Rabu, 06 April 2011

HAID KU PANJANG,SAH KAH SHOLAT KU ?


Dulu, waktu masih berumur 15 tahun, saya mengalami haid selama 20 hari. Karena waktu itu belum paham tentang istihadhah, selama 20 hari pula saya tidak melakukan shalat. Bagaimana membayar utang shalat untuk sisa haid yang 5 hari?
Jawaban:
Memang banyak sekali orang yang belum memahami perbedaan haid dan istihadhah, bahkan sebagiannya malah tidak tahu istilah istihadhah sama sekali. Karena itu, permasalahan Saudari terkadang dianggap ringan, padahal berkonsekuensi pada tindakan meninggalkan shalat, padahal shalat sudah wajib didirikan lagi dengan sucinya seorang wanita dari haid tersebut, dan meninggalkan shalat bukan perkara ringan.
Tentang masalah Saudari, tergantung kepada permasalahan yang menjadi perselisihan para ulama, yaitu masalah batasan maksimal haid. Dalam masalah ini, tergantung kepada kebiasaan datang dan hilangnya darah haid. Bila biasanya haid bertahan selama sepekan, maka selebihnya dianggap istihadhah (darah penyakit), sehingga Saudari telah wajib untuk shalat diwajibkan melakukan shalat, sebagaimana dijelaskan dalam hadits,
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ جَاءَتْ فَاطِمَةُ بِِنْتُ أَبِيْ حُبَيْشٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّي امْرَأَةٌ اُسْتَحَاضُ فَلاَ اَطْهُرُ اَفَأَدَعُ الصَّلاَةَ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: لاَ إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِحَيْضٍ فَإِذَا اَقْبَلَتْ حَيْضَتُكِ فَدَعِيْ اَلصَّلاَةَ وَإِذَا اَدْبَرَتْ فَأَغْسِلِيْ عَنْكِ الدَّمَ ثُمَّ صَلِّيْ ثُمَّ تَوَضَّئِيْ لِكُلِّ صَلاَةٍ حَتَّى يَجِيْءُ ذَلِكَ الْوَقْتُ
Dari Aisyah, beliau berkata, “Fathimah binti Abu Hubaisy menjumpai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang tidak pernah bersih (haid terus). Apakah aku tetap meninggalkan shalat?’ Rasulullah bersabda, ‘Tidak, itu hanyalah penyakit dan bukan haid. Jika haid kamu datang maka tinggalkan shalat, dan jika haid itu telah berhenti maka mandilah dengan mencuci darah haidmu, kemudian shalatlah, kemudian berwudhulah setiap kali shalat sampai datang waktu tersebut.’” (Hr. al-Bukhari)
Bila ini adalah haid yang pertama dan belum punya kebiasaan rutin sebelumnya, maka bisa melihat kepada warna darah haid tersebut, bila hitam dan berbau khas maka itu darah haid, sebagaimana dijelaskan dalam hadits,
عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ أَبِي حُبَيْشٍ أَنَّهَا كَانَتْ تُسْتَحَاضُ فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا كَانَ دَمُ الْحَيْضِ فَإِنَّهُ دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ فَأَمْسِكِيْ عَنِ الصَّلاَةِ وَإِذَا كَانَ اْلآخَرُ فَتَوَضَّئِيْ
Dari Fathimah binti Abu Hubaisy, bahwa ia terkena istihadhah, lalu Rasulullah berkata kepadanya, “Jika warna darahnya hitam yang sudah dikenal (sebagai darah haid) maka tinggalkanlah shalat, dan jika darahnya berwarna lain maka berwudhulah.”
Jadi, di sinilah perlunya kita banyak mengkaji dan membaca buku-buku Islam. Namun kejadian sudah terjadi, sehingga Saudari tidak diwajibkan mengulangi salat yang Saudari tinggalkan di waktu-waktu yang dianggap masih haid tersebut (padahal sebenarnya bukan haid). Dengan dalil yang menyatakan bahwa Allah memaafkan kesalahan dan kelupaan dari umat ini, sebagaimana firman Allah,
لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْراً كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakan dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berkata), ‘Wahai Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Wahai Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Wahai Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami sesuatu yang tak sanggup kami pikul. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (Qs. al-Baqarah: 286)
Demikian juga firman-Nya,
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً
“Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (Qs. al-Isra`: 15)
Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah berkata, “Sehingga, orang yang belum sampai padanya perintah Rasulullah tentang sesuatu, belum dikenakan kewajibannya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan Umar dan Ammar bin Yasir mengulangi shalatnya, ketika keduanya junub, lalu Umar tidak shalat (tidak melakukan tayamum dengan benar). Demikian juga, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan Abu Dzar mengqada` shalat ketika dia junub beberapa hari kemudian tidak shalat karenanya.”
Jadi, Saudari tidak diwajibkan mengqada` shalat yang ditinggalkan karena saat itu Saudari mengira bahwa waktu itu Saudari masih haid. Mudah-mudahan jelas dan bermanfaat.
Sumber: Majalah Nikah, Vol. 4, No. 5, 2005/1426.
(Dengan beberapa pengubahan tata bahasa dan aksara oleh redaksi KonsultasiSyariah.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar