Kamis, 31 Maret 2011

CIRI ISTRI YANG SHOLEHA ADALAH ISTRI YANG MEMBAHAGIAKAN

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh....
Bismillahirrahmaanirrahiim....

Wanita - Istri Solehah
Kebahagiaan rumah tangga yang menjadi tujuan setiap keluarga terbentuk di  atas beberapa faktor, yang terpenting adalah faktor anggota keluarga.  Mereka inilah faktor dan aktor pencipta kebahagiaan dalam rumah tangga,  atau sebaliknya, kesengsaraan rumah tangga juga bisa tercipta oleh mereka.  Dari anggota rumah tangga, faktor yang paling berperan besar dalam perkara  ini adalah istri, ya... Istri Yang Solehah Yang Bisa  Membahagiakan Keluarganya, karena dia adalah ratu dan ikon utama sebuah rumah  tangga, ia adalah rujukan suami dan tempat kembali anak-anak, maka dalam  bahasa Arab dia disebut dengan ‘Um’ yang berarti induk tempat kembali.

Sebagai pemeran utama dalam panggung rumah tangga, karena perannya yang  cukup signifikan di dalamnya, maka istri harus membekali diri dengan  sifat-sifat dan kepribadian- kepribadian sehingga dengannya dia bisa  mengemban tugas dan memerankan perannya sebaik mungkin, dengan itu maka  kondisi yang membahagiakan dan situasi yang menentramkan di dalam rumah  akan terwujud.

Istri Harus Mengetahui skala prioritas 

Dunia memang luas dan lapang, namun tidak dengan kehidupan, yang akhir  ini, selapang dan seluas apa pun tetap terbatas, ada tembok-tembok yang  membatasi, ada rambu-rambu yang mengekang, namun pada saat yang sama  tuntutan dan hajat kehidupan terus datang silih berganti seakan tidak akan  pernah berhenti, kondisi ini mau tidak mau, berkonsekuensi kepada sikap  memilah skala prioritas, mendahulukan yang lebih penting kemudian yang  penting dan seterusnya.

Sebagai ikon dalam rumah tangga, istri tentu mengetahui benar keterbatasan  rumah tangga di berbagai sisi kehidupan, keterbatasan finansial dan  ekonomi misalnya, sebesar apapun penghasilan suami plus penghasilan istri  (jika istri bekerja), tetap ada atap yang membatasi, ada ruang yang  menyekat, tetap ada hal-hal yang tidak terjangkau oleh uang hasil usaha  mereka berdua, ditambah dengan jiwa manusia yang tidak pernah berhenti  berkeinginan, keadaannya selalu berkata, “Adakah tambahan?”, maka sebagai  istri yang membahagiakan, dia harus mengetahui dengan baik prinsip dasar  ini, mendahulukan perkara yang tingkat urgensinya tertingi kemudian  setelahnya dan seterusnya.

Keterbatasan dalam hubungan di antara suami dan istri, mungkin karena  latar belakang keduanya yang berbeda, tingkat pendidikan yang berbeda,  keluarga yang berbeda, tabiat dan watak yang berbeda, hobi dan kesenangan  yang berbeda, waktu yang tersedia untuk berdua minim, semua itu membuat  hubungan suami istri serba terbatas, namun hal ini bukan penghalang yang  berarti, selama istri memahami kaidah prioritas ini.

Istri yang baik adalah wanita yang mengetahui tatanan prioritas dengan  baik, dalam tataran hubungan suami istri, secara emosinal dan fisik, dalam  tatanan rumah tangga, secara formalitas dan etika, ia menempati deretan  nomor wahid.

Istri Harus Realistis dalam menuntut 

Di hari-hari pertama pernikahan, biasanya dalam benak orang yang menjalani  tersusun rencana-rencana yang hendak diwujudkan, tertata target-target  yang hendak direalisasikan, terlintas harapan-harapan yang hendak  dibuktikan. Umum, lumrah dan jamak. Kata orang, hidup ini memang berharap,  karena berharap kita bisa tetap eksis hidup dengan berbagai macam siatuasi  dan kondisinya. Demikian pula dengan sebuah rumah tangga. Tahun pertama  harus memiliki anu. Tahun kedua harus ada ini. Tahun ketiga, keempat dan  seterusnya.

Sekali lagi wajar, selama hal itu masih realistis. Dan soal harapan dan  ambisi biasanya istri selalu yang menjadi motornya. Dalam sebuah ungkapan  dikatakan, “Wanita menginginkan suami, namun jika dia telah  mendapatkannya, maka dia menginginkan segalanya.” Memang tidak semua  wanita, karena ini hanya sebuah ungkapan dan tidak ada ungkapan yang  general. Namun dalam batas-batas tertentu ada sisi kebenarannya, karena  tidak jarang kita melihat beberapa orang suami yang banting tulang dan  peras keringat demi kejar setoran yang telah dipatok istrinya.

Maka alangkah bijaknya jika dalam menuntut dan mencanangkan target  memperhatikan realita dan kapasitas suami, jika sebuah harapan sudah  kadung digantung tinggi, lalu ia tidak terwujud, maka kecewanya akan
berat, bak orang jatuh dari tempat yang sangat tinggi, tentu sakitnya  lebih bukan?

Sebagian istri memaksa suami menelusuri jalan-jalan yang berduri dan  berkelok-kelok, di mana dia tidak menguasainya, jika suami mengangkat  tangan tanda tak mampu mewujudkan sebagian dari tuntutannya, maka istri  berteriak mengeluh. Hal ini, sesuai dengan tabiat kehidupan rumah tangga,  menyeret kehidupan rumah tangga kepada jalan buntu selanjutnya yang muncul  adalah perselisihan, jika ia menyentuh dasar kehidupan, maka bisa  berakibat keruntuhannya.

Seorang istri shalihah selalu mendahulukan akalnya, dia tidak membuat  lelah suaminya dengan tuntutan-tuntutan yang irasional, tidak membebaninya  di luar kemampuannya dan tidak memberatkan pundaknya dengan  permintaan-perminta an demi memenuhi keinginan-keinginan nya semata.

Salah satu contoh yang jarang ditemukan yang terjadi dalam sejarah tentang  keteladanan sebagian istri yang begitu memperhatikan keadaan suami tanpa  batas walaupun hal tersebut berarti mengorbankan kemaslahatannya sendiri  adalah apa yang diriwayatkan oleh kitab-kitab ath-Thabaqat tentang Fatimah  az-Zahra` pada saat dia dan suaminya Ali bin Abu Thalib mengalami  kesulitan hidup yang membuatnya bermalam selama tiga malam dalam keadaan  lapar, pada saat Ali melihatnya pucat, dia bertanya, “Ada apa denganmu  wahai Fatimah?” Dia menjawab, “Telah tiga malam ini kami tidak memiliki  apa pun di rumah.” Ali berkata, “Mengapa kamu diam saja?” Fatimah  menjawab, “Pada malam pernikahan bapakku berkata kepadaku, ‘Hai Fatimah,  kalau Ali pulang membawa sesuatu maka makanlah, kalau tidak maka jangan  memintanya.” 

Istri Harus Bermental kaya 

Mental kaya, dalam agama dikenal dengan istilah qana’ah, rela dengan apa  yang Allah Subhanahu waTa’ala bagi sehingga tidak menengok dan berharap  apa yang ada di tangan orang lain.

Kaya bukan kaya dengan harta benda, namun kaya adalah kaya hati, artinya  hati merasa cukup. Sebanyak apa pun harta seseorang, kalau belum merasa  cukup, maka dia adalah fakir. Kata fakir dalam bahasa Arab berarti  memerlukan, jadi kalau seseorang masih memerlukan [baca: berharap dan  menggantungkan diri] kepada apa yang dimiliki oleh orang lain tanpa  berusaha, maka dia adalah fakir alias miskin.

Kebahagiaan rumah tangga bergantung kepada perasan istri dalam skala lebih  besar daripada yang lain, jika istri tidak bermental kaya, maka dia akan  selalu merasa kekurangan, akibatnya dia akan mengeluh ke mana-mana dengan  kekurangannya. Kurang ini, kurang itu, kurang anu dan seterusnya.  Mentalnya adalah mental sengsara, mental miskin, minim syukur,  memposisikan diri sebagai orang miskin sehingga seolah-olah dirinya patut  diberi zakat.

Padahal seorang wanita bisa saja memiliki segala keutamaan di kolong  langit ini, akan tetapi semua keutamaan ini tidak ada nilai dan harganya  jika yang bersangkutan mempunyai tabiat sengsara dan mental miskin. Kedua  tabiat ini bagi wanita menyebabkan kesengsaraan bagi suami dan kenestapaan  bagi rumah tangga.

Banyak wanita sejak zaman batu sampai hari ini merasa nyaman dengan tabiat  sengsara dan mental miskin ini. Dalam kehidupan sejarah, Nabiyullah  Ibrahim ’alaihissalam pernah menemukan dua orang wanita, yang pertama  bermental miskin dan yang kedua bermental kaya, keduanya pernah menjadi  istri bagi anaknya, Ismail. Dengan bahasa sindiran, Nabi Ibrahim  ’alaihissalam pernah meminta Ismail untuk berpisah dari istri pertamanya.  Ibrahim ’alaihissalam melihat istri pertama anaknya bukan istri yang  layak, karena dia bermental miskin. Ketika Ibrahim ’alaihissalam bertanya  kepadanya tentang kehidupannya dengan suaminya, yang Ibrahim ’alaihissalam  dengar dari mulutnya hanyalah keluh kesah. Sebaliknya istri kedua,  jawabannya kepada mertuanya mengisyaratkan bahwa dia adalah istri yang  pandai bersyukur dan bersikap qana’ah, maka Ibrahim ’alaihissalam meminta  Ismail untuk mempertahankannya.

Dalam kehidupan ini tidak sedikit kita menemukan istri model seperti ini.  Ditinjau secara sepintas dari keadaan rumahnya, rumah milik sendiri,  lengkap dengan perabotan elektronik yang modern, didukung kendaraan  keluaran terbaru, tapi dasar mentalnya mental miskin, maka yang  bersangakutan tetap mengeluh seolah-olah dia adalah orang termiskin di  dunia. Apakah hal ini merupakan kebenaran dari firman Allah Subhanahu  waTa’ala, yang artinya, “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh  kesah lagi kikir.” (QS. al-Ma’arij: 19). Tanpa ragu, memang.

Jika istri bermental kaya, maka keluarga akan merasa kaya dan cukup. Ini  menciptakan kebahagiaan. Jika istri bermental melarat, maka yang tercipta  di dalam rumah adalah iklim melarat dan ini menyengsarakan. (Oleh: Ust. Izzudin Karimi, Lc)

Semoga semua artikel dan eBook di blog kami bermanfaat untuk kita semua.Wallahu'alam bissowab
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh....[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar