Kamis, 06 Oktober 2011

"TALANGAN HAJI" CONTOH NYATA TRANSAKSI RIBA DI BANK SYARIAH


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Ketika sedang menunggu shalat berjamaah di salah satu masjid, tiba-tiba ada seorang jamaah yang menyapa saya, "Mas, daftar haji untuk tahun ini, baru bisa berangkat 2018. Untuk bisa daftar, cukup dengan modal 5 jutaan.  Nanti, bayar DP 5 jutaan di bank-bank syariah. Sambil melunasi, kita bayar ujrah sekitar 1,5 juta."
Merasa penasaran, saya balik bertanya, "Kok, malah kita disuruh bayar, kita 'kan yang naruh uang di bank?"

Bapak itu yang kebetulan pemilik salah satu KBIH, akhirnya melengkapi penjelasannya, "Kita bayar 5 juta, nanti bank syariah memberikan fasilitas talangan haji sebesar 25 juta. Ujrah itu sebagai ganti dari biaya talangan haji yang diberikan bank."

Sedikit memahami proses transaksi yang beliau sampaikan, saya pun menyelai,
"Oh ..., itu transaksi riba!"
Sang Bapak terheran, "Masak riba?  Itu pelaksananya bank syariah.
"Saya mencoba menjelaskan, "Tapi, hakikatnya 'kan bank meminjamkan uang ke kita untuk pelunasan biaya haji, dan kita membayar bunga pinjaman ke bank. Itu riba ...."
Sang Bapak masih belum bisa menerima, "Ah, enggak lah .... Masak riba? Mestinya 'kan sudah direkomendasi dewan syariah yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan transaksi bank syariah."
Sesaat sebelum iqamah dikumandangkan, Sang Bapak mengatakan, “Kalau itu dilarang, terus, dari mana bank dapat uang?” Sebelum sempat menyempurnakan diskusi, iqamah dikumandangkan.

Ya, itulah sekilas gambaran pemahaman orang awam terkait dengan transaksi yang dijalankan oleh bank-bank syariah di negeri kita.  Nama nge-tren "syariah", yang dipampang mengiringi kata "bank", telah menjadi legitimasi tersendiri bagi semua kegiatan transaksinya.
Dengan nama ini, banyak orang yang menganggap semua transaksi di bank tersebut telah dijamin seratus 100% halal, la raiba fihi (tanpa ada keraguan di dalamnya).
Di sisi lain, kesadaran kaum muslimin di tempat kita akan bahaya dan haramnya riba (baca: bunga bank) banyak mengalami kemajuan. Ini adalah satu realita yang patut kita banggakan dan kita syukuri. Realita ini setidaknya telah membuat mereka sedikit selektif dalam melakukan transaksi keuangan.

Dua fenomena di atas tidaklah membuat bingung para penggiat kegiatan perbankan. Semenjak munculnya fenomena "bank syariah" dan "BMT", semua lembaga bank konvensional berduyun-duyun menjelmakan dirinya menjadi “bank syariah”.
Semua berusaha bernaung di bawah legitimasi “syariah”. Tidak hanya itu; semua istilah yang biasanya digunakan dalam transaksi bank konvensional, “dipaksa” untuk disesuaikan dengan istilah yang ber-”bau” syariah.

Terkait dengan hal ini, saya teringat sebuah hadits riwayat dari Abu Malik Al-Asy'ari radhiallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
ليشربن ناس من أمتى الخمر يسمونها بغير اسمها
"Sungguh, akan ada sekelompok manusia di kalangan umatku yang meminum khamar dan mereka menamakannya dengan selain namanya." (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah; dinilai sahih oleh Al-Albani)
Dalam riwayat yang lain, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
ليشربن ناس من أمتي الخمر . يسمونها بغير اسمها . يعزف على رءوسهم بالمعازف والمغنيات يخسف الله بهم الأرض . ويجعل منهم القردة والخنازير
"Sungguh, akan ada sekelompok manusia di kalangan umatku yang meminum khamar dan mereka menamakannya dengan selain namannya, sambil ditabuhnya alat-alat musik di dekatnya, kemudian Allah menenggelamkan (sebagian) mereka ke bumi, dan sebagian lagi dikutuk menjadi kera dan babi." (HR. Ibnu Majah; dinilai sahih oleh Al-Albani)

Semua orang paham bahwa maksiat itu jelek.  Semua orang paham bahwa barang haram itu tidak boleh dikonsumsi. Karena itu, kita tidak jumpai ada dukun yang mempromosikan dirinya dengan nama “dukun” atau “penyihir”.
Demikian pula, kita tidak jumpai ada minuman keras yang diiklankan dengan nama “khamar”, namun mereka gunakan nama yang sangat indah: bir (dalam bahasa Arab: البِرّ, artinya: 'berbakti' atau 'berbuat baik').
Pada kasus yang sama, ketika banyak orang mulai sadar akan haramnya riba (baca: bunga), mereka gunakan nama “ujrah” (dalam bahasa Arab: أجرة, artinya 'upah') untuk menyebut “bunga pinjaman”, dan “bagi hasil” untuk menyebut “bunga tabungan”.

Hilah (kamuflase kemaksiatan)
Permasalahan akan lebih ringan, ketika perbuatan maksiat itu dilakukan tanpa diiringi dengan hilah (trik untuk menghalalkan perkara yang haram).
Ketika orang yang melakukan perbuatan maksiat itu tahu bahwa yang dia lakukan adalah kemaksiatan, masih ada peluang baginya untuk bertobat. Karena itu, balasan bagi orang yang melakukan hilah lebih berat dibandingkan kemaksiatan yang tidak disertai dengan hilah.

Saat menjelaskan hadits dari Abu Malik Al-Asy'ari di atas, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan,
في هذا الحديث وعيد شديد على من يتحيل في تحليل ما يحرم بتغيير اسمه
"Pada hadits ini terdapat ancaman keras bagi orang yang melakukan rekayasa untuk menghalalkan hal-hal yang telah Allah haramkan dengan cara mengubah namanya." (Fathul Bari, 10:56)

Bahkan, di antara sebab siksaan yang diberikan kepada orang Yahudi adalah kebiasaan mereka melakukan hilah untuk menghalalkan sesuatu yang Allah haramkan. Allah berfirman,
وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِينَ اعْتَدَوْا مِنْكُمْ فِي السَّبْت  فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ
Sungguh, kalian telah mengetahui tentang orang-orang yang melampaui batas di hari Sabtu. Maka, kami firmankan, 'Jadilah kalian kera yang hina!'” (QS. Al-Baqarah:65)

Hukuman ini diberikan oleh Allah ketika mereka melakukan hilah untuk melanggar hal yang Allah larang.
Ibnu Katsir mengatakan:
 “Ayat ini menceritakan tentang penduduk kampung yang durhaka terhadap aturan Allah dan melanggar perjanjian dengan-Nya, di saat Allah memerintahkan mereka agar mengagungkan hari Sabtu sebagai waktu beribadah (sehingga mereka dilarang untuk menangkap ikan). Akan tetapi, mereka melakukan hilah dengan menangkap ikan di hari Sabtu, (yaitu dengan cara) memasang jaring dan perangkap ikan di hari Jumat. Ketika hari Sabtu, banyak ikan-ikan yang berdatangan dan masuk dalam perangkap mereka. Malam harinya (setelah berlalunya hari Sabtu), mereka mengambil ikan-ikan itu. Karena perbuatan mereka ini, Allah mengubah mereka menjadi kera.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1:228)
Inti pelanggaran penduduk kampung Yahudi ini adalah perbuatan hilah yang mereka lakukan, dalam rangka melanggar aturan Allah. Ini merupakan beberapa hikmah sehingga Allah mengubah mereka menjadi kera; kera merupakan binatang yang paling mirip dengan manusia. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Katsir, “Dengan menimbang bahwa perbuatan dan hilah yang mereka lakukan itu bentuknya mirip dengan kebenaran secara zahir (yang nampak) namun aslinya bertolak belakang dengan kebenaran secara batin (tidak nampak), maka balasan yang mereka terima itu sejenis dengan amalnya (yaitu diubah menjadi hewan yang mirip dengan manusia).” (Tafsir Ibnu Katsir, 1:228)

Kaidah penting dalam memahami istilah
Berdasarkan hadits Abu Malik Al-Asy'ari di atas dan beberapa hadis yang semakna, para ulama menetapkan sebuah kaidah:
الأسماء لا تغير الحقيقة والحكم
Perubahan nama tidak mengubah hakikat dan hukum.”
Inilah kaidah yang selayaknya kita pegang dalam memahami berbagai fenomena baru.
Lebih-lebih, terkait dengan aturan halal-haram. Betapa banyak orang yang berupaya untuk berusaha menghalalkan sesuatu yang Allah haramkan.

Di antara sikap yang tepat, terkait muamalah, jangan sungkan-sungkan untuk menanyakan setiap transaksi baru kepada ahlinya. Setidaknya, ini bisa menjadi langkah hati-hati bagi kita dalam bermuamalah.

Transaksi sosial bukan untuk mencari keuntungan
Di bagian akhir diskusi yang tidak seimbang antara saya dengan Sang Bapak, ada bagian penting untuk kita perhatikan, “Kalau itu dilarang, terus, dari mana bank dapat uang?”
Saudaraku, kaum muslimin, patut untuk kita pahami bahwa transaksi keuangan yang kita lakukan secara umum bisa kita kelompokkan menjadi dua:
Pertama:
Transaksi mu'awwadhat (komersial). Misalnya: jual beli, sewa-menyewa, permodalan, dan yang lainnya. Untuk transaksi model pertama ini, kita diperkenankan mengambil keuntungan sesuai dengan yang kita inginkan.
Kedua: 
Transaksi tabarru'at (sosial). Misalnya: utang-piutang atau pinjam-meminjam. Dalam transaksi yang murni untuk maksud sosial, para ulama menyepakati terlarangnya mengambil keuntungan dari salah satu pihak.
Hal ini berdasarkan riwayat dari Fudhalah bin Ubaid radhiallahu 'anhu, bahwa beliau mengatakan,
كل قرض جر منفعة فهو ربا
“Setiap piutang yang memberikan keuntungan maka (keuntungan) itu adalah riba.”
Keuntungan yang dimaksud dalam riwayat di atas mencakup semua bentuk keuntungan, bahkan sampai bentuk keuntungan pelayanan.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu,
إذا أقرض أحدكم قرضا فأهدى له أو حمله على الدابة فلا يركبها ولا يقبله
“Apabila kalian mengutangkan sesuatu kepada orang lain, kemudian (orang yang berutang) memberi hadiah kepada yang mengutangi atau memberi layanan berupa naik kendaraannya (dengan gratis), janganlah menaikinya dan jangan menerimanya.” (HR. Ibnu Majah; hadits ini memiliki beberapa penguat)

Dalam riwayat yang lain, dari Abdullah bin Sallam, bahwa beliau mengatakan, “Apabila kamu mengutangi orang lain, kemudian orang yang diutangi memberikan fasilitas membawakan jerami, gandum, atau pakan ternak maka janganlah menerimanya, karena itu riba.” (HR. Bukhari)

Ketika seseorang tidak sanggup melakukan transaksi sosial tanpa keuntungan, sebaiknya dia tidak coba-coba memaksa dirinya untuk melakukannya, karena justru dia akan terjerumus ke dalam perbuatan dosa yang lebih besar.
Semoga Allah menyelamatkan kita dari jaring-jaring riba. Amin ....

 www.pengusahamuslim.com

Rabu, 05 Oktober 2011

ISLAM BERBICARA MENGENAI CINTA


Firman Alloh Subhanallohu wa Ta’ala, yang artinya:
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri , supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya , dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih sayang .Sesungguhnya pada yang demikian itu benar- benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (QS. Ar Rum: 21)

Ibnu Katsir berkata,"Dia jadikan antara mereka berdua mawaddah yaitu mahabbah dan rahmah yaitu kasih sayang, seorang laki-laki bertahan dengan istrinya karena cinta kepadanya atau karena kasih sayang kepadanya,sebab ia mendapatkan anak lantarannya atau ia membutuhkannya dalam nafkah atau karena kesamaan sifat mereka berdua karena sebab lainnya [Tafsir al-Qur'anil 'Azhim,Tahqiq: Sami Muhammad Salamah,juz 6/309 Dar Thaybah,cet. II Riyadh]


Dari Abu Musa al-Asy'ari رضي الله عنه, ia berkata: Rasulullah صلى الله عليه
وسلم bersabda:

*المَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ*

"Seseorang itu bersama orang yang ia cintai." [Muttafaqun alaihi]


Anas berkata :


مَا فَرِحْنَا بِشَيءٍ فَرِحْنَا بِقَولِهِ صلى الله عليه وسلم : " المَرْءُ
مَعَ مَنْ أَحَبَّ. قَالَ: فَأَنَا أَحَبَّ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم،

وَأَبَا بَكَرٍ، وَعُمَرَ، فَأَرْجُوْ أَنْ أَكُوْنَ مَعَهُمْ


"Kami tidak pernah bergembira sebagaimana gembiranya kami dengan sabdanyaصلى الله عليه وسلم : "seseorang itu bersama orang yang ia cintai", Anas

berkata : "Aku mencintai Rasulullah صلى الله عليه وسلم, Abu Bakar dan Umar.Dan aku berharap dapat bersama mereka."  [ HR. al-Bukhori (3485), Muslim (2639), Ahmad (13395), Abd bin Humaid dalam Musnad-nya (1336) dan Ibnu Mandah dalam Kitabul Iman (1/439).]

Definisi Cinta
Untuk mendefinisikan cinta sangatlah sulit, karena tidak bisa dijangkau dengan kalimat dan sulit diraba dengan kata-kata. Ibnul Qayyim mengatakan: “Cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas, bahkan bila didefinisikan tidak menghasilkan (sesuatu) melainkan menambah kabur dan tidak jelas, (berarti) definisinya adalah adanya cinta itu sendiri.” (Madarijus Salikin, 3/9)

Hakikat Cinta
Cinta adalah sebuah amalan hati yang akan terwujud dalam (amalan) lahiriah. Apabila cinta tersebut sesuai dengan apa yang diridhai Allah, maka ia akan menjadi ibadah. Dan sebaliknya, jika tidak sesuai dengan ridha-Nya maka akan menjadi perbuatan maksiat. Berarti jelas bahwa cinta adalah ibadah hati yang bila keliru menempatkannya akan menjatuhkan kita ke dalam sesuatu yang dimurkai Allah yaitu kesyirikan.

Cinta kepada Allah
Cinta yang dibangun karena Allah akan menghasilkan kebaikan yang sangat banyak dan berharga. Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (3/22) berkata: ”Sebagian salaf mengatakan bahwa suatu kaum telah mengaku cinta kepada Allah lalu Allah menurunkan ayat ujian kepada mereka:

“Katakanlah: jika kalian cinta kepada Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian.” (QS. Ali ‘Imran: 31)
Mereka (sebagian salaf) berkata: “(firman Allah) ‘Niscaya Allah akan mencintai kalian’, ini adalah isyarat tentang bukti kecintaan tersebut dan buah serta faidahnya. Bukti dan tanda (cinta kepada Allah) adalah mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, faidah dan buahnya adalah kecintaan Allah kepada kalian. Jika kalian tidak mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka kecintaan Allah kepada kalian tidak akan terwujud dan akan hilang.”
Bila demikian keadaannya, maka mendasarkan cinta kepada orang lain karena-Nya tentu akan mendapatkan kemuliaan dan nilai di sisi Allah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu:

“Tiga hal yang barangsiapa ketiganya ada pada dirinya, niscaya dia akan mendapatkan manisnya iman. Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, dan hendaklah dia mencintai seseorang dan tidaklah dia mencintainya melainkan karena Allah, dan hendaklah dia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan dia dari kekufuran itu sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 16 dan Muslim no. 43)
Ibnul Qayyim mengatakan bahwa di antara sebab-sebab adanya cinta (kepada Allah) ada sepuluh perkara:

1. Membaca Al Qur’an, menggali, dan memahami makna-maknanya serta apa yang dimaukannya.
2. Mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan-amalan sunnah setelah amalan wajib.
3. Terus-menerus berdzikir dalam setiap keadaan.
4. Mengutamakan kecintaan Allah di atas kecintaanmu ketika bergejolaknya nafsu.
5. Hati yang selalu menggali nama-nama dan sifat-sifat Allah, menyaksikan dan mengetahuinya.
6. Menyaksikan kebaikan-kebaikan Allah dan segala nikmat-Nya.
7. Tunduknya hati di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
8. Berkhalwat (menyendiri dalam bermunajat) bersama-Nya ketika Allah turun (ke langit dunia).
9. Duduk bersama orang-orang yang memiliki sifat cinta dan jujur.
10.Menjauhkan segala sebab-sebab yang akan menghalangi hati dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.(Madarijus Salikin, 3/18, dengan ringkas)

Cinta adalah Ibadah
Sebagaimana telah lewat, cinta merupakan salah satu dari ibadah hati yang memiliki kedudukan tinggi dalam agama sebagaimana ibadah-ibadah yang lain. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu.” (QS. Al-Hujurat: 7)

“Dan orang-orang yang beriman lebih cinta kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165)

“Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” (QS. Al-Maidah: 54)
Adapun dalil dari hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hadits Anas yang telah disebut di atas yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim: “Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya.”

Macam-Macam Cinta
Di antara para ulama ada yang membagi cinta menjadi dua bagian dan ada yang membaginya menjadi empat. Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdulwahhab Al-Yamani dalam kitab Al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid (hal. 114) menyatakan bahwa cinta ada empat macam:

Pertama, cinta ibadah.
Yaitu mencintai Allah dan apa-apa yang dicintai-Nya, dengan dalil ayat dan hadits di atas.
Kedua, cinta syirik.
Yaitu mencintai Allah dan juga selain-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'alaberfirman:

“Dan di antara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan (bagi Allah), mereka mencintai tandingan-tandingan tersebut seperti cinta mereka kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165)
Ketiga, cinta maksiat.
Yaitu cinta yang akan menyebabkan seseorang melaksanakan apa yang diharamkan Allah dan meninggalkan apa-apa yang diperintahkan-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'alaberfirman:

“Dan kalian mencintai harta benda dengan kecintaan yang sangat.” (QS. Al-Fajr: 20)
Keempat, cinta tabiat.
Seperti cinta kepada anak, keluarga, diri, harta dan perkara lain yang dibolehkan. Namun tetap cinta ini sebatas cinta tabiat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“Ketika mereka (saudara-saudara Yusuf ‘alaihis salam) berkata: ‘Yusuf dan adiknya lebih dicintai oleh bapak kita daripada kita.” (QS. Yusuf: 8)
Jika cinta tabiat ini menyebabkan kita tersibukkan dan lalai dari ketaatan kepada Allah sehingga meninggalkan kewajiban-kewajiban, maka berubahlah menjadi cinta maksiat. Bila cinta tabiat ini menyebabkan kita lebih cinta kepada benda-benda tersebut sehingga sama seperti cinta kita kepada Allah atau bahkan lebih, maka cinta tabiat ini berubah menjadi cinta syirik.

Buah cinta
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “Ketahuilah bahwa yang menggerakkan hati menuju Allah ada tiga perkara: cinta, takut, dan harapan. Dan yang paling kuat adalah cinta, dan cinta itu sendiri merupakan tujuan karena akan didapatkan di dunia dan di akhirat.” (Majmu’ Fatawa, 1/95)

Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menyatakan: “Dasar tauhid dan ruhnya adalah keikhlasan dalam mewujudkan cinta kepada Allah. Cinta merupakan landasan penyembahan dan peribadatan kepada-Nya, bahkan cinta itu merupakan hakikat ibadah. Tidak akan sempurna tauhid kecuali bila kecintaan seorang hamba kepada Rabbnya juga sempurna.” (Al-Qaulus Sadid, hal. 110)

Ketika Hati Dimabuk Asmara

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (286)
 
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma`aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir"." [Al Baqarah 286]

Yang tidak sanggup dipikul oleh manusia adalah cinta,Dan Muhammad bin Abdul Wahab berkata dia adalah 'isyq (mabuk kasmaran)  [Tafsir al-Baghawi 1/358]

Dari Abu Said al-Khudri Rodhiallohuanhu telah bersabda Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam :

“Aku tidak melihat orang orang yang kurang akal dan kurang agama yang lebih bias menghilangkan akal laki laki yang teguh daripada salah seorang diantara kalian (para wanita).” (HR. Al Bukhari no 304 dan Muslim no. 80)

Amr bin Al-'Ash radhiyallahu 'anhu pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam : "Siapakah orang yang paling engkau cintai?" beliau menjawab: "'Aisyah!" (Muttafaq 'alaih)   

Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, berkata  bahwa salah seorang berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,Wahai Rasulullah,aku mempunyai anak yatim telah dipinang oleh pria kaya dan pria miskin. Kami menginginkan yang kaya sedangkan ia menyukai yang miskin.  Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ نَرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلَ النِّكَاحِ*

Aku tidak pernah melihat ada dua orang yang saling mengasihi selain melalui jalur pernikahan. [Dishohohkan oleh Syaikh al-Albani di Silsilah no.624]

Rumahku Surgaku
   Barangsiapa yang mengidamkan kebahagiaan rumah tangga, hendaklah ia memperhatikan kisah- kisah 'Aisyah radhiyallah 'anha bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Bagaimana kiat-kiat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membahagiakan 'Aisyah radhiyallahu 'anha. 
         Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata: 
"Aku biasa mandi berdua bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dari satu bejana." (HR. Al-Bukhari)


Rasulullah bersabda:

«خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ ِلأَهْلِهِ, وَأَنَا خَيْرُكُمْ ِلأَهْلِيْ»

Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya dan aku adalah orang yang terbaik di antara kalian dalam memperlakukan keluargaku. (HR al-Hakim dan Ibnu Hibban).

Suatu ketika, seorang laki-laki mendatangi Umar radhiyallahu ‘anhu. untuk mengadukan perilaku istrinya. Ia menunggu Umar di depan pintu rumahnya. Tiba-tiba laki-laki tersebut mendengar istri Umar sedang memarahinya dan Umar diam saja tidak menanggapi. Laki-laki itu akhirnya pulang dan berkata dalam hatinya, “Jika keadaan Amirulmukminin seperti itu, lalu bagaimana dengan saya?”

Tidak lama kemudian, Umar keluar dan melihatnya berpaling. Umar memanggil laki-laki tersebut dan bertanya, “Apa keperluanmu?”

“Wahai Amirul Mukminin, sebenarnya saya datang untuk mengadukan sikap dan perbuatan istri saya kepada saya. Namun saya mendengar hal yang sama pada istri anda. Akhirnya, saya pulang dan berkata (dalam hati), 'Jika keadaan Amirulmukminin seperti ini, lalu bagaimana dengan saya?'”

“Wahai Saudaraku! Saya tetap sabar (atas perbuatannya) karena memang itu kewajiban saya. Istri sayalah yang memasakkan makanan untuk saya, membuatkan roti untuk saya, mencucikan pakaian, dan menyusui anak saya, sedang semua itu bukanlah kewajibannya. Di samping itu, hati saya merasa tenang (untuk tidak melakukan perbuatan haram). Oleh karena itulah, saya tetap bersabar atas perbuatannya itu,” jawab Umar.

“Wahai Amirulmukminin, istri saya pun demikian,” kata laki-laki tersebut.

“Karena itu, bersabarlah wahai Saudaraku. Ini hanya sebentar,” kata Umar.

Kisah di atas dinukil dari karya Adz-Dzahabi dalam kitab Al-Kaba'ir dan Al Haitami dalam kitab Az-Zawajir.

Bercengkrama
Dari aisyah radhiallohu'anha, bahwa beliau berkisah :

Pernah sebelas orang wanita duduk berkumpul saling berjanji dan bersepakat untuk tidak menutup-nutupi keadaan suami-suami mereka.

Wanita pertama mengatakan: Suamiku seperti daging unta yang kurus berada di puncak gunung yang sukar didaki, tidak datar sehingga mudah dilalui dan tidak juga gemuk sehingga dapat dipindah-pindahkan.

Wanita kedua mengatakan: Suamiku, aku terpaksa tidak dapat menuturkan mengenai keadaannya karena aku khawatir tidak dapat meninggalkannya. Jika aku menyebutkan sama halnya aku mengungkapkan rahasia aibnya.

Wanita ketiga mengatakan: Suamiku berperawakan tinggi sekali. Jika aku berbicara maka aku akan diceraikannya dan jika aku diam aku pun akan dibiarkannya tanpa dicerai dan dikawinkan (muallaqah).

Wanita keempat mengatakan: Suamiku seperti suasana malam di wilayah Tihamah, tidak panas dan tidak juga terlalu dingin, tidak menakutkan dan tidak juga membosankan.

Wanita kelima mengatakan: Suamiku apabila sudah memasuki rumah, maka dia langsung tertidur nyenyak dan apabila keluar rumah dia seperti seekor singa tanpa menanyakan sesuatu apapun yang bukan termasuk urusannya.

Wanita keenam mengatakan: Suamiku apabila makan, maka ia makan banyak sekali dengan bermacam jenis lauk dan jika minum maka semua sisa minuman akan diteguknya. Dan jika tidur dia akan berselimut tanpa mendekati diriku sehingga ia dapat merasakan nikmatnya kebersamaan.

Wanita ketujuh mengatakan: Suamiku adalah orang yang tidak mengetahui kepentingan dirinya atau lemah syahwat serta tergagap-gagap bicaranya, setiap obat yang diminum tidak dapat menyembuhkan. Di samping itu dia juga orang yang mudah melukai dan memukul.

Wanita kedelapan mengatakan: Suamiku beraroma wangi seperti zarnab dan sentuhannya selembut sentuhan seekor kelinci.

Wanita kesembilan mengatakan: Suamiku adalah seorang terhormat, berpostur tinggi dan sangat dermawan, berumah dekat dengan tempat pertemuan.

Wanita kesepuluh mengatakan: Suamiku adalah seorang pemilik unta yang banyak yang selalu menderum dan jarang sekali bergembala di padang rumput. Unta-unta tersebut jika mendengar suara alat musik kecapi, mereka merasa bahwa sebentar lagi mereka akan disembelih.

Dan wanita yang kesebelas mengatakan: Suamiku bernama Abu Zara`. Tahukah kamu siapakah Abu Zara`? Dialah yang memberiku perhiasan anting-anting dan memberiku makan sehingga aku kelihatan gemuk dan selalu membuatku gembira sehingga aku merasa senang. Dia mendapati diriku dari keluarga tidak mampu yang tinggal di lereng bukit lalu mengajakku tinggal di daerah peternakan kuda dan unta dan dia juga seorang petani. Aku tidak pernah dicela bila berbicara di sisinya dan bila tidur aku dapat tidur dengan nyenyak sampai pagi. Dan bila minum aku dapat minum sampai puas.

Lalu Ummu Abu Zara`, tahukah kamu siapakah Ummu Abu Zara`? Dia memiliki kantong-kantong bahan makanan yang besar-besar dan rumahnya sangat luas. Ibnu Abu Zara`, tahukah kamu siapakah Ibnu Abu Zara`? Dia memiliki tempat tidur laksana pedang yang dicabut dari sarungnya. Dia sudah merasa kenyang dengan hanya memakan sebelah kaki seekor anak kambing.

Putri Abu Zara`, tahukah kamu siapakah putri Abu Zara` itu? Ia adalah seorang yang amat patuh terhadap kedua orang tuanya. Tubuhnya gemuk dan suka menimbulkan rasa iri tetangganya. Budak perempuan Abu Zara`, tahukah kamu siapakah budak perempuan Abu Zara`? Ia tidak pernah menyebarkan rahasia pembicaraan kami dan tidak menyia-nyiakan persediaan makanan kami serta tidak pernah mengotori rumah kami seperti sarang burung. 

Ia (sang istri) melanjutkan: Suatu hari Abu Zara` keluar dengan membawa bejana-bejana susu yang akan dijadikan mentega lalu bertemu dengan seorang wanita bersama kedua anaknya yang seperti dua ekor anak singa bermain dengan dua buah delima di bawah pinggang ibunya. Setelah itu aku diceraikannya demi untuk menikahi wanita tersebut. Lalu aku menikah lagi dengan seorang lelaki terhormat serta dermawan. 

Ia menunggangi seekor kuda yang sangat cepat larinya sambil membawa sebatang tombak dan memperlihatkan kepadaku kandang ternak yang penuh dengan unta, sapi dan kambing serta memberikanku sepasang dari setiap jenis binatang ternak tersebut. Dia berkata: Makanlah wahai Ummu Zara` dan bawalah untuk keluargamu. Kalau kukumpulkan semua pemberiannya pasti tidak akan mencapai harga tempat minum paling kecil milik Abu Zarra`.

Aisyah berkata: Rasulullah saw. bersabda kepadaku: Aku terhadapmu adalah seperti Abu Zara` terhadap Ummu Zara`. (Shahih Muslim No.4481).

Rasulullah Menyeka air mata istrinya
 "Suatu hari istri beliau,Shafiyyah ikut Rasulullah dalam sebuah safar,kebetulan hari tersebut jatah harinya,kebetulan ia tertinggal,lalu Rasulullah menyambutnya ia dalam keadaan menangis,ia berkata, "Engkauberikan aku unta yang lambat jalannya,' sehingga Rasulullah menyrka air matanya dengan kedua tangannya dan mendiamkannya." (HR.An Nasaa'i no.9162)

Rasulullah bersandar didada istrinya
Dari Manshur bin Shafiyah bahwa Ibunya diceritakan oleh 'Aisyah,bahwa Rasulullah bersandar dipangkuanku sedangkan aku Haidh,lalu ia membaca al-Qur'an. (HR.al-Bukhori no.288 dan Muslim no.454)


Dari 'Aisyah Radhiyallahu 'anha, dia berkata :
 "Abdurrahman bin Abu Bakar Radhiyallahu 'anhuma menjenguk Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam, ketika itu aku sedang menyandarkan beliau ke dadaku. Saat itu Abdurrahman membawa siwakbasah untuk bersiwak. Kemudian Rasulullah e menatapnya dengan serius, maka aku mengambilsiwak itu lalu aku menggigitnya dengan ujung gigiku dan melumurinya dengan wewangian. Kemudian aku memberikannya kepada Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam , lalu beliau bersiwak dengannya. Aku tidak pernah melihat Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam bersiwak sebaik itu sebelumnya. Setelah selesai, beliau mengangkat tangannya atau jarinya, kemudian berkata : "Bersama Rafiqul A'la (yaitu para Rasul)" tiga kali, lalu beliau wafat".
          'Aisyah Radhiyallahu 'anha pernah berkata : "Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam wafat diantara perut dan daguku"
          Dalam satu riwayat :
Aku melihat Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam menatapnya. Dan aku tahu, beliau menyukai siwak. Maka aku katakan kepada beliau : "(Bagaimana jika) aku ambilkan untuk anda ? Kemudian mengisyaratkan dengan (anggukan) kepala : Ya".

(Ini adalah lafazh Al Bukhari. Muslim meriwayatkan yang serupa dengannya.)

Namun tatkala pesan-pesan yang tersampaikan kepada istri atau kepada suami ialah pesan-pesan isyarat bukti cinta, bahwa Anda telah membela dan menutupi aibnya di hadapan orang lain, maka jadilah isyarat ini sebagai buhul cinta. Sebab sama saja artinya Anda telah mengatakan kepada istri atau suami Anda, “Aku mencintaimu, maka aku pun melindungimu.” Barokallohu fiikum

oleh ustadz armen halim
Sumber: Majalah asy-Syariah

HUKUM MEMAKAN KEPITING


hukum makan kepiting
Pertanyaan, “Apa hukumnya makan kepiting?”
Abdillah (bembenx.11@gmail.com)

Makan Kepiting

Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du..
Hukum asal semua binatang laut adalah halal. Sebagaimana firman Allah,
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ
“Dihalalkan bagi kalian untuk memburu hewan laut (ketika ihram) dan bangkai hewannya, sebagai kenikmatan bagi kalian dan sebagai (bekal) bagi para musafir…” (Q.s. Al-Maidah: 96)
Imam Bukhari menyebutkan satu riwayat dari beberapa sahabat:
Abu Bakr radliallahu ‘anhu mengatakan, “Bangkai ikan halal.” Ibn Abbas mengatakan: “Yang dimaksud kata ‘tha’amuhu‘ = bangkainya, kecuali yang kotor.” Syuraih – salah seorang sahabat – mengatakan, “Segala sesuatu yang di laut, (jika mati) sudah (dianggap) disembelih.” (Shahih Bukhari, 5/2091)
Dalil lain adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang hukum wudhu dengan air laut, beliau menjawab,
هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.” (H.r. Turmudzi 69, Abu Daud 83 dan dishahihkan Al-Albani dalam Al-Irwa’, 1/42)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Apa yang Allah halalkan dalam kitab-Nya maka itu halal, dan apa yang Dia haramkan maka itu haram. Adapun benda yang didiamkan (tidak dijelaskan hukumnya) maka itu adalah ampunan, karena itu terimalah ampunan dari Allah. Karena Allah tidak lupa.” (H.r. Baihaqi 20216 dan dishahihkan Al-Albani dalam As-Shahihah 2256)
Berdasarkan keterangan di atas maka makan udang, kepiting, semuanya adalah halal dan tidak ada halangan, berdasarkan keumuman dalil yang menunjukkan bolehkan makan hewan buruan laut. Namun jika hewannya beracun atau bisa membahayakan bagi orang yang mengkonsumsinya maka hukumnya haram, karena makan hewan ini berbahaya bukan karena haram zatnya.
Referensi: http://www.islamqa.com/ar/ref/126343

Senin, 03 Oktober 2011

HUKUM AT-TASYBIIK ( MENJALIN JARI JEMARI )


Oleh: Ustadz Abul Jauzaa’ Al-Atsary
Contoh dari Tasybik
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إذا توضأ أحدكم في بيته ثم أتى المسجد كان في صلاة حتى يرجع فلا يقل هكذا وشبك بين أصابعه

“Apabila salah seorang diantara kalian wudlu di rumahnya kemudian ia pergi ke masjid, maka ia senantiasa dalam keadaan shalat hingga ia kembali pulang ke rumahnya. Oleh karena itu, janganlah ia melakukan melakukan seperti ini ! – Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memperagakan dengan menjalinkan jari-jemarinya (tasybik)” [HR. Ibnu Khuzaimah no. 439, Al-Haakim 1/206, dan Ad-Daarimi no. 1446; shahih].

عن أبي ثمامة الحناط : أن كعب بن عُجْرَة أدركه وهو يريد المسجد، أدرك أحدهما صاحبه قال: فوجدني وأنا مشبك بيدي فنهاني عن ذلك وقال: إن رسول اللّه صلى الله عليه وسلم قال: “إذا توضّأ أحدكم فأحسن وضوءه، ثمّ خرج عامداً إلى المسجد فلا يشبِّكنَّ يديه فإِنه في صلاةٍ”.

Dari Abu Ummamah Al-Hanaath : Bahwasannya Ka’b bin ‘Ujrah bertemu dengannya saat ia hendak pergi ke masjid. Mereka saling bertemu waktu itu. Ka’b melihatku sedang menjalinkan jari-jemariku (tasybik), kemudian ia melarangku dan berkata : “Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : ‘Apabila salah seorang diantara kalian wudlu, membaguskan wudlunya, kemudian pergi menuju masjid; maka janganlah ia menjalinkan jari-jemarinya (tasybik). Sesungguhnya ia dalam keadaan shalat” [HR. Abu Dawud no. 562; At-Tirmidzi no. 386; Ahmad 4/241,242, 243; Ibnu Khuzaimah no. 441; Ad-Daarimi no. 1444; dan yang lainnya – shahih].

عن إسماعيل بن أمية، قال: سألت نافعاً عن الرجل يصلي وهو مشبِّك يديه؟ قال: قال ابن عمر: تلك صلاة المغضوب عليهم.

Dari Isma’il bin Umayyah, ia berkata : Aku bertanya kepada Naafi’ tentang seorang laki-laki yang menjalin jari-jemarinya (tasybik) ketika shalat ?. Maka ia berkata : Telah berkata Ibnu ‘Umar : “Itu adalah cara shalat orang-orang yang dimurkai oleh Allah”[HR. Abu Dawud no. 993; shahih].
Dhahir hadits di atas menunjukkan larangan melakukan tasybik (menjalin jari-jemari) ketika seseorang berwudlu, keluar menuju masjid, menunggu shalat ditegakkan, hingga shalat ditunaikan. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata :

أما التشبيك بين الأصابع فيكره من حين يخرج ، وهو في المسجد أشد كراهة ، وفي الصلاة أشد وأشد”

“Menjalin jari-jemari (tasybik) adalah dimakruhkan ketika ia keluar bejalan menuju masjid. Ketika ia sudah berada di masjid, maka kemakruhan itu bertambah. Dan shalat dilaksanakan, maka kemakruhan itu semakin bertambah (keras)” [Syarhul-‘Umdah, hal. 601; Daarul-‘Aashimah, Cet. 1/1418].
Namun ketika seseorang berada di masjid tidak sedang menunggu shalat atau telah selesai melaksanakan shalat; maka tidak mengapa. Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah telah menegaskan kebolehannya dengan membuat satu bab dalam kitab Shahih-nya : “Menjalin Jari-Jemari di dalam Masjid dan Selainnya (تشبيك الأصابع في المسجد وغيره). Kemudian beliau membawakan beberapa hadits, di antaranya :

عن أبي موسى، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إن المؤمن للمؤمن كالبنيان، يشد بعضه بعضا). وشبك أصابعه.

Dari Abu Musa, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Sesungguhnya seorang mukmin dengan mukmin lainnya seperti satu bangunan yang saling menguatkan”. Kemudian beliau menjalin jari-jemarinya (tasybik)” [HR. Al-Bukhari no. 481].

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ _ رضي الله عنه _ قَالَ : صلى بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم إحدى صلاتي العشي. فصلى بنا ركعتين ثم سلم، فقام إلى خشبة معروضة في المسجد، فاتكأ عليها كأنه غضبان، ووضع يده اليمنى على اليسرى، وشبك بين أصابعه…..

Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Suatu ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami shalat ‘isya’ dan ketika baru mendapatkan dua raka’at, beliau salam. Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri dengan bersandar pada sebatang kayu yang melintang di dalam masjid dengan tampak marah. Beliau meletakkan tangan kanan beliau di atas tangan kiri dan menjalinkan jari-jemarinya (tasybik),…..” [HR. Al-Bukahri no. 482].
Semoga ada manfaatnya artikel singkat ini….
Abu Al-Jauzaa’, DAW – 1430 H.

ALLAH BERBICARA DENGAN HURUF DAN SUARA


Pertanyaan:
Ustadz ,bagaimana cara menjelaskan kepada orang yang tidak mau mengimani bahwa Allah bicara dengan suara dan huruf, dengan alasan karena katanya suara dan huruf itu makhluk? Sekalian ustadz dalil yang jelas yang menyatakan bahwa Allah berbicara dengan suara. (Shalaca)

Jawaban:
Alhamdulillah rabbil ‘alamin, washshalaatu wassalaamu ‘laa rasuulillah wa ‘alaa washahbihi ajma’iin.

Dalil-dalil dan atsar para salaf telah menunjukkan bahwa Allah Ta’ala berbicara dengan suara dan huruf.
Di antara dalil yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala berbicara dengan suara adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
يحشر الله العباد فيناديهم بصوت يسمعه من بعد كما يسمعه من قرب أنا الملك أنا الديان
Artinya: “Allah akan mengumpulkan hamba-hamba pada hari kiamat, kemudian Allah memanggil mereka dengan suara yang terdengar dari jarak jauh seperti suara yang terdengar dari jarak dekat: Aku adalah Al-Malik (Maharaja), Aku adalah Ad-Dayyaan (Maha Membalas)…” (H.r. Al-Bukhary, dari Abdullah bin Unais radhiyallahu ‘anhu).

Berkata Al-Bukhary rahimahullah,
وَأَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنَادِي بِصَوْتٍ يَسْمَعُهُ مَنْ بَعُدَ كَمَا يَسْمَعُهُ مَنْ قَرُبَ ، فَلَيْسَ هَذَا لِغَيْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ذِكْرُهُ، وَفِي هَذَا دَلِيلٌ أَنَّ صَوْتَ اللهِ لا يُشْبِهُ أَصْوَاتَ الْخَلْقِ ، لأَنَّ صَوْتَ اللهِ جَلَّ ذِكْرُهُ يُسْمَعُ مِنْ بُعْدٍ كَمَا يُسْمَعُ مِنْ قُرْبِ
Dan sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla memanggil dengan suara, di mana orang yang jauh mendengar suara ini seperti orang yang dekat, maka ini tidak mungkin dimiliki oleh selain Allah ‘Azza wa Jalla, dan ini dalil bahwa suara Allah tidak sama dengan suara-suara makhluk, karena suara Allah didengar dari jarak jauh seakan-akan didengar dari jarak dekat.” (Khalqu Af’aalil ‘Ibaad, hal. 98).
Dan dari Abu Sa’iid Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
يقول الله عز و جل يوم القيامة: يا آدم، يقول: لبيك ربنا وسعديك، فينادى بصوت إن الله يأمرك أن تخرج من ذريتك بعثا إلى النار

“Allah ‘Azza wa Jalla berkata di hari kiamat, ‘Wahai Adam!’ Adam menjawab, ‘Iya wahai Rabb kami.’ Maka Allah memanggil dengan suara, ‘Sesungguhnya Allah akan memasukkan dari keturunanmu ba’tsan ke dalam neraka…‘” (H.r. Al-Bukhary)

Berkata Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, “Aku bertanya kepada bapakku tentang sebuah kaum yang mengatakan bahwa Allah berbicaradengan Musa tanpa suara.” Maka bapakku (Imam Ahmad bin Hanbal) berkata,
بلى إن ربك عز وجل تكلم بصوت هذه الأحاديث نرويها كما جاءت

Tidak demikian, sesungguhnya Rabb-mu ‘Azza wa Jalla berbicara dengan suara , hadits-hadits ini kami riwayatkan sebagaimana datangnya.” (Diriwayatkan Abdullah dalam As-Sunnah, no. 533)

Adapun dalil bahwa Kalamullah terdiri dari huruf maka di antaranya:
Dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata,
بينما جبريل قاعد عند النبي صلى الله عليه و سلم سمع نقيضا من فوقه فرفع رأسه فقال هذا باب من السماء فتح اليوم لم يفتح قط إلا اليوم فنزل منه ملك فقال هذا ملك نزل إلى الأرض لم ينزل قط إلا اليوم فسلم وقال أبشر بنورين أوتيتهما لم يؤتهما نبي قبلك فاتحة الكتاب وخواتيم سورة البقرة لن تقرأ بحرف منهما إلا أعطيته
Ketika Jibril sedang duduk di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba Jibril mendengar suara pintu dari arah atas, kemudian mengangkat kepalanya, seraya berkata: “Ini adalah pintu langit, telah dibuka hari ini, belum pernah dibuka kecuali hari ini.

Maka turunlah seorang malaikat dari pintu tersebut, kemudian Jibril berkata, “Ini adalah seorang malaikat yang turun ke bumi, dia belum pernah turun kecuali hari ini.”

Maka, malaikat tersebut mengucap salam dan berkata, “Bergembiralah dengan dua cahaya, yang diberikan kepadamu, belum pernah diberikan kepada seorang nabipun sebelummu, Faatihatul Kitab (Al-Faatihah) dan ayat-ayat akhir surat Al-Baqarah, tidaklah kamu membaca satu huruf di dalam keduanya kecuali kamu akan diberi.” (H.r. Muslim).

‘Abdullah bin Mas’uud radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
تعلموا القرآن فإنه يكتب بكل حرف منه عشر حسنات ويكفر به عشر سيئات ، أما إني لا أقول : { الم } ولكن أقول : ألف عشر ولام عشر وميم عشر.
Pelajarilah Al-Quran, karena sesungguhnya akan ditulis dari setiap hurufnya sepuluh kebaikan, dan diampuni dengannya sepuluh kejelekan, ketahuilah aku tidak mengatakan bahwa Aliif Laam Miim (itu satu huruf), akan tetapi aku katakana: Aliif sepuluh, Laam sepuluh, dan Miim sepuluh.” (H.r. Ibnu Abi Syaibah 10/461, hadist shahih mauquf atas Ibnu Mas’uud, dan memiliki hukum marfu’ kepada Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam).

Dan penetapan Ahlussunnah terhadap Sifat-sifat Allah yang tercantum di dalam Al-Quran dan As-Sunnah disertai keyakinan bahwa sifat-sifat tersebut tidak serupa dengan sifat-sifat makhluk, sebagaimana firman Allah,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Artinya: “Tidak ada yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha melihat.” (Q.s. Asy-Syuuraa: 11)

Allah Maha Melihat dan Mendengar, akan tetapi penglihatan dan pendengaran Allah tidak sama dengan penglihatan dan pendengaran makhluk-Nya.
Wallahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Abdullah Roy, Lc., M.A. dari tanyajawabagamaislam.blogspot.com
Dipublikasikan kembali oleh www.konsultasisyariah.com dengan penyuntingan bahasa seperlunya.
Artikel 
www.konsultasisyariah.com

HUKUM SEORANG WANITA MENGGUNAKAN PIL HAID SELAMA HARI HARI HAJI


Syaikh Abdul Azis Bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan:
Apa hukumnya seorang wanita menggunakan pil pencegah siklus menstruasi bulanan selama hari-hari Haji?
Jawaban:
Tidak ada salahnya karena mengandung manfaat dan membawa mashlahat sehingga ia dapat melakukan Thawaf dengan orang-orang dan agar dia tidak kehilangan kelompoknya.
Fatawa Islamiyah, vol.4, hal.50, DARUSSALAM | FatwaIslam.com