam 
mengatakannya.

Dari sini, berarti jika haditsnya sangat dhoif (seperti haditsnya 
diriwayatkan oleh seorang pendusta), maka tidak boleh diriwayatkan 
selamanya kecuali jika ingin dijelaskan kedhoifannya.

Jika hadits tersebut tidak memiliki pendukung yang kuat dari hadits 
shahih, maka hadits tersebut juga tidak boleh diriwayatkan. Misalnya 
hadits yang memiliki pendukung dari hadits yang shahih: Kita 
meriwayatkan hadits tentang keutamaan shalat Jama’ah, namun haditsnya 
dhoif. Maka tidak mengapa menyebut hadits tersebut untuk memotivasi yang
lain dalam shalat jama’ah karena saat itu tidak ada bahaya 
meriwayatkannya. Karena jika hadits tersebut dho’if, maka ia sudah 
memiliki penguat dari hadits shahih. Hanya saja hadits dho’if tersebut 
sebagai motivator. Namun yang jadi pegangan sebenarnya adalah hadits 
shahih.

Akan tetapi ada syarat ketiga yang mesti diingat, yaitu hendaklah tidak 
diyakini bahwa hadits dhoif tersebut berasal dari Nabi shallallahu 
‘alaihi wa sallam. Syarat ketiga ini yang seringkali tidak diperhatikan.
Karena kebanyakan orang menyangka bahwa hadits-hadits tersebut adalah 
hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tidak 
ditegaskan kalau hadits itu dho’if. Akibatnya timbul anggapan keliru. 
Dalam syarat ketiga ini para ulama memberi aturan, hadits dho’if 
tersebut hendaknya dikatakan “qiila” (dikatakan) atau “yurwa” (ada yang 
meriwayatkan), tanpa kata tegas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Penjelasan Apik dari Ibnu Taimiyah

Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak ada satu pun ulama yang 
mengatakan bolehnya menjadikan sesuatu yang wajib atau sunnah 
berdasarkan hadits dho’if. Barangsiapa menyatakan bolehnya hal itu, maka
sungguh ia telah menyelisihi ijma’ (kesepakatan para ulama). Hal ini 
sama halnya ketika kita tidak boleh mengharamkan sesuatu (dalam masalah 
hukum) kecuali berdasarkan dalil syar’i (yang shahih). Akan tetapi jika 
diketahui sesuatu itu terlarang (haram) dari hadits yang membicarakan 
balasan baik bagi pelakunya dan diketahui bahwa hadits tersebut bukan 
diriwayatkan oleh perowi pendusta, maka hadits tersebut boleh saja 
diriwayatkan dalam rangka targhib (memotivasi dalam amalan kebaikan) dan
tarhib (untuk menakut-nakuti). Hal ini berlaku selama tidak diketahui 
bahwa hadits tersebut adalah hadits yang berisi perowi pendusta (baca: 
hadits maudhu’/ palsu). Namun patut diketahui bahwa memotivasi suatu 
amalan kebaikan atau menakuti-nakuti dari suatu amalan yang jelek 
didukung dengan dalil lain (yang shahih), bukan hanya dengan hadits yang
tidak jelas status keshahihannya.” [6]

Ada dua point berharga yang bisa kita ambil dari penjelasan Syaikhul 
Islam di atas. Pertama, tidak boleh menggunakan hadits maudhu’ (hadits 
palsu yang berisi perowi pendusta) dalam masalah targib dan tarhib. 
Kedua, hadits dho’if yang digunakan untuk memotivasi dalam beramal, 
hendaknya memiliki landasan dari hadits shahih lainnya. Sehingga 
sebenarnya yang kita amalkan adalah hadits shahih dan bukan hadits 
dhoifnya.

Di tempat yang lain Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Jika 
diketahui bahwa suatu amal disunnahkan dengan dalil syar’i (dalil 
shahih) dan diriwayatkan pula hadits lainnya dengan sanad yang dho’if 
yang membicarakan masalah fadhilah amal, maka hadits tersebut bisa 
diriwayatkan asalkan haditnys bukan merupakan hadits maudhu’ (yang di 
dalamnya ada salah satu perowi pendusta). Karena yang namanya jumlah 
pahala (dalam memotivasi untuk beramal, pen) tidak diketahui ukuran 
pastinya. Oleh karenanya, jika dalam masalah ukuran pahala diriwayatkan 
dengan hadits yang dho’if selama bukan hadits yang dusta (hadits 
maudhu’), maka hadits semacam ini tidak dikatakan dusta. Oleh karena itu
Imam Ahmad bin Hambal dan ulama lainnya memberikan keringanan 
meriwayatkan hadits dhoif dalam masalah fadhoil a’mal. Adapun jika suatu
amalan dikatakan sunnah berdasarkan hadits dho’if (semata), maka beliau
menjauhkan diri darinya karena (takut pada) Allah.”[7]

Beliau menjelaskan pula, “Jika hadits dho’if tentang fadhilah amal 
mengandung amalan yang disebutkan tata cara tertentu atau jumlah 
tertentu –seperti disebutkan shalat pada waktu tertentu dengan bacaan 
tertentu atau tata cara tertentu-, maka hadits semacam ini tidak boleh 
diamalkan. Karena tata cara amalan yang dilakukan haruslah ditetapkan 
dengan dalil syar’i. Hal ini berbeda halnya jika diriwayatkan suatu 
hadits yang mengatakan bahwa barangsiapa memasuki pasar lalu ia menyebut
“laa ilaha ilallah”, maka pahalanya sekian dan sekian, maka ini tidak 
mengapa. Karena yang namanya dzikir kepada Allah di pasar disunnahkan 
karena ini termasuk amalan yang dilakukan di saat kebanyakan orang 
sedang lalai.”[8]

Ibnu Taimiyah kemudian membuat kesimpulan yang amat bagus dalam 
perkataan selanjutnya,

. فَالْحَاصِلُ : أَنَّ هَذَا الْبَابَ يُرْوَى وَيُعْمَلُ بِهِ فِي 
التَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ لَا فِي الِاسْتِحْبَابِ ثُمَّ اعْتِقَادُ 
مُوجِبِهِ وَهُوَ مَقَادِيرُ الثَّوَابِ وَالْعِقَابِ يَتَوَقَّفُ عَلَى 
الدَّلِيلِ الشَّرْعِيِّ .

“Intinya, hadits dho’if bisa diriwayatkan namun dalam masalah targhib 
dan tarhib saja. Hadits dho’if bukanlah diriwayatkan untuk menyebutkan 
sunnahnya suatu amalan. Adapun untuk memastikan besarnya suatu pahala 
atau akibat buruk dari suatu amalan jelek, maka cukup dalil syar’i (yang
shahih) yang jadi pegangan. ”[9]

Sikap yang Lebih Hati-Hati

Sebagian ulama bersikap bahwa hadits dho’if tidak boleh digunakan 
secara mutlak kecuali jika ingin dijelaskan dho’ifnya. Pendapat ini 
tidak diragukan lagi lebih hati-hati dan lebih selamat. Untuk memotivasi
pada kebaikan dan mengancam suatu perbuatan yang jelek sebenarnya sudah
cukup dengan hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa 
sallam.

Demikian sajian kami saat ini. Semoga bermanfaat.

4 komentar:

  1. Mas, sebutin dong, yang mana aja hadits shahih; n hadits hasan; n hadits ma'udhu; n hadits dha'if!

    BalasHapus
  2. Afwan mas Dada ana Akhwat :D ...
    Bissmilah...

    *Hadist Ma'udhu (palsu ..kebohongan yg di ciptakan dan di sandarkan kepada Rasulullah dhallahu alahi wassalam.)

    Diantara hadits-hadits palsu yang tersebar di masyarakat, ada yang indah maknanya. Namun sayangnya ia bukan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Mungkin semisal hadits berikut:

    خَيْرُكُمْ مَنْ لَمْ يَتْرُكْ آخِرَتَهُ لِدُنْيَاهُ وَلاَ دُنْيَاهُ لآخِرَتِهِ وَلَمْ يَكُنْ كَلاًّ عَلَى النَّاسِ

    "Sebaik-baik orang diantara kalian adalah orang tidak meninggalkan akhiratnya untuk (kepentingan) dunianya; tidak pula (meninggalkan) dunianya untuk akhiratnya. Dia juga bukan beban atas orang lain". [HR. Al-Khothib dalam Tarikh Baghdad (4/221/no.1918), dan lainnya]

    Hadits ini maudhu’ (palsu), karena rawinya yang bernama Yaghnam bin bin Salim bin Qunbur Al-Bashriy. Dia adalah seorang pemalsu hadits seperti yang dinyatakan oleh Al-Bustiy dalam Al-Majruhin (3/145). Dengan alasan ini, Syaikh Al-Albaniy As-Salafiy menyatakan palsunya hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (501)

    *Hadist Shahih ( sah / benar / sehat )

    Sabda Beliau Shallallahu 'alayhi wasallam (yg artinya):
    “Apabila seseorang dari kalian diundang makan, maka penuhilah undangan itu. Apabila ia tidak berpuasa, maka makanlah (hidangannya), tetapi jika ia sedang berpuasa, maka hendaklah ia men-do’akan (orang yang mengundangnya)”[ Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1431 (106)), Ahmad (II/507), al-Baihaqi (VII/263) dan lafazh ini miliknya, dari Abu Hurairah.]

    “Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”
    [ Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5177), Muslim (no. 1432), Abu Dawud (no. 3742), Ibnu Majah (no. 1913) dan al-Baihaqi (VII/262), dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. Lafazh ini milik Muslim.

    *Hadist Dho'if (lemah)

    Banyak sekali hadits-hadits lemah yang tersebar di kalangan kaum muslimin, namun mereka tak sadar bahwa itu bukanlah sabda Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, seperti hadits:

    إِنَّ مِنْ أَسْوَأِ النَّاسِ مَنْزِلَةً مَنْ أَذْهَبَ آخِرَتَهُ بِدُنْيَا غَيْرِهِ

    "Sesungguhnya manusia yang paling buruk kedudukannya, orang yang menghilangkan (menghancurkan) akhiratnya dengan dunia orang lain". [HR. Ath-Thoyalisiy dalam Al-Musnad (2398), dan Al-Baihaqiy dalam Syu’abul Iman (6938)]

    Hadits ini adalah hadits dho’if (lemah), karena rowi yang bernama Syahr bin Hausyab, seorang jelek hafalannya dan banyak me-mursal-kan hadits, dan Al-Hakam bin Dzakwan, seorang yang maqbul. Intinya, hadits ini lemah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah (2229)

    * Hadist Hasan ( bagus/baik)

    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
    خَيْرُ الْأَصْحَابِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لصَاحِبِهِ وَخَيْرُ الْجِيْرَانِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ
    “Sebaik-baik sahabat di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah mereka yang terbaik kepada sahabatnya dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah mereka yang terbaik pada tetangganya.”

    Ibnu Bisyran menshahihkannya, dan dihasankan oleh At-Tirmidzi rahimahumullah.
    Al-Hakim An-Naisaburi berkata: “Shahih ‘ala syarthi Asy-Syaikhain (Hadits ini shahih sesuai syarat dua Syaikh, yakni Al-Bukhari dan Muslim).”4
    At-Tirmidzi berkata: “Haditsun hasanun gharib (Hadits ini hasan gharib).”
    Ibnu Bisyran5 berkata: “Haditsun shahihun wa isnaduhu kulluhum tsiqat (Hadits ini shahih dan sanadnya semuanya rawi-rawi tepercaya).”
    Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu menshahihkannya dalam Ash-Shahihah (1/211) no. 103.

    dan masih banyak lagi contohnya
    lihat di Coba buka almakassari.com/category/artikel-islam/hadits

    smoga bermanfaat ..

    BalasHapus
  3. Subhanallah!, Mahasuci Allah!, bagus juga apa kata jawaban anda.

    Namun saya ingin bertanya sekali lagi.
    Apa bedanya antara Hadits Shahih ama Hadits Hasan ama Sirah Nabawiyah?...

    Mohon pencerahannya, dan klo bisa sampaikan aja ke situs bahasa Indonesia ku di:
    http://websitedada.wordpress.com./

    Sebelumnya, Syuqran Kashiran!!!

    BalasHapus
  4. Beda dari segi makna nya

    *Hadits Shahih
    Hadits yang diriwayatkan dari perawi adil dan dhabit dari yang semisalnya (Adil dan Dhabit) bersambung sanadnya bukan Muallal (terdapat penyakit hadits) juga tidak Syaadz

    *Hadits Hasan
    Hadits Hasan adalah hadits yang memenuhi syarat hadits Shahih akan tetapi derajat dhobit perawinya sedikit lebih rendah dari dhobit rawi hadits-hadits shahih.

    CONTOH

    Hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori dalam Shahih Bukhori :
    حدثنا عبد الله بن محمد قال: حدثنا أبو عامر العقدي قال: حدثنا سليمان بن بلال، عن عبد الله بن دينار، عن أبي صالح، عن أبي هريرة رضي الله عنه، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال:(الإيمان بضع وستون شعبة، والحياء شعبة من الإيمان).

    (Berkata Imam Bukhori) : Telah mengabarkan kepada kami Abdullah bin Muhammad, dia berkata : telah mengabarkan kepada kami Abu Amir Al-Aqdi, beliau berkata : telah mengabarkan kepada kami Sulaiman bin Bilal dari Abdullah bin Dinar dari Abu Sholih dari Abu Hurairah Rhadiyallahu’ anhu, dari Nabi Shalallahu ‘alahi wassallam bahwa Nabi Shalallahu ‘alahi wassallam bersabda :, ” Iman itu memiliki enam puluh lebih cabang, dan malu adalah salah satu cabang dari iman.”

    Hadits ini yang meriwayatkan adalah : Imam Bukhori dalam kitab beliau Shahih Bukhori

    Sahabat yang meriwayatkan : Abu Hurairah Rhadiyallahu’ anhu

    Sanad atau Isnad : Ucapan Imam Bukhori : “telah mengabarkan kepada kami Abdullah bin Muhammad” hingga ucapan Abu Hurairah : ” dari Nabi Shalallahu ‘alahi wassallam “

    Perawi : Abdullah bin Muhammad, Abu Amir Al-Aqdi, Sulaiman bin Bilal, Abdullah bin Dinar , Abu Sholih dan Abu Hurairah

    Matan Hadits : Nabi Shalallahu ‘alahi wassallam bersabda :” Iman itu memiliki enam puluh lebih cabang, dan malu adalah salah satu cabang dari iman.”

    Tabi’in dalam hadits ini (Yang meriwayatkan dari sahabat) : Abu Sholih Rahimahullah.
    Sebagian ulama mengatakan hadits Jayyid derajatnya berada antara hadits hasan dan hadits Shohih.

    Siirah nabawiyyyah itu memuat tentang sejarah perjalanan hidup/biografi Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam..

    wallaahu a'lam :D

    BalasHapus